NUSANTARANEWS.CO – Wakil ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI, Adies Kadir mengungkapkan bahwa keputusan pemulihan nama baik mantan Ketua DPR RI Setya Novanto (Setnov) oleh MKD sudah sangat tepat.
Pasalnya, menurut Adies, putusan dari Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa alat bukti dalam kasus “Papa Minta Saham” tidak sah dan tidak dapat dijadikan alat bukti hukum.
“Saya kira keputusan MKD tersebut sudah tepat. Sebab, jika mengacu pada hasil putusan MK beberapa waktu lalu yang menyatakan, alat bukti yang direkam bukan oleh penegak hukum adalah tidak sah, maka apa yang dituduhkan pada SN (Setya Novanto) semuanya terbantahkan dengan adanya putusan MK tersebut,” ungkapnya di Gedung DPR/MPR RI, Jakarta, Rabu (28/9).
Selain itu, Adies menyatakan, tuduhan bahwa Setnov melakukan pelanggaran etika juga tidak memiliki dasar yang kuat.
“Melanggar etika dimananya? Tiba-tiba SN dihakimi dan dijatuhkan harkat serta martabatnya di depan publik, hanya dengan alat bukti rekaman yang pada hari ini benar-benar digugurkan oleh MK, jadi, kalau bicara soal etika itu bisa debatable. Akan lebih berdosa dan tidak beretika kita kalau terus menerus mendzolimi SN, dimana bukti utama yang diajukan pada saat proses persidangan MKD dulu ternyata tidak sah,” ujar Sekjen ormas MKGR ini dengan tegas.
Sedangkan yang diperdebatkan soal pertemuan Setnov dengan pejabat Freeport di salah satu hotel pun, menurut Adies, hal ini juga sulit untuk dibuktikan kebenarannya.
“Sulit dibuktikan itu, apa benar ada pertemuan itu?. Toh nyatanya rekaman maupun si pembawa rekaman yang menyerahkan ke MKD waktu itu bisa dikatakan ilegal dan terbantahkan dengan adanya putusan MK,” katanya.
Di samping itu, Adies menambahkan, jika berbicara asas kepatutan dan kepantasan anggota DPR pada umumnya, melakukan pertemuan dengan siapapun yang menyangkut kepentingan masyaraka serta daerah pemilihan yang di
wakilinya, tidak menjadi masalah.
“Publik juga di satu sisi harus memahami ketika ada anggota DPR bertemu dengan perwakilan masyarakat atau konstituen, maka hal semacam itu merupakan suatu kewajaran karena anggota DPR kan wakil rakyat yang harus
menerima rakyatnya kapanpun dan dimanapun. Kecuali, kalau anggota DPR bertemu seseorang di tempat hiburan malam, bar, panti pijat, baru itu bisa dikatakan melanggar etika,” ujarnya lagi. (Deni)