NUSANTARANEWS.CO – Di depan toko brownies ada bapak tua. Rambutnya putih sempurna, mungkin enam puluhan atau tujuh puluhan. Duduk beralas tikar bolong, tak ada yang mengusir. Orang- orang di sekitar toko seakan tidak peduli atau membiarkannya begitu. Barangkali karena bapak ini tidak mengusik siapa pun. Ia duduk menghadap setumpuk brondong jagung yang dicetak kotak-kotak, dengan posisi orang doa sehabis salat.
Bapak tua ini, demikian kata penjual cendol di seberang jalan, sudah empat bulan duduk di situ dari jam sepuluh pagi hingga menjelang maghrib, dan manager toko tidak pernah menegurnya. Tidak ada satu larangan siapa pun duduk di teras toko, selama tidak menganggu ketentraman. Berbagai mobil keluar masuk parkiran, berbagai wajah datang dan pergi ke toko, berbagai rencana brownies seribu pilihan rasa, melintasi tubuh bapak tua itu, termasuk aroma tubuh satpam yang sesekali sengak, sesekali harum semerbak, tetapi tidak satu pun manusia berhenti menengok.
“Saya tidak tahu bagaimana beliau makan,” cetus si penjual cendol.
Waktu itu, saya menunggu pacar beli brownies untuk hadiah Mami. Di atas motor, memandang bapak penjual brondong jagung, hati saya tersentuh dan bertanya kepada seseorang yang mungkin tahu kisahnya.
“Anda hafal kebiasaan beliau?”
“Tidak juga. Saya tidak menghafal segala-galanya. Saya cuma penjual cendol yang menghitung dalam sehari harus laku minimal berapa gelas, biar balik modal. Dan kalau itu balik, saya lumayan tenang. Kalau belum balik, saya bersyukur. Hanya saja, saya tidak paham cara berpikir bapak itu. Mau tidak mau saya memang selalu lihat dia dari tempat saya mangkal.”
Sebagaimana musim, yang tidak awet di belahan bumi, bapak tua itu pasti punya rumah dan tidak selamanya duduk di sana dalam posisi bersila. Barangkali rumahnya terlalu jauh dan ia lelah menjual brondong jagungnya, lalu memutuskan duduk di depan toko brownies dengan harapan pembeli brownies yang berpuluh-puluh kepala dalam sehari itu ada yang sedia membeli dagangannya.
“Tidak ada yang beli,” kata penjual cendol. “Tetapi kadang anak saya ke sana dan beli sebungkus. Itu saya suruh. Kalau tidak ada yang suruh, atau kalau tidak ada yang membelinya tanpa perlu berpikir itu makanan tidak dibutuhkan dalam kondisi senormal sekarang, jelas bapak tua itu pulang tanpa membawa apa-apa, kecuali brondong jagung yang penuh debu pada plastik pembungkus.”
Pacar saya belum keluar. Mungkin antre. Ada banyak mobil di tempat parkir toko brownies itu dan saya tahu barangkali tidak ada orang yang menengok si bapak penjual brondong jagung, apalagi membelinya. Maka saya menyeberang dan memarkir motor di depan toko brownies dan segera mendatangi si bapak.
Bapak itu tidak merespons kehadiran saya, karena saya memang tidak menyapanya dan ia memejamkan mata. Bibirnya komat-kamit dan sebelah tangannya menunjukkan ia sedang berzikir.
Untuk beberapa lama saya diam. Saya berdiri seperti patung dan orang-orang lalu lalang di kiri kanan, keluar masuk toko. Sebagian melolot karena saya di depan pintu dan menghalangi jalan.
Saya menggeser tempat berpijak dan berada persis di depan bapak tua itu. Secara mendadak ia membuka mata dan berhenti berzikir, kemudian berkata, “Sebaiknya Anda segera masuk, kalau tidak ingin antre terlalu lama.”
Saya tahu maksudnya. Bapak tua ini mengira saya calon pembeli brownies.
“Oh, pacar saya yang antre,” kata saya, sambil menujuk dalam; memang ia sedang antre, tetapi si bapak tidak menoleh belakang dan hanya menatap saya tajam dari posisi duduk bersilanya.
“Untuk mami saya. Hadiah ulang tahun. Brownies itu kesukaannya.”
“Yah,” kata si bapak, yang kembali terpejam, tetapi bibir tidak komat-kamit.
Saya duduk di sebelahnya dan seorang perempuan yang baru saja turun dari mobil sedannya menatap heran, tetapi saya tak peduli.
“Jaman sekarang banyak sekali orang makan roti begitu. Saya tidak pernah, tetapi mencium baunya setiap hari,” katanya.
“Kalau Bapak mau, Bapak bisa beli.”
“Sebaiknya tidak.”
“Saya belikan.”
“Terima kasih. Sebaiknya tidak.”
Mungkin saya menyinggung perasaannya secara tidak langsung. Saya minta maaf dan si bapak mengangguk pendek. Ia tidak bicara dan kembali berzikir.
Sementara penjual brondong kembali ke rutinitas anehnya, saya ambil brondong di tumpukan teratas. Brondong produksi rumahan, asli Pasuruan yang pernah jadi tempat tinggal masa kecil saya. Tidak tahu bagaimana bapak ini bisa membeli suatu produk dari kota yang begitu jauh dari kota ini.
Kertas “identitas”, kertas isi tulisan asal muasal brondong yang ditumpuk, mengelupas karena mungkin lem yang dipakai tak berkualitas dan saya kerepotan menempelkan merk brondong tersebut. Ketika akhirnya kertas itu berhasil direkatkan, saya pikir itu tidak perlu. Saya copot lagi dan saya genggam seperti menggenggam harapan. Si bapak masih khusyuk. Kepala saya penuh rencana-rencana.
Menyadari saya mengambil brondongnya, ia membuka mata dan tersenyum. Saya bilang, saya mau beli brondongnya. Beli lima untuk keponakan saya, padahal saya satu- satunya anak Mami dan pacar saya belum saya nikahi. Tidak ada cucu di rumah, tidak ada keponakan, tidak juga ada saudara angkat.
“Anda bohong. Letakkan brondong itu dan tunggulah pacar Anda yang tidak lama lagi keluar. Nikmati brownies itu bersama mami Anda tercinta di rumah nanti malam.”
“Kalaupun bohong, brondong ini tetap saya beli. Saya makan tidak cuma brownies saja, tetapi juga brondong. Mami saya pasti suka. Saya beli sepuluh!”
“Letakkan saja.”
Saya tidak tahu bagaimana si bapak itu tampak tenang. Ia sodorkan isyarat melalui sebelah tangannya seakan saya melanggar batas teritorinya. Saya letakkan brondong itu. Ia kembali berzikir dan tidak ada seorang pun bicara selama satu menit.
Pada saat itu, pacar saya hampir sampai barisan terdepan. Masih ada waktu. Saya bilang pada si bapak tua, saya tidak bermaksud menyinggungnya, dan hanya bermaksud membeli agar dagangannya laku hari itu. Bapak itu merespons dengan jawaban pendek, “Oh, setiap hari saya dapat untung.”
Setiap hari dapat untung. Saya tersenyum. Tapi, penjual cendol seperti orang bodoh yang tidak ahli membual. Bapak tua menjelaskan, mungkin agar saya tidak salah paham, dan mungkin ia tahu tadi saya mengobrol panjang dengan penjual cendol di seberang sana, bahwa ia tidak pernah rugi karena selalu ingat pada tuhannya.
“Apa arti saya di dunia ini jika tanpa Tuhan? Melupakan Tuhan, sama dengan akhir yang lebih buruk dari tidak membawa pulang apa-apa, kecuali setumpuk brondong asli Pasuruan ini.”
Saya terdiam cukup lama. Lidah saya kaku dan tubuh saya mendadak lemas. Pada saat yang bersamaan, segerombolan anak muda dengan dandanan modis melintasi kami tanpa melirik sedikit pun. Aroma parfum salah seorang gadis menyengat saya dan saya segera sadar.
Ketika akhirnya saya sanggup bicara, yang saya tanyakan justru lain, “Bagaimana Bapak bawa ini dari Pasuruan? Kota itu jauh, beda provinsi. Dari mana asal Bapak?”
“Kalau soal asal, itu tidak penting. Saya lahir dari tanah yang diambil dari bumi ini, dan kelak mati dipendam di tanah asal-muasal saya. Semua kembali kepada asal. Anda pasti tahu konsep itu. Saya menumpang kereta dari Jawa Timur kemari.”
“Keluarga?”
“Keluarga saya meninggal semua dalam sebuah kecelakaan.”
“Innalillahi…”
Bapak tua itu menunduk dan kembali berzikir. Saya mendekatkan posisi duduk dan berkata dengan sungguh-sungguh, saya ingin membantu. Apa pun yang sekiranya bisa membuat beban si bapak ini ringan, saya akan bantu.
Ia tersenyum dan menggeleng. Saya bilang betapa brondong itu makanan favorit saya sewaktu kecil dan memohon agar ia relakan sepuluh brondong untuk saya bawa, dan saya akan menukarnya dengan uang. Saya kira, beliau pasti belum makan dari pagi. Dengan uang itu beliau bisa menghangatkan perut.
“Jangan khawatir. Anda tidak perlu takut saya meninggal di sini karena lapar. Saya sudah makan. Jika tidak puasa, tentu saya makan. Hari ini saya tidak puasa dan sudah makan.”
Lalu bapak itu membuka mata lebar-lebar dan menoleh kepada saya dan berkata ia tidak akan mati di sini; ia baru berpikir mati di sini karena mendengar omongan saya. Saya tidak bicara ia mungkin mati, tetapi kecemasan saya membuat ia berpikir mungkin saya takut ia mati. Jadi, ia pun berpikir ia bisa mati di sini, dan itu artinya ia tidak akan mati di sini.
“Anda jangan bingung. Apa yang saya katakan barusan, itu konsep dalam agama yang saya anut.”
“Saya juga Islam, Pak.”
“Nah, berarti tidak sulit memahami. Kita tidak tahu kapan kiamat datang. Dan jika kita mengatakan kiamat itu empat jam setengah lagi, sudah pasti apa yang kita katakan meleset. Manusia tidak bisa membaca masa depan.”
Saya mengangguk-angguk dan hati saya menjadi resah. Pacar menghadap kasir dan ia akan selesai dengan urusan membeli brownies yang membunuh lebih banyak waktu ketimbang saat ia berdandan.
Tanpa banyak pikir, saya lepas ransel dan meraih sepuluh kotak brondong jagung manis dan menaruhnya ke dalam tas. Bapak penjualnya memandangi saya tenang. Tidak melarang-larang seperti tadi. Pacar saya keluar dan tidak menyadari saya duduk di sini, di dekat pintu, sehingga saya juga bisa menghirup aroma tajam minyak wanginya.
“Ini, Pak. Anggap kita bertemu karena takdir. Bapak memberi saya banyak hal dan mohon jangan tolak ini!” Kuserahkan selembar lima puluh ribuan padanya dan langsung lari menyusul pacar, yang kaget karena mengira saya masih menunggu di seberang jalan.
Malam itu, Mami bertanya banyak kepada saya. Bukan tentang brownies yang ia sukai, tapi brondong jagung yang untuk membelinya saja bisa membunuh lebih banyak waktu ketimbang saat pacar saya berdandan. Tidak seperti saat membeli brownies, saya tidak pernah antre. Tapi obrolan dengan si penjual brondon jagung itu mengubah banyak hal dalam diri saya. [ ]
Gempol, 24 Juli 2016
___________________
*Ken Hanggara lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya terbit di berbagai media lokal dan nasional.
__________________
Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi karya baik berupa puisi, cerpen, dan esai dapat dikirim langsung ke email: [email protected].