Politik

Politik Identitas NU di Pilgub Jatim

Wis wayahe, wong NU dadi gubernur Jawa Timur. Ada oase dan kabar gembira bagi Nahdliyin di Jawa Timur. Bisa dipastikan kedua Cagub merupakan bagian dari keluarga besar NU. Menang atau kalah, gubernurnya dari NU. Karenanya, politik identitas NU pada Pilgub 2018 begitu menonjol. Badan otonom NU sudah mulai bergerak dan menunjukan dukungannya. Seolah badan otonom dan warga NU bersaing untuk mendukung salah satu paslon.

Bukan suatu hal yang tabu atau menakutkan jika politik identitas tampak pada pesta demokrasi. Politik identitas begitu penting untuk menunjukan eksistensi. Kalaulah peristiwa Pilkada DKI 2017 dijadikan alarm seolah bahaya politik identitas, maka sungguh naif. Politik identitas tidak hanya dimiliki umat Islam. Elemen lainnya pun ada, semisal identitas kaum feminisme, LGBT, suku, ras, keturunan, ormas, dan lainnya.

Membaca Politik Identitas NU

Gagasan awal kali NU terbentuk bukanlah dari wawasan politik. Meski demikian wawasan tersebut tidak lantas menjadikan NU mengabaikan soal-soal politik. NU pun pernah ikut pemilu 1955 dan memberikan sumbangan rumusan tata cara pelaksanaan hukum perkawinan pada masa kolonial Hindia-Belanda.

Muktamar NU 1984 di Situbondo membuat keputusan bersejarah memulihkan kembali khittah NU. Kehidupan politik NU pada mulanya dirasakan sebagai perluasan wawasan, setidaknya sampai akhir lima puluhan. Ada perkembangan yang memunculkan realitas lain. Perubahan orientasi jam’iyah yang bergerak di bidang kemasyarakatan dan keagamaan menjadi sebuah partai politik disadari karena tuntutan keadaan untuk memperluas cakrawala wawasan. Serta kebutuhan memperjuangkan dan menegakan kemerdekaan Indonesia.

Baca Juga:  Fraksi Demokrat DPRD Nunukan Dorong Penguatan UMKM

Sayangnya, orientasi praktis yang serba politis itu mengakibatkan NU terjerumus ke dalam pola yang serba taktis politis untuk memperebutkan keuntungan politik yang sementara sifatnya.(Pokok-pokok Pikiran tentang Pemulihan Khittah NU 1926, Keputusan Muktamar NU XXVII, Surabaya: Pengurus NU Wilayah Jatim, 1985, halaman 21-24).

Memang dalam Pilgub Jatim 2018, nuansa NU begitu kentara. Meski demikian tak menimbulkan perdebatan atau ketersinggungan kalangan di luar NU. Hal ini karena, cawagub yang menjadi pasangannya mampu menampilkan wajah lain dan merangkul. Di sisi lain, meski tidak ada rekomendasi langsung dari PBNU, kedua Cagub tidak bisa dilepaskan dari baju NU. Dukungan dari kyai-nyai, pesantren, dan Banom NU sudah terdeklarasikan dengan apik. Jadi, tugas Khofifah dan Gus Ipul pada masa kampanye nanti berebut hati warga NU Jatim. Tentu dengan gaya komunikasi politik masing-masing.

Menarik jika menelisik tiga tingkatan anggota NU. Tujuannya untuk memetakan politik identitas terlebih bagi paslon yang ingin mendapatkan legitimasi dari internal NU. Menurut Idham Chalid (salah satu pemimpin NU) tingkatan pertama anggota NU termasuk golongan muqarrabin terdiri atas ulama yang saleh, sufi, dan imam tarekat. Sebagian pengurus syuriah NU, menurutnya termasuk golongan ini.Tingkatan kedua, gologan abrar. Anggota NU yang taat menjalankan agama, mengerti tentang Islam dan perjuangan Islam. Tingkat ketiga, golongan abidin. Golongan NU yang taat menjalankan ibadah tapi tidak mengerti perjuangan Islam secara baik. Golongan ketiga terbagi menjadi beberapa tingkatan, yang terakhir disebut golongan nunut urip. Sekadar mengikuti atau mengakui Islam tetapi tidak menjalankan ibadah dan pada umumnya mereka dipengaruhi kharisma kiai.

Baca Juga:  Banjir Dukungan dari PMKD Se-Bondowoso, Risma Beber Cara Sejahterakan Rakyat

Catatan Penting

Semenjak pencalonan Cagu-Cawagub, kalangan kiai dan santri sudah terlihat aktif. Seolah ada sesuatu yang ingin diraih dengan keterwakilannya sebagai pucuk kepemimpinan di Jawa Timur. Seharusnya di kalangan kiai dan santri, memiliki standar siyasah Islam yang tinggi, sehingga tidak terjebak dalam arus liberalisasi politik demokrasi. Sangat disayangkan, energi besar umat Islam yang seharusnya bisa digunakan untuk izzul Islam wal muslimin terabaiakan.

Ada beberapa pesan bagi warga Jawa Timur agar tidak mudah terjebak dalam kelicikan politik demokrasi:

Pertama, NU dan Banomnya seharusnya memiliki pendidikan politik kepada anggotanya. Jika ini dilakukan, maka perjuangan NU yang menginginkan Indonesia sebagai baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafur bisa terwujud. Aspek pendidikan politik ini hendaknya dilandasi dengan politik Islam yang bermakna mengurusi urusan kehidupan rakyat dengan syariah Islam.

Tampak pada aspek pendidikan politik inilah banyak yang mengabaikan. Padahal seperangkat fiqh siyasah sudah ada dalam kitab-kita ulama. Kalaupun ada pendidikan politik, masih cenderung pragmatis dan belum jelas kelamin politiknya.

Kedua, senantiasa jaga persatuan dan perdamaian sesama anak bangsa. Jangan sampai gegara rebutan kursi kekuasaan timbul perpecahan di kalangan internal NU. Apalagi sampai menjadikan di luar NU sebagai musuh karena tidak mau memilih dan mendukung jagoannya. Ukhuwah Islamiyah, ukhuwah insaniyah, ukhuwah wathoniyah, dan ukhuwah basyariah harus dijunjung tinggi sebagaimana ajaran NU.

Baca Juga:  Turun Gunung di Lumajang, Ribuan Emak PKS Berjibaku Menangkan Kbofifah-Emil di Pilgub

Ketiga, umat Islam pada umumnya harus cerdas secara politik bahwa untuk merubah keadaan tidak sekadar berubahnya pemimpin. Keterpilihan sebagai pemimpin tidak lantas menjadikan Islam atau kelompoknya menang. Karena pemimpin, semisal Gubernur, bisa menduduki Jatim 1 berangkat dari dukungan partai politik. Mereka tidak berangkat dari rahim organisasinya. Terkadang organisasinya yang sudah mapan dijadikan batu loncatan untuk meraih dukungan dan mengeruk suara.

Perubahan bisa terjadi jika ada perubahan pada sistem dan rezimnya. Hal ini meniscayakan tawaran perubahan sesuai konsep Islami.

Keempat, siapapun harus memahami bahwa selain ada dukungan kiai dan santri yang menjadi legitimasi cagub-cawagub, ada pengusaha yang turut berjasa. Biaya pilkada itu mahal, bung! Jelas tidak mungkin mengandalkan dana pribadi, kelompok, dan partai. Meraka pasti menerima dari sumbangan donatur. Dalam alam demokrasi, kongkalikong penguasa dan pengusaha bukanlah hal tabuh.

Oleh karena itu, dalam membaca politik identitas NU di pilgub Jatim 2018, akan banyak sekali penampakan identitas simbol dalam kampanye-kampanyenya. Pondok pesantren pun sudah kerap dikunjungi. Sowan ke ulama kharismatik untuk mohon doa restu sudah dilakoni. Bahkan, stiker dan slogan-slogan sudah ditempel di rumah-rumah warga. Kelompok pengajian pun mendapatkan berkah bantuan untuk mendukung salah satu pasangan. Banjir uang tak terhindarkan lagi. Semoga tidak terjadi apa-apa dan Jatim tetap damai. Itu saja!

Oleh: Hanif Kristianto, Analis Politik dan Media

Related Posts

1 of 27