NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Aktivis dan Pemerhati Lingkungan, Handoko menyatakan polemik kawasan perhutanan sosial pasca diterbitkanya Peraturan Menteri Nomor 39/2017 tentang perhutanan sosial masih belum berakhir.
Menurut Handoko, mereka yang sepakat dengan Permen 39 menilai kebijakan ini merupakan jalan tengah atas sejuta persoalan yang menghimpit atas semakin menurunnya kualitas dan kuantitas hutan Jawa. Sementara mereka yang tidak sepakat dengan Permen 39 menilai bahwa keberadaannya akan merugikan LMDH yang selama ini sudah terlibat dalam pengawasan hutan.
“Hutan Jawa tidak akan bisa terselamatkan dan Masyarakat Desa Hutan (MDH) tidak akan bisa tercerahkan bila kita tetap terjebak pada diskusi tanpa banyak berbuat di lapangan,” ungkap Handoko, Minggu (3/9/2017).
Handoko menyoroti sikap dari perhutani yang terkesan ambigu dalam mengambil sikap soal Permen 39 ini. Mestinya, lanjut Handoko, perhutani harus segera mengambil sikap sebagai langkah untuk memperbaiki diri.
“Hanya ada dua pilihan bagi Perhutani likuidasi atau reformasi diri. Perhutani mampu keluar dari keadaan tersulit pada saat-saat reformasi Indonesia bergulir, dan kali ini Perhutani dihadapkan pada tantangan yang sangat besar,” jelasnya.
Ke depan, jika Perhutani masih tetap ingin dipercaya sebagai pengelola hutan Jawa dan tidak harus melakukan PHK terhadap ribuan karyawannya harus segera melakukan reformasi diri.
“Tidak hanya sebatas reformasi terhadap managemen dan karyawannya. Perhutani juga harus mampu melakukan re-desain pola bisnis yg selama ini berjalan,” katanya.
Ketua Bidang Ekonomi dan Kesejahteraan Buruh Sarbumusi itu meminta Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan saatnya bisa melihat secara obyektif semua persoalan yang terjadi di lapangan.
“KLHK harus mengeluarkan kebijakan yg akan menjadi solusi bersama utk perbaikan kedepan dan sedikit mungkin menimbulkan perdebatan,” tutupnya.
Pewarta: Syaefuddin A
Editor: Eriec Dieda