NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Tiga Cacat Fundamental Presidential Threshold dalam Perspektif Demokrasi. Sidang Paripurna DPR RI beberapa waktu lalu telah menetapkan Presidential Threshold atau ambang batas calon Presiden 2019 sebanya 20 persen. Ketetapan yang tidak disepakati oleh seluruh fraksi di DPR ini meyisakan pro dan kontra yang tajam.
Direktur Lembaga Survey Indonesia (LSI) Denny JA menilai jika menggunakan perspektif demokrasi, UU Pemilu yang baru saja disahkan DPR 2017 memiliki cacat fundamental. UU ini mengesahkan pemilu serentak bagi presiden dan DPR. UU ini juga menggunakan perolehan suara partai di pemilu 2014 sebagai basis untuk ambang batas capres 2019.
“Memang dalam praktek sistem Demokrasi ada banyak nuansa, seperti sistem parlementer atau presidential. Kedua nuansa itu sama sahnya. Namun semua nuansa itu tetap tidak melanggar nilai utama yang justru membuat sistem demokrasi itu berharga,” kata Denny dalam pesan singkatnya, Rabu, 26 Juli 2017.
Menurut Dennya, UU Pemilu yang baru disahkan DPR 2017 cacat untuk tiga nilai utama demokrasi. Pangkal utama cacat dari undang undang itu adalah memaksakan hasil pemilu 2014 digunakan sebagai ambang batas untuk calon presiden pada pemilu berikutnya di 2017. “”Pertama, dilanggarnya prinsip kesamaan hak dan posisi hukum partai politik,” katanya.
Kedua, kata dia, UU itu meniadakan hak warga untuk tak setuju pilihannya pada partai di satu pemilu digunakan untuk basis kekuatan partai itu pada pemilu berikutnya. Situasi politik dan ekonomi, serta kesadaran warga sudah sangat mungkin berbeda.
“Ketiga, ambang batas 20-25 persen syarat pengajuan capres 2019 mengacaukan pula desain kelembagaan demokratis yang ingin diterapkan di Indonesia. Tetap dipaksakannya presidential threshold bagi pemilu serentak bahkan diwacanakan untuk memperkuat sistem presidentialisme,” terang Dennya.
Pewarta/Editor: Achmad Sulaiman