NUSANTARANEWS.CO – Ketika kakak tertuaku menggumamkan doa malam itu, kata kekasih berulangkali meluncur dari bibirnya. Kata itu bukan ditujukan kepada kekasih yang sering ditemuinya diam-diam di dekat kali yang tak jauh dari rumah kami. Kekasih bermata bundar yang sering terkikik malu-malu saat aku memergoki mereka dan sering memberiku segenggam permen. Aku yakin, yang dimaksud kakak dalam doanya bukanlah kekasih yang itu. Kakak lelakiku itu takkan berani mengungkit soal gadis berambut sebahu yang disukainya sewaktu kami sekeluarga sedang duduk berkumpul mengeliling meja makan seperti saat ini.
Hal pertama yang kulakukan ketika doa berakhir adalah duduk diam mengamati semua orang−ayah, ibu, kakak tertuaku, dan dua kakak perempuanku. Mereka terlihat sangat berbeda satu sama lain.
Ibuku seorang perempuan yang berperawakan kecil. Tubuhnya terkesan ringkih. Parasnya selalu muram. Bibirnya tak henti-hentinya melontarkan keluhan. Ibu telah lama berhenti peduli dengan dirinya sendiri. Segala macam riasan yang disukai perempuan tak pernah lagi melapisi kulit wajahnya. Pakaian yang dikenakannya kusam dan memudar. Ibu selalu berpikir dan bicara tentang kesulitan biaya. Seolah-olah hanya itu saja yang mengganggu pikirannya.
Duduk di seberang ibu, seorang lelaki berperawakan besar yang lebih sering berada dalam dunianya sendiri. Ayahku. Kadang-kadang ayah bersikap riang bukan main saat melontarkan gurauan yang terdengar aneh. Ketika ayah terbahak-bahak menikmati gurauannya sendiri, kami cuma bisa berpandangan satu sama lain. Adakalanya, ayah menyantap makanannya terburu-buru seakan sedang mengejar sesuatu. Kalau sudah begitu, ayah akan segera menuju meja kerjanya dan menghidupkan monitor setelah suapan terakhirnya. Inspirasi. Itulah kata yang dilontarkannya sebelum ia kembali berkutat dalam dunia rangkaian kata-kata hingga lupa waktu.
Pandanganku beralih pada kedua gadis yang duduk di seberangku. Kedua kakak perempuanku. Mereka sedang meributkan soal sepele. Potongan tempe siapakah yang lebih besar?
Kedua kakakku itu memang gemar mempermasalahkan hal-hal kecil. Sampai-sampai, meja makan pun tak luput menjadi ajang perdebatan keduanya. Padahal, hidangan di atas meja malam ini sangat sederhana. Sayur bening, tempe goreng, nasi hangat dan sambal. Semuanya tersaji dalam wadah-wadah berusia belasan tahun. Menu serupa nyaris hadir dalam setiap makan malam keluarga ini. Aku sungguh tak habis pikir, mengapa dalam kesederhanaan ini mereka masih meributkan hal-hal semacam itu.
“Hentikan kalian berdua!” Suara halus ibu bagai semilir angin sedetik saja di tengah terik yang membakar. Kedua gadis itu menoleh sekejap lalu kembali beradu debat.
“Aku lebih tua darimu! Harusnya bagianku lebih besar!” Lengkingan kakak perempuanku seperti topan yang memorak-porandakan meja makan.
“Pikiran sempit! Jangan melihat segala sesuatu dari usia. Keadilan harus ditegakkan.” bantah kakakku yang lebih muda.
Ayah yang semula akan mengambil kuah sayur membatalkan niatnya. “Sudahlah, tak baik ribut di meja makan. Rezeki keluarga ini bisa kabur.” Kalimatnya datar saja. Tidak mencerminkan kemarahan seorang ayah yang melihat pertengkaran kedua putrinya di meja makan.
Ibu segera menimpali. “Rezeki katamu? Coba ingat, kapan terakhir kali kau memberikan uang padaku? Uang sekolah anak-anak menunggak. Hutang di warung menumpuk. Lantas, uang sewa rumah bagaimana? Sebentar lagi, kita akan diusir dari rumah ini.”
“Aku sedang berusaha. Kau tak lihat? Aku menulis siang dan malam,” jawab ayah membela dirinya.
“Kerja keras saja tak cukup. Kerja itu harus masuk akal. Lebih baik jadi kuli tapi punya penghasilan rutin,” cecar ibu kesal. “Semua biaya kebutuhan melambung. Tapi kau terus saja betah berjudi dengan inspirasimu itu.”
“Bicaramu itu berat sebelah,” ujar ayah membela dirinya, “kau tak adil menilai usahaku.”
“Seperti kakak yang bilang jatah tempe harus sesuai usia,” sela kakak perempuanku yang lebih muda. Gadis itu seolah kecipratan momentum untuk memenangkan jalan pikirannya.
“Diamlah! Kau tak usah ikut-ikut pembicaraan orangtua!” hardik kakak perempuanku yang lebih tua.
“Sekarang kau menggolongkan hak bicara berdasarkan usia. Itu namanya tidak adil!”
Kedua kakak perempuanku kembali terlibat perdebatan serius. Sementara itu, ayah dan ibu juga melanjutkan pertengkaran mereka. Semakin seru. Semakin ramai. Nasi dan sayur di atas meja mulai dingin. Potongan tempe tak tersentuh. Taplak meja mulai kusut pada tepi-tepinya karena cengkeraman gusar. Sementara mereka adu suara, aku masih duduk diam dan melihat mereka berganti-ganti.
Kakak tertuaku berlagak tak acuh dan mulai memasukkan suapan demi suapan ke mulutnya dengan cepat. Potongan-potongan tempe berpindah ke piringnya seiring peluh yang mengaliri wajahnya. Tak lama kemudian, ia bersendawa. Kekenyangan. Saat pandangan kami bertemu, ia mengedipkan mata padaku. Setelah memberi isyarat diam, kakak tertuaku mengendap-endap meninggalkan meja makan. Sepertinya, ia akan menemui kekasih bermata bundar yang sedang menunggunya di dekat kali.
Pertikaian di meja makan nampaknya belum akan usai. Keluhan ibu berderai seperti tetesan-tetesan hujan yang enggan berhenti. Ayah mulai kehilangan fokus. Sesekali membantah ibu atau menegur kedua kakak perempuanku. Lalu mendadak suaranya senyap. Tatapannya hampa. Kedua kakak perempuanku malah lebih seru. Mereka sudah berdiri. Saling tuding. Keributan itu akan sulit untuk diredakan.
“Inspirasi!”
Semua orang melongo saat ayah bangkit dari kursi sambil membawa piring berisi nasi. Ayah bergegas menuju meja kerja. Monitor menyala. Suara tuts terdengar berkejaran. Piring berisi nasi pun terlupakan ketika ayah telah berada dalam dunianya.
Ibu menebah dada. Sikap ayah membuatnya sedih bukan kepalang. Keluhan beruntun meluncur dari bibirnya. Parasnya terlihat seperti setangkai ranting tua yang menunggu saat penghabisan. Ibu kehilangan selera dan tak menyentuh makan malam di depannya. Pun menghentikan pertengkaran kedua anak gadisnya. Sosoknya sungguh mengundang rasa iba.
Kedua kakak perempuanku semakin memanas. Keduanya mulai saling serang. Saling jambak. Rambut mereka acak-acakan dan mereka mulai berteriak-teriak kesakitan. Namun, tak ada yang mau melepaskan. Kursi-kursi bergelimpangan. Meja makan telah berubah menjadi arena laga.
Suara perutku bergemuruh. Lapar. Pandanganku tertuju pada potongan tempe yang sudah tak cukup untuk semua. Juga pada kuah sayur bening yang tinggal separuh. Kakak tertuaku benar-benar memuaskan nafsu makannya. Mungkin, aku harus segera minta tolong pada kekasih dalam doa kakakku, agar makan malam segera dimulai. [Tepian DanauMu, 12 September 2016]
*Fitri Manalu, nama lain dari Lamria Fitriani Manalu. Penulis Kumcer Sebut Aku Iblis (Sibuku Media, 2015). Puisi dan cerpennya termuat di sejumlah antologi bersama media media lokal. Aktif di komunitas Rumah Pena Inspirasi Sahabat. Kini tinggal di Medan.