NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – UU Pemilu Memiliki Tiga Cacat!. Direktur Lembaga Survey Indonesia (LSI) Denny JA menilai, jika menggunakan perspektif demokrasi, UU Pemilu yang baru saja disahkan DPR 2017 memiliki cacat fundamental. UU ini mengesahkan pemilu serentak bagi presiden dan DPR. UU ini juga menggunakan perolehan suara partai di pemilu 2014 sebagai basis untuk ambang batas capres 2019.
“Memang dalam praktek sistem Demokrasi ada banyak nuansa, seperti sistem parlementer atau presidential. Kedua nuansa itu sama sahnya. Namun semua nuansa itu tetap tidak melanggar nilai utama yang justru membuat sistem demokrasi itu berharga,” kata Denny dalam pesan singkatnya, Rabu, 26 Juli 2017.
Menurut Denny, UU Pemilu yang baru disahkan DPR 2017 cacat untuk tiga nilai utama demokrasi. Pangkal utama cacat dari undang undang itu adalah memaksakan hasil pemilu 2014 digunakan sebagai ambang batas untuk calon presiden pada pemilu berikutnya di 2017. “”Pertama, dilanggarnya prinsip kesamaan hak dan posisi hukum partai politik,” katanya.
Artinya, kata Denny, UU yang sama memberikan ruang bagi hadirnya partai baru, yang untuk pertama kali akan ikut pemilu di tahun 2019. Namun partai baru itu tak diberikan hak yang sama kepada partai baru itu untuk menentukan calon presiden. Basis dukungan yang dihitung untuk presidential threshold pemilu 2019 hanya milik partai lama, yang ikut pemilu di tahun 2014 saja.
“UU itu melahirkan dua kasta partai politik. Partai lama yang punya basis untuk menentukan capres. Dan partai baru yang hanya menjadi penonton saja, tak punya basis penentu, karena tak ada suaranya pada pemilu 2014,” terangnya.
Ia menjelaskan, sistem demokrasi tak bisa dibangun tanpa didasari hak yang sama peserta pemilu. Bahkan kemudian hasil akhir hak yang sama itu tetap menghasilkan perbedaan besar dan kecil dukungan, itu adalah pilihan warga negara. Sistem demokrasi memang hanya memberikan equal opportunity, bukan equal result. UU 2017 itu bermasalah karena melanggar prinsip dasar equal opportunity bagi partai baru.
“Dalam praktek politik, kita bahkan menyaksikan betapa partai baru sekalipun bisa menjadi partai terbesar hasil pemilu Partai Kadima di Israel misalnya, baru didirikan di tahun 2005. Tapi pada pemilu 2006, ia langsung menjadi partai terbesar,” katanya.
Kedua, kata dia, UU itu meniadakan hak warga untuk tak setuju pilihannya pada partai di satu pemilu digunakan untuk basis kekuatan partai itu pada pemilu berikutnya. Situasi politik dan ekonomi, serta kesadaran warga sudah sangat mungkin berbeda.
“Setiap warga sangat mungkin mengidolakan partai tertentu dan tokoh tertentu di satu pemilu. Namun pada pemilu berikutnya, partai dan tokoh itu bisa pula berubah justru menjadi musuh utamanya. Itu sebabnya mengapa dukungan partai itu berubah pada setiap pemilu. Bahkan PDIP pada tahun 1999 mendapatkan dukungan di atas 33 persen. Tapi pada pemilu berikutnya (2004) tersisa hanya hampir separuhnya saja: di bawah 19 persen,” ungkapnya.
Menurut dia, UU pemilu ini mengambil oper begitu saia pilihan warga pada pemilu 2014, untuk dijadikan basis menentukan siapa yang bisa lolos menjadi capres pada pemilu 2019. Padahal kondisi sudah sama sekali berubah. Katakanlah si budi memilih partai A karena ia mendukung capres partai A, yaitu C di tahun 2014. Tapi 5 tahun kemudian, Budi kecewa pada C dan menjadikan C musuh politiknya. Sedangkan Partai A di tahun 2019 tetap mencalonkan capres C. Dukungan Budi pada partai A di 2014 dipakai partai A secara otomatis saja di 2019 untuk mendukung C. Padahal di 2019, Budi justru menggugat C.
“Inilah kekacauan mekanisme yang mengambil oper hasil pemilu 2014 untuk digunakan pada pemilu 2019. Realitas sikap politik warga yang berubah itu diabaikan. Pengabaian sikap warga itu cacat mendasar untuk demokrasi,” cetus dia.
Ketiga, lanjutnya, ambang batas 20-25 persen syarat pengajuan capres 2019 mengacaukan pula desain kelembagaan demokratis yang ingin diterapkan di Indonesia. Tetap dipaksakannya presidential threshold bagi pemilu serentak bahkan diwacanakan untuk memperkuat sistem presidentialisme.
Kenyataannya, ungkap dia, ambang batas capres itu justru memperlemah sistem presidential murni. Ia justru mencampurkan dua desain kelembagaan, membuat capres bergantung pada koalisi parlemen. Basis pencalonan capres justru posisinya dibuat oleh UU ini bergantung pada kekuatan partai (ambang batas) di parlemen.
“Tentu hibrida sistem dan desain kelembagaan demokrasi selalu dimungkinkan. Tapi harus disadari oleh pembuat UU bahwa presidential threshold itu memperlemah, bukan memperkuat sistem presidentialisme. Koalisi pengusung caprespun tak akan sama dengan koalisi pendukung pemerintahan. Partai bisa mengubah posisi politiknya mendukung atau beroposisi atas pemerintahan setiap saat. Realitas terbalik ini (bukan memperkuat tapi memperlemah presidensialisme) agaknya justru tak disadari oleh pembuat UU dalam wacana publiknya,” jelas Denny lebih lanjut.
Pewarta/Editor: Achmad Sulaiman