NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Di tengah terpaan globalisasi gelombang ketiga yang penuh ketidakpastian, negara-negara Asia Tenggara yang tergabung dalam Association of South East Nations (ASEAN) justru diprediksi bakal menjadi kekuatan ekonomi dunia yang baru dalam beberapa dekade mendatang. Memasuki usia setengah abad pada bulan Agustus ini, ASEAN telah mengalami kemajuan yang luar biasa dalam menjaga stabilitas kedamaian dan kemakmuran yang tidak terbayangkan sebelumnya.
Asia Tenggara adalah sebuah kawasan yang boleh dibilang paling beragam di dunia, dihuni sekitar 640 juta jiwa meliputi 240 juta Muslim, 150 juta umat Buddha, 120 juta orang Kristen, serta jutaan umat Hindu, Konghucu, dan juga Komunis. Indonesia adalah negara yang terpadat penghuninya dengan 250 juta jiwa, sementara Brunei hanya 450.000 jiwa. Bila melihat jumlah penduduk, ASEAN berada di peringkat tiga dunia setelah Cina dengan 1,379 miliar jiwa dan India yang berjumlah 1,324 miliar jiwa.
Hari ini, total Gross Domestic Product (GDP) seluruh ekonomi negara anggota ASEAN adalah US$ 2,7 triliun dan berada di peringkat tujuh dunia. ASEAN diprediksi bakal menjadi kekuatan ekonomi keempat dunia pada 2050, di mana GDP-nya mencapai US$ 8,1 triliun setelah Tiongkok di peringkat pertama, India, dan Uni Eropa. Saat ini pendapatan per kapita tertinggi adalah Singapura sebesar US$ 52,960 per tahun, sementara Laos US$ 2,353 per tahun.
Sejarawan Inggris C.A. Fisher pernah menggambarkan Asia Tenggara sebagai daerah yang miskin dan rawan konflik ibarat “Balkan” di Asia. Banyak yang memandang lima negara non-komunis yang mendirikan ASEAN – Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand – diperkirakan akan jatuh dalam efek domino komunisme.
Meski pandangan itu kini berubah, namun bayang-bayang pengaruh komunis Cina terhadap negara-negara ASEAN tampaknya tidak boleh dikesampingkan. ASEAN memang menjadi organisasi regional kedua yang paling sukses di dunia setelah Uni Eropa. Betapa tidak, bila 1.000 pertemuan diselenggarakan setiap tahun untuk memperkuat kerja sama ASEAN di berbagai bidang. Belakangan ASEAN telah menandatangani perjanjian perdagangan bebas (FTA) dengan Cina, Jepang, India, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru, dan membentuk Masyarakat Ekonomi ASEAN.
Keberhasilan ASEAN hari ini tidak dapat dipungkiri adalah berkat kepemimpinan yang kuat Presiden Suharto yang mampu menggandeng Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohammad, Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew, Presiden Filipina Ferdinand Marcos dan Raja Thailand Bhumibol Adulyadej – untuk membendung pengaruh Komunisme di kawasan Asia Tenggara di tengah berkecamuknya Perang Dingin (Cold War) antara AS dan US (Uni Soviet).
Kerjasama antar negara ASEAN ternyata mampu menjaga stabilitas kawasan dengan baik pada akhir 1960-an dan awal 1970-an – mengimbangi kepentingan strategis AS, US dan China di Asia Tenggara. Sampai berakhirnya Perang Dingin kondisi kawasan Asia Tenggara relatif stabil tidak sampai meletus konflik bersenjata.
Dulu, musuh komunis yang di hadapi ASEAN adalah Vietnam, Kamboja, dan Laos yang kini telah menjadi anggota. Termasuk bergabungnya Myanmar yang mengakhiri puluhan tahun isolasi, yang mengundang reaksi kecaman dari blok Barat. Namun sekali lagi, ASEAN berhasil meletakkan dasar bagi transisi demokratis di Myanmar tanpa kekerasan. Sebuah catatan menarik bila kita mengingat gagasan NASAKOM Bung Karno yang terimplementasi dalam bentuk kerjasama multilateral negara-negara Asia Tenggara atau ASEAN tersebut.
Dewasa ini, ASEAN menghadapi tantangan yang lebih serius, terutama perselisihan teritorial di Laut Cina Selatan yang menciptakan ketegangan di kawasan, serta persaingan geopolitik yang semakin ketat antara AS dan China yang menimbulkan ancaman lebih lanjut terhadap kesatuan ASEAN. Belum lagi situasi dinamika politik dalam negeri di beberapa negara anggota, termasuk Malaysia dan Thailand, yang semakin bergejolak.
Meski begitu, kawasan Asia Tenggara relatif stabil bila dibandingkan dengan kawasan Timur Tengah yang hingga hari ini belum menemukan solusi damai, bahkan mulai membawa konflik bersenjata ke luar kawasan. Konflik Marawi di Filipina misalnya. Atau konflik bersenjata di negara-negara Afrika yang juga berlarut-larut hingga kini. Oleh karena itu, stabilitas ASEAN adalah modal yang sangat berharga bagi kelangsungan pembangunan bersama.
Sekali lagi ASEAN telah menunjukkan ketangguhannya yang mengesankan dalam menghadapi berbagai hantaman krisis dengan unik. Terutama berakar pada budaya musyawarah dan mufakat (konsultasi dan konsensus) yang ditanamkan oleh Indonesia. Bandingkan dengan Dewan Kerjasama Teluk atau Asosiasi Kerjasama Regional Asia Selatan dan Uni Afrika.
Memang, ASEAN belum mampu mensejahterakan penduduknya. Namun ASEAN terus melangkah maju dengan modal stabilitas yang tampaknya sangat mahal dewasa ini. Terbukti dengan gabungan PDB telah tumbuh dari US$ 95 miliar pada tahun 1970 menjadi $ 2,5 triliun pada tahun 2014. Dan ini menjadi platform yang menarik bagi keterlibatan geopolitik di kawasan Asia Tenggara. Tidak mengherankan bila penyelenggaraan pertemuan internasional selalu dihadiri oleh semua kekuatan besar dunia, seperti AS, Uni Eropa, China dan Rusia. Selamat ulang tahun ASEAN yang ke-50.!
Penulis: Agus Setiawan