NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Aktivis HAM Natalius Pigai mengatakan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) yang dipatok minimal 20 persen merupakan bentuk pembatasan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Pasalnya, dalam perspektif HAM esensi hak politik tidak boleh ada pembatasan.
“Dalam bernegara tidak boleh ada sistem seperti itu, negara ini negara besar. Di masa depan, presidential threshold tidak boleh ada lagi, biarkan rakyat yang menentukan pilihan,” kata Pigai dikutip dari keterangannya, Jakarta, Sabtu (20/7/2019).
Menurutnya, hak asasi semua orang jika dirinya ingin menjadi pemimpin negara baik presiden, wakil presiden, gubernur hingga walikota. Namun, pada Pilpres 2019, aturan presiential threshold diberlakukan yang kemudian hanya menghasilkan dua pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Padahal esensinya, kata dia, peraturan tersebut jelas mengebiri hak warga negara untuk berpartisipasi dalam pemerintahan.
Lebih lanjut, tokoh HAM kelahiran Paniai, Papua ini mengatakan bahwa proses pemilihan umum yang berkualitas akan melahirkan pemimpin yang juga berkualitas. “Bukan soal menang dan kalah, itulah sejatinya proses demokrasi,” kata dia sembari menyebut suksesi pemilu adalah keberhasilan KPU, Bawaslu dan DKPP yang notabene bertindak sebagai penyelenggara pemilu.
“Kualitas pemilu diselenggarakan oleh penyelenggara yang jujur dan adil,” ujarnya. Pemilu yang dilakukan dengan tidak jujur dan tidak adil, lanjut dia, maka tidak akan bermartabat. “Tidak perlu kita beri tempat pada orang yang melakukan politik uang,” tambah dia sembari menegaskan bahwa pemilu haris mengandalkan ide dan gagasan besar dari calon pemimpin.
“Negara hanyalah fasilitator. Karena itu, sarana yang dipunyai negara tidak digunakan untuk memberikan dukungan dan akses bagi salah satu pasangan calon, legitimasinya pun pasti downgrade,” terang Pigai. (eda)
Editor: Eriec Dieda