Ekonomi

Target Jokowi di Bidang Pertanian Tidak Tercapai, Layakkah Lanjut Dua Periode?

bidang pertanian, bidang energi, bidang pangan, bidang sda, jokowi gagal, pertanian indonesia, swasembada pangan, kedaulatan pangan, janji jokowi, nusantaranews
Presiden Joko Widodo menyambangi petani di sawah. (Foto: Kompasiana)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Target Jokowi di bidang pertanian tidak tercapai. Debat capres-cawapres jilid II bakal berlangsung pada 17 Februari 2019. Temanya soal energi, pangan, sumber daya alam, lingkungan hidup dan infrastruktur.

Berbeda dengan 2014, atmosfir debat capres 2019 tampaknya lebih emosional dan seru. Joko Widodo (Jokowi) dinilai tidak menyampaikan visi misi baru dalam Pilpres 2019 karena sudah memilikinya sejak 2014 silam. Jokowi cukup menyampaikan visi misinya tersebut dan meyakinkan masyarakat tentang capaiannya.

Sebagai capres petahana atau pernah menjadi presiden 4 tahun Jokowi dinilai tentu sudah memiliki pengalaman dalam mengurus di bidang-bidang yang bakal diperdebatkan pada 17 Februari.

“Namun, sekalipun punya pengalaman bisa jadi kinerja buruk dan gagal mencapai target ditentukan. Berdasarkan hasil studi kami, realitas obyektif menunjukkan bahwa Jokowi mengalami kegagalan menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pangan,” kata pemerhati politik, Muchtar Effendi Harahap, Jakarta, Kamis (24/1/2019).

Baca juga: Jokowi Dinilai Tak Perlu Bikin Visi Misi Baru, Cukup Yakinkan Rakyat Hasil Kerjanya

Berikut penjelasan dari kegagalan yang dimaksud.

Soal isu kebijakan impor beras. Polemik publik dan kelembagaan negara terkait isu kebijakan jutaan impor beras telah melibatkan Kementerian Pertanian. Keterlibatan Kementerian ini karena dalam kebijakan apalagi impor beras harus mendapatkan setidaknya rekomendasi atau persetujuan Kementan. Di lain pihak, Kementerian Pertanian harus bertanggungjawab memproduksi beras nasional agar bisa swasembada dan tidak bergantung pada produksi luar negeri.

Menurut Muchtar, polemik terkait isu kebijakan impor beras hanyalah refleksi dari kiprah Pemerintahan Jokowi-JK di bidang pertanian. Sebab, bagaimanapun, Kementerian Pertanian merupakan institusi negara dipimpin seorang menteri sebagai pembantu dan bertanggungjawab terhadap Presiden Jokowi.

“Semua pujian dan kritik terhadap kiprah Kementerian Pertanian, hal itu berarti pujian dan kritik terhadap kiprah Jokowi di bidang pertanian,” ujarnya.

Dalam realitas obyektif era Jokowi, kebijakan dan pembangunan di bidang pertanian tak luput dari sanjungan sekaligus kecaman dan kritik. Beberapa kritik yang mencuat ke hadapan publik di antaranya Jokowi semakin yakin swasembada pangan dan kedaulatan pangan akan dicapai dalam kurun waktu, diperkirakan 4-5 tahun. Jokowi mengaku tidak akan segan-segan memecat Menteri Pertanian Amran Sulaiman jika gagal mencapai target swasembada pangan. Tetapi, sudah 4 tahun Jokowi menjadi Presiden RI, faktanya target capaian masih belum terealisir. Amran Sulaiman masih tetap Menteri Pertanian.

Baca Juga:  Pj Bupati Pamekasan Salurkan Beras Murah di Kecamatan Waru untuk Stabilitas Harga

Baca juga: Lahan Habis untuk Infrastruktur, Pertanian di Pulau Jawa Semakin Terancam

Berikutnya, Ombudsman Republik Indonesia (RI) menilai selama ini Kementerian Pertanian memberikan data tidak akurat terkait stok ketersediaan beras. Di lain pihak, Menko Bidang Perekonomian Darmin Nasution juga menyebut data mengenai produksi beras nasional dimiliki BPS dan Kementerian Pertanian saling berbeda signifikan.

Kemudian, ketergantungan impor beras sejauh ini berbanding terbalik dengan target swasembada pangan dicanangkan Jokowi. Sepanjang era Jokowi, tercatat pemerintah telah melakukan impor beras senilai USD1,17 miliar atau Rp 15,58 triliun yang setara dengan 2,74 ton beras (Juli 2017).

Pada 2018 ini rezim Jokowi tiga kali menerbitkan izin impor beras kepada Bulog. Pertama, 500 ribu ton; kedua 500 ribu; ketiga, 1 juta ton. Total beras impor masuk ke Indonesia 2018 ini mencapai 2 juta ton. Impor beras bukan berhenti, malah tambah banyak.

Selanjutnya, anggaran kedaulatan pangan melonjak 53,2 % dari Rp 63,7 triliun pada 2014 mencapai Rp 103,1 triliun pada APBN 2017. Namun, tingginya alokasi anggaran tersebut ternyata belum optimal dalam mewujudkan kedaulatan pangan. Adapun anggaran senilai ratusan miliar rupiah paling banyak dialokasikan untuk peningkatan produksi dan produktivitas pangan.

Kinerja Jokowi di bidang pertanian dapat dievaluasi buruk atau baik, berhasil atau gagal, dari standar kriteria berdasarkan janji kampanye lisan Pilpres 2014, janji dalam dokumen Nawacita, rencana kerja dalam RPJMN 2015-2019, Renstra dan lain-lain.

Kriteria standar sebagaimana seharusnya terealisir dibandingkan degan apa sesungguhnya terealisir oleh rezim Jokowi. Seberapa lebar kesenjangan antara seharusnya dan apa terealisir merupakan dasar penentuan kinerja Jokowi di bidang pertanian baik atau buruk, berhasil atau gagal. Berdasarkan kerangka berpikir ini, Tim Studi NSEAS mengajukan hanya sebagian standar kriteria evaluasi kinerja Jokowi di bidang pertanian. Tentu saja semakin banyak standar kriteria bisa digunakan maka semakin memperkuat kesimpulan diambil,” papar Muchtar.

Baca Juga:  Ramadan, Pemerintah Harus Jamin Ketersediaan Bahan Pokok di Jawa Timur

Baca juga: Lahan Pertanian Menyusut, Ini Akan Jadi Bahaya di Ketahanan Pangan

Beberapa standar kriteria evaluasi kinerja Jokowi

Pertama, di bidang pertanian, ada pembangunan bertujuan agar tercipta swasembada pangan. Makna swasembada pangan adalah kemampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan bahan makanan sendiri tanpa perlu mendatangkan dari pihak luar. Jokowi berjanji, tidak akan impor pangan dan akan mewujudkan swasembada pangan dan lepas ketergantungan dari jeratan impor. Tetapi, faktanya, sudah 4 tahun berkuasa Jokowi masih gagal menciptakan swasembada pangan. Masih berlangsung ketergantungan impor 29 komoditas pertanian dari beragam negara seperti beras dan beras khusus, jagung, kedelai, biji gandum, tepung trigu, gula pasir, gula tebu, daging lembu, garam, mentega, minyak goreng, susu, bawang merah, bawang putih, kelapa, kelapa sawit, lada, kentang, teh, kopi, cengkeh, kakao, cabai, tembakau, singkong, dan telor unggas, mentega, minyak goreng, bawang putih, lada, dan kentang.

Kedua, perbaikan irigasi rusak dan jaringan irigasi di 3 juta Ha sawah. Untuk luas irigasi di atas 3.000 Ha, pembangunan jaringan irigasi menjadi kewenangan KemenPUPR. Luas irigasi 1.000-3.000 Ha, pembangunan jaringan irigasi menjadi kewenangan Pemprov dan di bawah 1.000 Ha kewenangan Pemkab atau Pemkot.

Bagaimana realisasi rencana perbaikan dan pembangunan jaringan irigasi yang dicanangkan Jokowi? Dirjen SDA KemenPUPR Imam Santoso sebutkan pada 2017 silam, realisasi pembangunan irigasi Kemen PUPR 43,91% dari target. Masih jauh dari capaian kinerja. Progres Pemprov 7,05% dan Pemkot atau Pemkab 8,55%. Jokowi masih gagal meraih target.

Jika dihitung dari target total 1 juta Ha, baru tercapai 28,04%. Kinerja Jokowi boleh dibilang sangat buruk urusan irigasi. Untuk memperbaiki jaringan irigasi rusak, dari target 3 juta Ha menjadi tanggung jawab KemenPUPR 1,3 juta Ha dan telah selesai direhab 961 ribu Ha (70,14 %). Rehabilitasi Pemprov, Kabupaten, Kota, rehabilitasi baru 136 ribu Ha atau sekitar 8%. Singkatnya, atas standar kriteria ini kinerja Jokowi buruk dan masih gagal meraih target di bidang pertanian.

Baca Juga:  Peduli Sesama, Mahasiswa Insuri Ponorogo Bagikan Beras Untuk Warga Desa Ronosentanan

Ketiga, pembangunan 1 juta Ha lahan sawah baru di luar pulau Jawa. Info realisasi rencana kerja ini masih gelap. Belum ada data resmi pemerintah, sudah seberapa luas realisasi target tercapai. Keempat, Pendirian Bank Petani dan UMKM. Janji ini sama sekali dingkari Jokowi. Tak satupun terbentuk lembaga ini hingga 4 tahun Jokowi duduki jabatan Presiden RI.

Kelima, penyediaan gudang dengan fasilitas pengolahan pasca panen di tiap sentra produksi. Pemerintah masih belum memberikan data akurat sejak 4 tahun, seberapa unit gudang sudah terbangun. Hingga kini data realisasi masih gelap.

Keenam, nilai tukar petani (NTP) adalah rasio antara indeks harga petani dengan indeks harga dibayar petani dinyatakan dalam persentase. NTP merupakan salah satu indikator dalam menentukan tingkat kesejahteraan petani. Jokowi berencana akan meningkatnya Nilai Tukar Petani (NTP). Faktanya, menurut catatan ekonom Faisal Basri, kesejahteraan petani terus mengalami penurunan.

NTP mencerminkan daya beli petani turun dalam 3 tahun era Jokowi dari 102,87 (2014) menjadi 101,60 (2016). Selama 3 tahun Jokowi berkuasa, petani semakin tidak sejahtera, khususnya petani pangan. Diperkirakan, 4 tahun era Jokowi tidak ada peningkatan kesejahteraan petani.

Apa yang dapat disimpulkan dari uraian pembahasan singkat di atas bahwa setelah 4 tahun berkuasa rezim Jokowi gagal di bidang pertanian dan juga gagal mencapai swasembada pangan. Padahal, Jokowi gembor-gembor di awal kekuasaannya swasembada pangan akan tercapai 4-5 tahun.

Pengalaman kegagalan Jokowi di bidang pertanian dan swasembada pangan tentu bisa mengundang pertanyaan ikutan, masih layakkah Jokowi lanjut sebagai Presiden RI periode kedua?

(gdn/wbn)

Editor: Gendon Wibisono

Related Posts

1 of 3,064