NUSANTARANEWS.CO – Di sela-sela not lagu Waltz for Debby ciptaan Bill Evans yang kumainkan dengan piano, terdengar namaku diteriakkan dari luar kamar tidurku. Aku tersentak namun jemariku tetap memainkan lagu itu tanpa henti. Seketika terdengar langkah kaki yang mendekat dilanjutkan oleh ketukan-ketukan keras pada pintu kamarku. Aku tidak menghiraukannya dan tetap bermain, begitu pula si pengetuk tidak menghiraukanku dan terus mengetuk sehingga ia memutuskan untuk membuka pintu yang ternyata tidak terkunci itu. Di balik pintu yang sudah terbuka itu aku melihat seorang lelaki separuh baya sedang berdiri. Ia mengucapkan beberapa hal yang tampaknya tenggelam di antara permainan pianoku, kemudian setelah menuntaskan ucapannya ia segera pergi tanpa menutup kembali pintu yang tadi ia buka. Lelaki itu adalah Ayah.
“Ingat, lima belas menit lagi kamu harus pergi ke kursus matematika.”
Itu yang disebutkan Ayah sebelum ia pergi dari kamarku. Aku tetap bermain hingga langkah Ayah benar-benar tak lagi terdengar. Saat kedua telingaku tidak lagi mendengar bunyi langkah kakinya lagu yang kumainkan juga sudah sampai pada birama terakhir, lalu not terakhir. Aku berhenti menekan-nekan tuts piano dan segera berdiri. Kuambil sebuah tas sandang berwarna hitam yang tergeletak di atas tempat tidurku dan memasukkan sebuah buku catatan serta kotak pensil ke dalamnya, lalu melangkah keluar kamar dengan menyandang tas itu, dan menutup pintu kamarku.
Melewati ruangan tengah, aku melihat Ayah sedang sibuk dengan laptopnya, sudah pasti mengerjakan tugas kantornya. Saat aku berjalan di depannya ia tak memedulikanku, dan aku pun pergi keluar tanpa pamit. Tidak ada ucapan-ucapan seperti, ‘Mengapa awal sekali?’ atau, ‘Tidak ada yang lupa dibawa?’ dan, ‘Hati-hati di jalan’.
Ayah seakan tidak pernah mengerti tentang impian besarku pada piano dan jazz. Ayah tidak pernah peduli bahwa aku jarang memerhatikan guru di kelas. Ayah juga tidak pernah peduli betapa aku ingin ia mendengarkan permainanku. Namun Ayah kelihatannya terlalu sibuk dengan pekerjaannya untuk itu. Yang Ayah tahu, aku mendapatkan nilai-nilai bagus setiap ambil rapot, dan dengan itu dia percaya sepenuhnya bahwa aku harus menjadi seorang insinyur, setidaknya dokter. Dengan kepercayaan inilah Ayah memaksaku untuk mengikuti kursus matematika setiap Sabtu selama tiga jam. Ayah tidak pernah tahu dan peduli bahwa dia memaksaku untuk menjadi apa yang dia inginkan, sementara aku hanya ingin menjadi seperti Ahmad Jamal.
Dan saat berada di luar rumah, aku kali ini tidak menggunakan sepeda untuk menuju tempat kursusku seperti pada Sabtu-Sabtu sebelumnya, melainkan berjalan kaki. Berdasarkan pengukuranku pada hari-hari kursus yang telah lalu, untuk kesana dengan berjalan kaki membutuhkan waktu lebih kurang sepuluh menit. Aku pun mulai berjalan.
Dalam perjalanan, di sebuah pinggiran toko-toko yang terletak sekitar beberapa meter lagi menuju tempat kursusku, pikiranku teralih pada alunan halus musik jazz yang terdengar kurang jelas namun menarik perhatian. Orang-orang di sekitarku tidak ada yang menyadarinya. Namun, aku berusaha mencari sumber suara musik itu. Aku mengikutinya ke sebuah lorong di antara dua toko yang berdekatan. Aku hanya melihat dinding kosong yang tidak menarik di ujung lorong itu, tetapi musik itu semakin jelas terdengar di sini. Aku melihat ke sekitar, mencari-cari. Hingga aku menemukan sebuah lubang di tanah yang kurasa sebuah lubang menuju saluran pembuangan kotoran, tetapi lubang itu terbuka dan terdapat sebuah tangga yang terbuat dari tali yang menggantung di tembereng lingkaran lubang itu. Alunan jazz itu berasal dari dalam lubang itu. Lalu aku masuk dan turun ke dalam menggunakan tangga itu.
Semakin aku ke dalam, semakin jelas musik itu. Aku dapat mengenali lagu yang sedang dimainkan. Lagu yang sedang bermain adalah Stella by Starlight gubahan Victor Young. Anak tangga demi anak tangga, aku dapat menyadari bahwa lagu ini dibawakan dalam format drum, bass, saksofon dan gitar. Dan akhirnya aku pun sampai di dasar tempat itu. Bau busuk yang menusuk di tempat itu membuatku menjepit kedua lubang hidungku agar tidak membauinya. Aku berjalan sedikit mengikuti arah datangnya suara musik, hingga pada sebuah lorong yang mengarah pada tiga lorong lainnya. Suara musik itu datang dari lorong di tengah, lalu aku pun berjalan masuk ke lorong itu.
Terdapat empat orang lelaki muda berjas dengan kemeja putih pada bagian dalamnya, dua di antara mereka sedang duduk, dan satu di antara mereka ada yang melingkarkan dasi pada lehernya. Keempat lelaki itu memainkan instrument musik yang berbeda-beda. Sebuah drum set, sebuah contrabass, sebuah gitar semi-hollow jenis L5 yang tersambung pada sebuah ampilifier, dan sebuah saksofon alto. Sang pemain saksofon adalah lelaki yang mengenakan dasi, dan yang sedang duduk adalah pemain gitar dan pemain drum. Di samping pemain bass ada sebuah piano lengkap dengan kursi di depannya, yang anehnya tidak dimainkan siapa-siapa, hanya terletak disana seakan menunggu seseorang untuk memainkannya. Aku berdiri di hadapan mereka dan memandang penampilan mereka. Tidak ada yang menonton mereka. Tidak ada yang mendengarkan mereka. Siapa yang hendak pergi ke saluran pembuangan kotoran? Hanya ada aku dan mereka. Aku sang penonton dan mereka para penampil. Namun setelah lama aku berdiri mereka tetap tidak menyadari keberadaanku. Mereka sibuk berkencan dengan instrument masing-masing. Hingga akhirnya mereka menyelesaikan penampilan mereka.
Mereka saling melihat satu sama lain, dan akhirnya menoleh padaku bersamaan. Raut wajah mereka terlihat jelas berubah. Kembali mereka saling pandang, lalu menoleh lagi padaku. Kemudian seseorang di antara mereka berbicara.
“Ini tidak mungkin, Desha,” ujar sang pemain gitar yang sepertinya diajukan pada sang pemain saksofon.
“Anak kecil ini? Aku tidak percaya,” lanjut sang pemain bass yang menyela sebelum sang pemain saksofon yang kurasa bernama Desha belum sempat menjawab.
“Sama seperti Indro, aku juga tidak percaya,” kata pemain drum.
Desha tetap diam sambil memandangku. Dia terlihat bingung, sama seperti anggota kumpulannya yang lain. Pria yang kira-kira berumur empat puluh tahun itu membuka mulutnya, dan mengucapkan beberapa kata.
“Namamu siapa?”
“Harbi,” jawabku singkat.
“Bagaimana kamu dapat kesini?”
“Dalam perjalanan menuju tempat kursus, alunan musik jazz menarik perhatianku dan aku memutuskan untuk mencari sumber suaranya. Dan sampailah aku disini.”
“Begitu saja?”
“Iya.”
Aku berusaha menjawab seadanya, karena aku benar-benar tidak tahu mereka siapa dan mengapa mereka memainkan jazz di tempat yang kurang masuk akal ini. Desha terdiam dan kembali memandang teman-temannya.
“Bisa jadi memang dialah yang terpilih.”
“Tidak mungkin, Desha. Aku tidak percaya.”
“Terserah kamulah, Oel. Aku yakin memang dia.”
Lalu dengan nada tidak ikhlas sang pemain gitar yang dipanggil Oel oleh Desha memanggilku.
“Harbi, itu namamu ya? Kemari,” aku mengikuti perkataannya dengan berjalan mendekatinya. Saat aku berdiri di sampingnya, Oel langsung menyuruhku duduk di depan piano dan menyuruhku memainkannya. Aku bertanya padanya apa yang harus aku mainkan, namun dia membentakku seraya kembali menyuruhku memainkannya. Aku bingung, dan akhirnya tanpa kusadari jemariku memainkan improvisasi bebas pada piano. Semua mata di tempat itu memandangku. Mereka semua terpana dan hening tercipta. Hening membuat improvisasiku semakin indah. Improvisasi itu berlangsung tak lama hingga akhirnya aku melanjutkannya dengan memainkan lagu ‘Round Midnight oleh Thelonious Monk. Desha tersenyum padaku, lalu spontan mengangkat saksofonnya dan meniupnya.
Indro, sang pemain bass, merasa terajak, ikut memainkan instrumen yang ia kuasai, seraya mengajak Oel yang dari tadi tampak sinis. Mereka berdua pun akhirnya ikut bermain bersama.
“Mari Alfin!” ajak Oel pada sang pemain drum. Alfin, pemain drum, pun tersenyum lalu ikut bermain pada ketukan keempat. tanpa persiapan, tanpa berlatih, hanya bibir, jari, telinga, dan hati. Inilah yang aku cintai. Inilah jazz.
Tanpa disadari, kami telah bermain selama sepuluh menit. Aku seketika tak lagi peduli dengan kursusku, dengan segala angka-angka matematis, dan dengan Ayah. Aku bahagia bersama orang-orang yang tidak kukenal yang baru bertemu denganku sekitar sepuluh menit yang lalu. Mereka bergiliran menyalami tanganku setelah kami selesai bermain. Seusai permainan kami, Desha, yang ternyata juga pemimpin kumpulan ini di samping sebagai pemain saksofon, menceritakan tentang kumpulan yang telah ia pimpin selama tujuh tahun ini.
’Kuartet Bebop Bawah Tanah’, itulah nama kumpulan mereka kata Desha. Ia bercerita bahwa mereka adalah kumpulan jazz beranggotakan para pecinta jazz dengan bakat jazz yang luar biasa, namun cinta dan bakat itu tenggelam di dalam gemuruh dunia yang membuat mereka memutuskan untuk mengumbar cinta dan bakat tersebut di tempat yang jauh dari gemuruh itu, di bawah tanah.
Desha dan tiga temannya memiliki kisah masing-masing. Desha adalah pemain saksofon yang kerap ditolak oleh kafe manapun untuk tampil, karena tidak mau membawakan musik pop dan hanya mau memainkan jazz murni. Oel, seorang gitaris yang waktu untuk bermain gitarnya tersita oleh pekerjaan yang bertumpuk. Indro, dulunya seorang penjaga kasir dengan bos yang kerap memarahinya, namun memiliki bakat terpendam dalam bermain bass dan tentunya cinta jazz. Sementara Alfin adalah pemain drum untuk sebuah kumpulan musik pop, yang mana sebenarnya tak ia sukai namun ia butuh uang untuk hidup.
Dan akhirnya pada sebuah malam, mereka semua melarikan diri dari gemuruh dunia yang mecoba menjatuhkan mereka. Mereka turun ke bawah tanah dengan membawa serta instrumen mereka masing-masing. Mereka ke bawah melalui lubang yang berbeda-beda, tetapi pada suatu saat mereka bertemu di sebuah tempat, dan menyadari bahwa mereka memiliki cinta dan bakat yang sama, yakni jazz. Dan disanalah mereka meletakkan instrumen-instrumen mereka, dan juga cinta serta bakat mereka. Pada saat itulah terbentuk ‘Kuartet Bebop Bawah Tanah’.
Dan hari ini, saat mereka bangun pagi, sebuah piano lengkap dengan kursinya terletak di tengah-tengah instrumen lainnya. Mereka bingung, karena mereka hanya berempat dan tak ada satu pun dari mereka yang dapat bermain piano. Desha berkata bahwa ia percaya ini adalah tanda bahwa seorang pianis akan datang, yang akan menyempurnakan kumpulan ini menjadi sebuah kwintet. Dan beberapa jam kemudian, aku datang dan memainkan piano yang ia sebutkan.
“Tetapi, siapa yang menonton dan mendengarkan?”
“Tidak ada.”
“Kalian semua bermain untuk siapa? Bukankah kalian bermain untuk menghibur orang ramai?”
“Kami tinggal di bawah tanah dengan tujuan bukan untuk menghibur. Jazz bukan sekadar hiburan, anak muda. Jazz adalah semangat. Kami bermain untuk jazz.”
Aku tak menjawab. Desha menyuruhku untuk tinggal disini. Aku lekas menyetujuinya. Namun entah mengapa terpikir olehku Ayah. Ia sendirian. Aku berdiri dan aku berkata padanya aku tidak seharusnya disini. Aku lari, membuat tiga anggota lainnya menengok padaku penuh tanda tanya, kecuali Desha. Desha tersenyum dan seakan ingin mempersiapkan sesuatu. Aku berlari sampai pada tangga tali yang tergantung itu, dan langsung memanjatnya hingga atas keluar dari saluran pembuangan itu.
Ternyata hari telah senja. Tak terasa waktu kami bermain dan bercerita begitu lama. Aku melaju dengan cepat ke rumah, saking cepatnya aku sempat menyenggol beberapa orang yang lalu mengumpatku. Namun aku tetap melaju hingga rumah. Sesampainya aku di depan rumah, aku langsung membuka pintu depan, dan meneriakkan kata ‘Ayah’ seraya mencari-cari orang yang aku sebut.
Ia berada di kamarku, duduk di atas kursi pianoku. Namun tidak ada piano di depannya. Hanya ada Ayah, duduk sendiri di atas kursi pianoku.
“Kamu kemana saja?” tanya ayah separuh kesal.
“Ayah, aku tidak mau kursus lagi. Aku tidak mau jadi apapun yang Ayah pernah ambisikan.”
“Mengapa Nak, mengapa begitu tiba-tiba?”
“Ayah tahu dari dulu aku tidak pernah suka.”
Ayah terdiam dan menunduk, lalu mendongak kembali dan bertanya dengan lembut.
“Lalu apa yang kamu inginkan, Nak?”
Aku melempar tas sandangku ke tempat tidurku dan menggenggam tangan Ayah. Ia berdiri, dan mengikuti arah jalanku. Kami keluar kamar dan menuju luar rumah. Kubuka pintu depan rumah dan mengambil sepedaku dan menaikinya. Aku meminta Ayah agar dapat duduk di belakangku dan memegangku rapat agar tak jatuh. Kami pun melaju di bawah langit yang mulai menjelma menjadi malam. Angin halus yang menerpa wajah kami menandakan sepeda yang kukendarai melaju begitu cepat. Kedua tubuh kami condong ke depan, mengikuti arah gerak sepeda. Dan saat sudah dekat tempat yang ingin kutuju, aku memelankan sepeda secara bertahap. Sehingga akhirnya kami berhenti di depan sebuah lorong yang berujung jalan buntu. Aku menarik Ayah menyusuri lorong itu. Lubang itu masih terbuka dan masih terdapat tangga tali di temberengnya. Aku turung ke bawah, dan menyuruh Ayah ikut. Ayah terlihat bingung dan takut, namun juga penasaran dan tertarik. Akhirnya ia ikut juga denganku.
Sesampainya kami di dasar saluran pembuangan itu, bau busuk yang sebelumnya begitu menusuk tak lagi ada. Di sana, lilin-lilin yang terletak di atas sebuah piring kecil disebarkan di sepanjang jalan. Aku mengajak Ayah untuk mengikuti arah lilin-lilin itu. Dan memang benar, lilin-lilin itu mengarah pada sebuah tempat megah. Tempat itu terang dengan lilin-lin di sekitar tanahnya. Di depan, terdapat sebuah panggung merah yang di atasnya telah terletak sebuah drum set, contrabass, sebuah gitar yang terhubung pada amplifier, sebuah saksofon alto, dan pianoku, lengkap dengan kursi di depannya. Di depan panggung pula, terdapat sebuah kursi istimewa untuk satu orang. Aku pun menuntun Ayah untuk duduk di atasnya.
Dan mereka pun datang, Desha dan tiga temannya. Aku memandang Ayah yang bingung dan kagum, tanda meminta izin untuk ikut dengan mereka. Aku dan Ayah melepaskan genggaman bersamaan, sehinga sulit untuk mengetahui siapa yang sebenarnya melepaskan genggaman.
Desha dan kawan-kawannya bersiap sedia dengan instrumen mereka masing-masing. Dan aku pun duduk di depan piano yang juga tersedia di sana. Kami semua saling pandang penuh bahagia. Lalu aku menoleh pada Ayah, yang perlahan tersenyum, lalu menangis lembut.
Kemudian Desha maju ke depan, dan mengucapkan beberapa kata.
“Tuan-tuan dan nyonya-nyonya, selamat datang di pertunjukan perdana ‘Kwintet Bebop Bawah Tanah’!” []
Kuala Lumpur, 21 Januari 2017
Muhamad Kusuma Gotansyah, Seorang gitaris muda kelahiran Tangerang yang berambisi untuk membuka mata dunia dengan musiknya. Penampilan debutnya adalah di selamatan sunat anak tetangga.
__________________________________
Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resinsi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected].