NUSANTARANEWS.CO – Sudah lama sekali ketika aku pertama kali menyadari keberadaanmu, lalu sempat menolakmu. Aku ingat saat itu kita bertengkar, bukan? Setidaknya ini gambaran yang tepat menurutku untuk situasi saat itu. Kau datang terlalu tiba-tiba tanpa ada isyarat alam atau tanda-tanda dari Tuhan. Kau anugrah tapi datang dengan cara yang terlalu sederhana.
Saat itu aku ragu apa yang akan kumiliki setelah kau hadir dalam hidupku, jika aku boleh berkata jujur saat itu aku memang tidak menginginkanmu, aku masih mencintai duniaku tanpa keberadaanmu, aku belum mempersiapkan diri dengan baik, masih banyak gambaran indah tentang masa depan yang ditularkan para pemimpi padaku melalui televisi, radio, surat kabar dan majalah-majalah. Gambaran masa depan dan gaung kebahagiaan menggema di dalam diriku, setidaknya aku hidup dengan berpikir akan hal-hal itu dan membayangkan bentuk kebahagiaan yang membius lebih dari heroin atau hal-hal memabukkan lainnya.
Pagi itu udara terasa lebih dingin, pagi di awal bulan Desember, kau ingat itu? Hari-hari masih seperti biasanya, aku masuk ke dalam ruangan di mana semua percobaanku menanti. Alat-alat yang terlihat pucat kedinginan. Ada sebuah oven besar di dekat pintu penyimpanan, aku menyentuh bagian sampingnya, masih terasa hangat, sepertinya listrik mengalir dengan baik dalam tiap komponennya. Hampir setiap hari selama 2 tahun oven itu telah dengan setia membiarkan aku memasukkan apa saja yang kuinginkan ke dalamnya, tapi bukan berarti oven itu tak pernah mengeluh, kadang aku berkelahi dengannya seperti apa yang terjadi pada kita.
Pernah suatu hari seorang mahasiswi dengan rambut panjang terikat di belakang lehernya berlari ke ruanganku, ia berkata padaku bahwa sepertinya oven itu tidak mau bekerja dengan baik, dan aku bergegas menengoknya. Ternyata seekor tikus hidup di dalamnya, kau tahu, itu agak lucu menurutku, “tikus-tikus di laboratorium ini sepertinya punya otak yang tak kalah cerdas dengan kita,” kataku.
Para mahasiswa muda yang ada di sekitarku tertawa, mereka menyarankan untuk membunuh tikus itu, tapi tikus terlalu pintar dan bergerak dengan cepat masuk ke dalam celah-celah kecil yang lebih dalam hingga jemariku tak dapat lagi meraihnya. Lalu aku putuskan untuk menutup kembali bagian yang telah kubuka dan menyalakan semua tombol yang diperlukan pada oven itu. Aliran listrik mengalir sangat cepat pada tiap komponennya, lampu indikator menerangkan suhu dalam oven mulai meningkat dari 600C hingga 1200C, tentu saja itu sangat berlebihan untuk hanya memanaskan air.
Kau tahu saat itu aku terus berpikir ke mana perginya tikus abu-abu yang pernah menatapku dengan kecut itu? Setelah tiga hari tak ada lagi yang bertanya padaku tentang tikus di dalam oven itu, tidak juga mahasiswa yang menyarankan aku membunuhnya. Namun aku masih mengingat matanya yang mendelik kaku di antara hidungnya yang menjulur panjang. Bagaimana menurutmu? Apakah tikus itu mampu melarikan diri? Atau terpanggang oleh suhu yang semakin meningkat di dalam oven itu? Aku menyesal tidak meyakinkan apa yang ingin aku ketahui saat itu.
Kini semua terlalu jauh, masa lalu sudah terlalu jauh untuk dapat kuulangi lagi. Bagaimana kalau aku anggap saja tikus itu selamat dan membuat keluarga dan mereka menjadi kebal terhadap suhu panas yang ada di dalam oven itu? ia dan pasangannya akan membentuk suatu spesies baru yang tahan terhadap suhu panas, dengan bulu yang mungkin berwarna coklat atau hitam karena terpanggang, dengan lapisan kulit dan membran bagian dalam yang lebih tebal di dalam tubuh mereka. Atau mereka membentuk suatu sistem pertahanan baru yang mampu mengatur suhu panas dalam tubuh mereka seperti kemampuan pengaturan osmosis pada ikan atau tanaman.
Bagaimana menurutmu? Bukankah dengan begitu ada hal baru yang menggemparkan dunia ilmu pengetahuan? Atau setidaknya mengurangi kebencianku pada masa lalu hingga jika kenangan akan tikus itu kembali lagi di kepalaku, aku cukup menyambungnya dengan kesepakatan yang kita buat dalam ruangan ini, kesepakatan tentang kelanjutan hidup seekor tikus dan para turunannya yang diputuskan oleh kita yang tidak ada hubungannya dengan kehidupan mereka. Lelucon yang bagus untuk hari yang membosankan bukan?
Kini kubiarkan kau memutuskan apa yang akan terjadi padamu, padaku, pada kita. Aku tak akan mengulangi lagi awal pertengkaran itu, saat kau mulai marah atau mulai berusaha menguasaiku. Aku tahu kau tidak menyukai orang-orang yang datang padaku saat itu, tapi kau harus tahu bahwa aku butuh bantuan, setidaknya saran, dan mengetahui apa yang harus kulakukan untuk menghadapimu. Mereka tidak berniat ikut campur, tanda kupu-kupu yang kau tinggalkan di wajahku terlalu nyata dan mereka hanya peduli, entah padaku atau pada sesuatu yang akhirnya dapat mereka pelajari di kemudian hari. Menurutku mereka juga peduli padamu, mereka mulai mencari-cari dari mana kau berasal.
Jadi maukah kau memberi tahu aku dari mana kau berasal? Apakah dari sebuah tempat di antariksa yang mereka sebut sebagai lubang hitam, yang dapat menghisap semua benda dan tak akan pernah mampu keluar lagi. Dan saat itu kau tertarik pada cahaya yang menyilaukan di ujung mulut lubang hitam dan melesat keluar serta tersesat dalam tata surya dan sepintas kau melihat sebuah benda berwarna biru yang menarik dan menjebak dirimu dalam lubang ozon dan akhirnya menemukanku? atau apakah kau berasal dari atlantis kota yang hilang dan menemukan aku sebagai atlantis yang lain? atau apakah kau berasal dari mitologi? mungkin dapat juga kugunakan kepercayaan paradigma sentral biologis untuk menjelaskannya. Dimana kau berasal dari DNA dan menghasilkan RNA yang akan berkomunikasi dan akhirnya sepakat membentuk proteinmu dan akhirnya mereka bergotong-royong mengkopi dan mencetak sel-selmu dan akhirnya selmu jatuh cinta pada selmu yang lain dan saling mengikatkan diri dan terbentuklah kau sebagai suatu jaringan?
Kau juga harus tahu bahwa aku sangat mencintai masa laluku sehingga kini dapat kau lihat betapa semua kecintaanku itu membuatku menderita, betapa menderita aku karena merindukannya, betapa sangat menderitanya aku karena mencintai semua itu. Malam sepertinya sudah mengisyaratkan kita untuk berkemas dari semua kerepotan sia-sia hari ini, aku sudah tidak akan sibuk lagi dengan semua imaji yang mereka coba tanamkan padaku. Hanya kau satu-satunya yang nyata sekarang, sama seperti apa yang sedang kau lakukan: apakah kau berdegup bersama jantungku? apa kau bernafas bersama paru-paruku? apakah kau berpikir juga dengan otakku? apa kau sedang menyimpan makanan dengan perutku? apa kau juga bergerak dengan persendianku?
Oh, betapa seluruh tubuhku terasa nikmat saat ini, betapa tubuhku telah kau kuasai. Dan kini aku percaya, jika Hawa tercipta dari tulang rusuk Adam, maka kau tercipta dari seluruh sel dalam tubuhku. Mari kita pergi bersama, karena kini kau tentu tahu betapa aku sangat mencintaimu karena penderitaan yang kau berikan. Betapa aku tak dapat melepaskanmu karena rasa sakit yang tak dapat lagi pergi dariku.***
*Maywin Dwi-Asmara, lahir di Mataram, Lombok, 3 Mei 1992. Tahun 2014 mendapat research fellow dari Universita di Bologna, Italia. Pada Oktober 2016 diundang Dewan Kesenian Jakarta sebagai pemateri dalam Dua Forum Teater Riset. Cerpen-cerpennya diterbitkan sejumlah surat kabar.
__________________________________
Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi karya baik berupa puisi, cerpen, dan esai dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected].