NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Perppu Ormas yang telah disahkan menjadi UU Ormas telah membuat demokrasi di Indonesia mundur di era kepemimpinan Joko Widodo. Atas nama menjaga Pancasila, pemerintah justru berlaku seenaknya dalam menyikapi keberadaan ormas di tanah air dan secara gegabah menuding ormas anti Pancasila, sesuai dengan kepentingan politik penguasa.
Perppu Ormas yang telah menjadi UU Ormas ini sejak awal memang membuat polemik dan kegaduhan di ranah publik, tetapi tidak di lingkungan kekuasaan. Buktinya, kebijakan ini berjalan mulus di DPR setelah dilakukan voting.
Polemik muncul karena peraturan ini diduga sengaja disetting untuk membungkam ormas-ormas yang kritis terhadap kepemimpinan Joko Widodo di kursi kepresidenan. Celakanya, ada aroma tak sedap kalau peraturan ini dibuat untuk memberangus ormas-ormas Islam yang kerap meneriakkan nada-nada kritis yang berarti sama halnya pemerintah memang tidak senang dengan keberadaan umat Muslim di tanah air, meskipun disebut-sebut sebagai mayoritas.
Selain itu, problem lain adalah tata cara penegakkan hukum terhadap ormas juga dinilai banyak pihak tidak sesuai dengan proses hukum yang seharusnya dijalankan. Ambil contoh misalnya ormas HTI yang dibubarkan tanpa melalui pengadilan. Kendati secara fisik telah resmi bubar, namun tak menutup kemungkinan perlawanan akan terus dilangsungkan. Dan ini menjadi preseden buruk bagi kepemimpinan eks walokota Solo itu.
Terlepas dari itu, Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun mengingatkan, Perppu Ormas (UU Ormas-red) cenderung berlebihan. Semestinya, sebagai pemimpin, pemerintah bersikap lebih bijak dan persuasif dalam menyikapi ormas yang dinilai melenceng dari Pancasila, bukan asal main bubar.
“Pemerintah dapat melakukan pembinaan, peringatan penghentian dana hibah, dan pencabutan status badan hukum sebelum ormas dibubarkan,” Refly Harun mengingatkan, Jakarta, Senin (6/11).
Atas UU Ormas yang telah disahkan DPR, Refly sedikitnya memberikan tiga catatan khusus. Pertama, UU Ormas menghilangkan proses hukum.
Kedua, UU Ormas telah menambahkan definisi bertentangan dengan Pancasila. Ketiga, UU Ormas cenderung berat terhadap orang-orang yang terlibat.
Dengan kata lain, tafsiran mengenai Pancasila selalu berubah-ubah dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Bahkan cenderung disesuaikan dengan kepentingan politik penguasa.
“Pada masa Orde Lama Pancasila ditafsirkan menjadi demokrasi terpimpin yang berlandaskan pada Nasakom. Pada masa Orde Baru berbeda lagi, Pancasila ditafsirkan menjadi Demokrasi Pancasila yang anti komunis,” kata Refly. (ed)
Editor: Eriec Dieda/NusantaraNews