NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Pakar hukum tata negara, politikus dan intelektual Indonesia Yusril Ihza Mahendra mengaku lebih suka menyebut Pancasila sebagai landasan falsafah negara, bukan dasar negara atau ideologi negara.
“Saya lebih suka menyebut Pancasila sebagai landasan falsafah negara bukan dasar negara atau ideologi sebagaimana sering kita dengar. Istilah landasan falsafah negara itu bagi saya lebih sesuai dengan apa yg ditanyakan Ketua BPUPKI dr Radjiman Wedyodiningrat,” kata Yusli dikutip dari keterangan tertulisnya, Sabtu (2/6/2018).
Menurutnya, Pancasila adalah landasan falsafah negara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, khususnya alinea ke-4.
“Di awal sidang, Radjiman berkata, sebentar lagi kita akan merdeka. Apakah filosofische grondslag Indonesia merdeka nanti? Radjiman tidak bertanya tentang ideologi negara atau dasar negara. Dia bertanya filosofische gronslag atau landasan falsafah negara,” jelasnya.
Baca juga: Sosok Ini Paling Berjasa Di Balik Lambang Negara Garuda Pancasila
“Bagi saya ucapan Radjiman itu benar. Landasan falsafah adalah sesuatu rumusan yang mendasar, filosofis dan universal. Beda dengan ideologi yang bersifat eksplisit yang digunakan oleh suatu gerakan politik, yang berisi basis perjuangan, program dan cara mencapainya,” tambah pakar hukum tata negara ini.
Dia menjelaskan, landasan falsafah negara haruslah merupakan kesepakatan bersama dari semua aliran politik ketika mereka mendirikan sebuah negara. Karena itu landasan falsafah negara harus menjadi titik temu atau common platform dai semua aliran politik yang ada di dalam negara itu.
Ada beberapa tokoh yang menanggapi pertanyaan Radjiman. Mereka menyampaikan gagasan tentang apa landasan falsafah negara Indonesia merdeka itu. Supomo, Hatta, Sukarno, Agus Salim, Kiyai Masykur, Sukiman adalah diantara tokoh-tokoh yang memberi tanggapan atas pertanyaan Radjiman.
Baca juga: Bangsa Indonesia Mengubur Pancasila di Pekarangannya Sendiri
Sukarno adalah pembicara terakhir yang menyampaikan tanggapannya pada 1 Juni 1945. Dia mengusulkan 5 asas untuk dijadikan sebagai landasan falsafah. Sukarno menyebut 5 asas yang diusulkannya itu sebagai Pancasila.
Setelah semua tanggapan diberikan, Supomo berkata bahwa dalam BPUPKI itu terdapat 2 golongan yakni golongan kebangsaan dan golongan Islam. Golongan Islam, kata Supomo, menghendak Indonesia merdeka berdsarkan Islam.
“Sebaliknya golongan kebangsaan menghendaki negara persatuan nasional yang memisahkan antara agama dengan negara,” paparnya.
Setelah itu dibentuklah Panitia 9 untuk merumuskan landasan falsafah negara berdasarkan semua masukan yang diberikan para tokoh. Kesembilan tokoh itu adalah Sukarno, Hatta, Ki Bagus, Agus Salim, Subardjo, Kahar Muzakkir, Wahid Hasyim, Maramis dan Yamin.
Baca juga: LPPKB: Pancasila Adalah Inspirasi Untuk Membangun Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
Sembilan tokoh itu, 4 mewakili golongan kebangsaan, 4 mewakili golongan Islam, dan 1 mewakili golongan Kristen. Sembilan tokoh ini merumuskan naskah proklamasi yang sekaligus akan menjadi Pembukaan UUD. Naskah tersebut disepakati pada tanggal 22 Juni 1945.
Yamin menyebut naskah itu Piagam Jakarta yang berisi gentlemen agreement seluruh aliran politik di tanah air. Dengan Piagam Jakarta kompromi tercapai, Indonesia tidak berdasarkan Islam, tapi juga tidak berdasarkan sekularisme yang memisahkan agama dengan negara.
“Dalam Piagam Jakarta itulah untuk pertama kalinya kita temukan rumusan Pancasila sebagai landasan falsafah negara yang disepakati semua aliran,” ungkapnya.
Baca juga:
Pancasila sebagai Antivirus Radikalisme (1)
Pancasila sebagai Antivirus Radikalisme (2)
Kemudian ketika proklamasi, naskah Piagam Jakarta tidak jadi dibacakan sebagai teks proklamasi. Teks baru dirumuskan malam tanggal 16 Agustus. “Teks baru proklamasi yang dibacakan tanggal 17 Agustus adalah teks yang kita kenal sekarang Kami Bangsa Indonesia, dan seterusnya. Namun naskah Piagam Jakarta disepakati akan menjadi Pembukaan UUD yang disahkan tanggal 18 Agustus 1945,” urai Yusril.
Sebelum disahkan, Sukarno dan Hatta minta tokoh-tokoh Islam setuju kata Ketuhananan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya dihapus. Walaupun kecewa, namun Kasman Singodimedjo dan Ki Bagus Hadikusumo akhirnya menerima ajakan Sukarno dan Hatta.
Kaata Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya akhirnya dihapus dan diganti dengan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Baca juga:
Menanti Kejujuran Putri Bung Karno Terkait Hari Lahir Pancasila
Benarkah Jokowi Telah Mendistorsi Makna Pancasila?
“Jadi kompromi terakhir tentang landasan falsafah negara Pancasila dengan rumusan seperti dalam Pembukaan UUD 45 adalah terjadi tanggal 18 Agustus 1945,” kata Yusril lagi.
“Jadi hari lahirnya Pancasila bukanlah tanggal 1 Juni, tetapi tanggal 18 Agustus ketika rumusan final disepakati dan disahkan,” tegasnya.
Pidato Sukarno tanggal 1 Juni barulah masukan, sebagaimana masukan dari tokoh-tokoh lain baik dari gol kebangsaan maupun dari golongan Islam. “Apalagi jika kita bandingkan usulan Sukarno tanggal 1 Juni cukup mengandung perbedaan fundamental dengan rumusan final yang disepakati 18 Agustus. Ketuhanan saja diletakkan Sukarno sebagai sila terakhir, tetapi rumusan final justru menempatkannya pada sila pertama,” katanya.
Baca juga: Membaca Ulang Pancasila Dalam Kesatuan Utuh Dengan Pembukaan UUD 1945
Sukarno mengatakan bahwa Pancasila dapat diperas menjadi trisila dan trisila dapat diperas lagi menjadi ekasila yakni gotong royong. “Rumusan final Pancasila menolak pemerasan Pancasila menjadi trisila dan ekesila tersebut,” pungkasnya.
Editor: Eriec Dieda