Berita UtamaEkonomiPolitik

Intelijen Maritim: Data Gathering dan Network Centeric Warfare

NUSANTARANEWS.CO – NKRI adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Sebanyak 17.499 pulau dan luas perairan 3,2 juta km persegi. Posisi Indonesia sangat strategis; berada di persimpangan 2 Samudera yakni Pasifik dan Hindia serta dua benua Asia dan Australia.
Sedangkan bila dilihat dari sisi geopolitik, terdapat 4 dari 9 choke point (selat sempit) jalur utama perdagangan dunia yaitu Selat Malaka, Sunda, Lombok dan Makasar. Selain itu, visi gagasan poros maritim dunia adalah menjamin konektifitas antar pulau, pengembangan industri perkapalan dan perikanan, perbaikan transportasi laut serta keamanan maritim.
Jika ditinjau dari aspek geopolitik, isu penting Indonesia dan kawasan meliputi visi poros maritim dunia sebagai maritime domain awareness (MDA) Indonesia, ambisi penguasaan Cina atas wilayah Laut Cina Selatan (Maritime Silk Road) dan perebutan hegemoni kawasan Asia Pasifik sebagai jalur penting perdagangan dunia.
Perkembangan lingkungan strategis di kawasan meliputi beberapa hal, di antaranya soal ambisi Cina menguasai LCS yang merupakan bagian proyek raksasa Jalur Sutera Maritim (Maritime Silk Road), kesiapan Cina untuk menggunakan hard power di zona irisan teritorial dengan negara-negara ASEAN, gagasan freedom of navigation AS versus peguasaan Cina di LCS, kehadiran kekuatan AS, Jepang, Korea Selatan di semenanjung Korea.
“Sekalipun dalam konteks kampanye militer untuk Korea Utara. Namun, banyak kalangan percaya hal ini merupakan sinyal politik kuat terhadap situasi di LCS,” kata pengamat pertahanan dan militer, Susaningtyas Kertopati dalam keterangan tertulisnya.
Selanjutnya, illegal fishing dan penyelundupan barang, manusia, senjata dan narkoba. Juga masalah pembajakan dan perompakan secara terus-menerus yang dapat mengarah pada upaya internasionalisasi perairan Indonesia. “Kepentingan yang mendorong agar urusan keamanan maritim Indonesia dapat diintervensi dunia internasional,” terang pengamat yang akrab disapa Nuning ini.
Melihat kesiapan Cina membangun kekuatan militernya di LSC, Nuning memperingatkan agar pemerintah juga membangun intelijen maritim Indonesia. Menurut Nuning, pentingnya network centric warfare (NCW) sebagai sistem komando dan pengendalian yang fokus pada penggunaan teknologi informasi mutakhir dan berbasis komputer pada kapal, pesawat, pangkalan, dan satuan lainnya yang teringetrasi dalam satu sistem komputer/digital.
Adapun main goals-nya ialah pertukaran informasi penting secara cepat (real time), akurat dan berkelanjutan mengenai kondisi terkini hingga terwujudnya speed of command dalam merespon setiap ancaman keamanan maritim. Kedua, tercapainya keunggulan informasi (information superiority).
“Komponen NCW; C41: Komando (Command), kendali (Control), komunikasi (Communication), komputer (Computers) dan intelijen (intelligence) guna meningkatkan kecepatan, ketepatan dan efektivitas dari operasi AL (Angkatan Laut),” jelas Nuning lagi.
Mengenai NCW dan technical intelligence, Nuning menuturkan cakupannya berupa penggunaan satelit GPS, visualisasi operasi dalam real time information system (video, grafik, suara, peta, dan lain-lain) yang dapat diakses pada military operation room oleh pusat komando sekalipun jauh dari lokasi pertempuran (battle frield).
“Dalam dunia intelijen, konsep NCW dikenal dengan techincal intelligence. Konsep NCW sebagai technical intelligence; metode pengumpulan informasi melalui penggunaan teknologi untuk menghasilkan current intelligence/real-time intelligence dalam model keamanan maritim. Dimensi informasi telah dimasukkan sebagai dimensi penting dalam strategi pertahanan negara, selain dimensi darat, laut, udara dan angkasa luar,” terang Nuning.
Selanjutnya, dimensi informasi memperkuat fungsi intelijen sebagai pemasok fore-knowledge untuk mengisi the blind side of decision makin dalam mencagah adanya ancaman atau pendadakan strategis (strategic surprise). “Elemen dari techint; photo/image intelligence, signal intellegence, communication intellegence, yang kesemuanya ditujukan untuk menguasai arus lalu lintas informasi yang dikenal dengan infosphere,” jelasnya lagi.
Ditambahkannya, sejak 1971, AS dan Inggris telah menggunakan techint dengan mengoperasikan lebih dari 120 satelit intelijen untuk mengumpulkan data strategis. “NCW dan techint mensyaratkan adanya sistem teknologi berbasis IT mutakhir yang terintegrasi serta dapat dioperasikan secara bersama-sama (interoperability) dalam bentuk joint task force command,” sambungnya.
Untuk itu, langkah ke depan guna merespon perkembangan Lingstra, menurut Nuning salah satu parameter yang menentukan kekuatan pertahanan maritim tersebut adalah kemampuan pendeteksian serta memberikan reaksi terhadap ancaman secara efektif dan efisien. “Intelijen maritim sebagai first line of defense,” tegas Nuning.
Adapun NCW, kata dia, perwujudan single agency-multi task yang terintegrasi, efisien dan terpadu untuk memudahkan koordinasi dalam pengumpulan data (data gathering) dan respon terhadap ancaman. “Menghindari adanya ego sektoral,” cetusnya.
“Perlunya transformasi intelijen AL (naval intelligence) yang terbatas pada dimensi pengamanan dan sektoral menjadi intelijen maritim yang mampu menyediakan informasi menyeluruh kepada pemangku kepentingan maritim nasional (lintas sektoral),” dia melanjutkan.
Langkah ke depan lainnya yang tak kalah penting ialah menyangkut soal kerjasama taktis Koarmabar dan pesawat tempur Koopasau I untuk patroli di perairan Natuna hingga ZEE.
“Koarmabar juga perlu menambah jangkauan patroli udara maritim dengan drone yang dapat dikendalikan dari kapal-kapal perang. Membangun kemampuan prosedur komunikasi para awak kapal-kapal Koarmabar dengan pesawat-pesawat tempur TNI AU,” terang Nuning.
Kemudian, deteksi dini dengan pesawat udara TNI AU dan drone, penambahan radar-radar early warning dan radar-radar surveillance untuk mendeteksi kehadiran pesawat tempur Cina dan kapal-kapal Coast Guard mereka.
“Peralatan sonar portable di beberapa celah sempit di perairan Anambas hingga Bangka-Belitung untuk mendeteksi penyusupan kapal-kapal selam Cina. kemampuan deteksi sonar tersebut seiring dengan peralatan sonar di atas kapal-kapal perang Koarmabar yang juga harus dilengkapi dengan torpedo ranjau dan bom laut,” ungkapnya.
Pewarta: Eriec Dieda
Editor: Achmad Sulaiman

Related Posts

1 of 30