Esai

Santun Menyikapi Prahara Budaya Kita

bendera merah putih
Makodim 0808 Blitar mengibarkan bendera Merah Putih raksasa pada Senin (14/8). (Foto: Istimewa/Amrin)

Santun Menyikapi Prhara Budaya Kita

Oleh: Hafis Azhari, penulis novel Perasaan Orang Banten dan Pikiran Orang Indonesia

Di bulan Agustus lalu, ketika salah satu siaran televisi menayangkan Pasukan Pengibar Bendera (Paskibra) yang memasang bendera terbalik, putih di atas dan merah di bawah, bapak mertua saya mengucap istighfar dengan rautmuka yang agak marah. Pada saat bersamaan, justru anak saya yang baru kelas satu SD tertawa terpingkal-pingkal. Seketika anak saya bertanya sambil menoleh ke arah Bapak, “Kenapa kakek marah?” Pertanyaan ini tidak dijawab, dan barangkali bapak balik bertanya dalam hatinya, “Kenapa kamu tertawa, Cucu?”

Saya pun mencoba menengahi keduanya dengan menyatakan bahwa kakek hanya bersedih, meskipun anak saya mengebor terus dengan pertanyaan baru lagi, “Untuk apa bersedih melihat bendera yang dipasang terbalik, hihihi?”

Bapak mertua saya yang lahir di jaman pendudukan Jepang, masih merasakan getaran jiwa nasionalisme di bawah angkatan Alexander Andrias Maramis, Amir Syarifuddin, Alimin, Setiajid, Wikana dan lain-lain. Tetapi, sewaktu saya berdiskusi dengan beberapa mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah beberapa waktu lalu, rupanya mereka pun tidak lagi mengenal nama-nama yang saya sebutkan di atas. Angkatan muda lebih fasih bicara tentang Brad Pitt, Britney Spears, Madonna, Zidane, Messi, Julia Roberts, Afgan, Ayu Tingting, Raffi Ahmad , ketimbang mempersoalkan sejarah hidup Bung Karno, Hatta, Sjahrir, Agus Salim, Kartini, Dewi Sartika dan seterusnya.

Nama-nama besar yang dulu menghiasi koran-koran perjuangan begitu hebat dan dahsyat bagi rakyat Indonesia, menggelorakan emosi, menggemparkan jiwa serta membangkitkan kesadaran pada saat-saat paling menentukan nasib generasi dan anak-cucu bangsa. Karenanya, bisa dipahami apabila para sahabat dekat Bung Karno dan para pendahulu merasa dirinya sebagai “anak hilang” yang terasing dari rakyat yang dicintainya, sesuatu yang patut disikapi dengan penuh empati, peka dan peduli, tanpa perlu dipahami dengan rumus-rumus filsafat logika dan intelektual melulu.

Belasan tahun lalu, sewaktu pertama kali berkunjung di kediaman H.B. Jassin, ia pun mengerutkan dahinya sambil menanyakan saya datang dari mana. Suatu pertanyaan yang sama terlontar dari mulut Pramoedya Ananta Toer pada saat berkunjung untuk pertama kalinya di pertengahan tahun 1995 lalu. Betapa cepat waktu berlalu, dan betapa berharga detil-detil peristiwa dari sejarah hidup anak bangsa yang terasing, hingga dirasakan sakral dan abstrak bagi pandangan anak-anak milenial saat ini.

Baca Juga:  Talang Plastik di Rumah Pak AR

Setelah wafatnya kedua tokoh sastrawan Indonesia itu, kita pun memahami adanya pergelutan dan dinamika pertumbuhan kepada kedewasaan suatu bangsa, ibarat gugurnya daun-daun yang harus diolah dengan baik hingga menjadi kompos, ibarat kaum kencana yang sudah matang dan ikhlas hingga perlu merasa bangga bila harus gugur. Karena toh nilai kegugurannya tidak hanya dihiasi dengan nisan batu granit dan marmer, namun justru menghiasi lumpur-lumpur hitam dalam persemaian di tengah hamparan sawah para petani.

Persepsi yang berbeda seperti yang dialami dua generasi antara bapak dan anak, memang perlu dijembatani secara arif dan bijaksana. Seringkali suatu generasi yang mapan merasa khawatir dan takut, jangan-jangan setiap jasa dan jengkal prestasinya akan dilupakan begitu saja oleh generasi anak-cucu. Kekhawatiran ini bisa dipahami mengingat anak-anak milenial Indonesia sudah memasuki wilayah imajinasi mutatif, induksi mental, dinamika kreatif hingga resonansi intuitif. Generasi baru Indonesia lebih hafal lagu-lagu yang disenandungkan Iwan Fals, Raisya, Afgan, Rossa, Melly Goeslaw, daripada lagu-lagu perjuangan “Maju Tak Gentar” atau “Di Timur Matahari Mulai Bercahaya”.

Tetapi, bila dipahami secara mendalam, kekhawatiran itu masih bisa dimaklumi, namun ketakutan tidak perlu ada. Seorang anak mestinya bangga dan hormat pada ayah-ibu yang pernah bergulat memerdekakan keluarga dari perbudakan orang asing maupun pribumi. Setiap anak tentu ingin meneruskan jejak-langkah ayah yang gemilang, meskipun karya-karya itu belum sempurna betul. Dalam batin si anak memancar mata-air kekaguman pada sang ayah yang pahlawan, meskipun ia digugurkan bahkan ditenggelamkan dari percaturan sejarah, seperti Soekarno, Sjahrir hingga Tan Malaka.

Baca Juga:  Talang Plastik di Rumah Pak AR

Tentu saja sang anak ketika sudah mencapai dewasa dan akil-balik akan paham sendiri jasa-jasa orang tuanya, tanpa menuntut ingin dipuji dan dihormati. Kecuali, bila ternyata sebaliknya, ia akan berontak dan berani nakal jika imajinasi dan dambaan hatinya tidak terbukti dalam kenyataan. Ia merana bahkan melawan bila ternyata sang ayah, yang dulu dipuja-puja sebagai “pahlawan” ternyata bersikap membunglon, egois, haus kekuasaan, tukang suap, koruptor serakah dan serba melampiaskan hawa nafsunya. Hal inilah yang menjadi persoalan penting dalam perjuangan nasionalisme kita, karena hingga memasuki dasawarsa ketiga di abad ke 21 ini, sebagian besar rakyat kita masih dalam pengaruh dan kemampuan si pemberi warisan (kaum elit) kepada si penerima warisan (generasi muda elit).

Ketika saya bersilaturahmi ke belasan mantan Tapol di seluruh Jakarta dan Banten, saya pun menyaksikan wajah-wajah polos dan lugu. Begitu sederhana, namun menyimpan energi dan semangat yang mendambakan Indonesia merdeka dalam arti yang sebenarnya. Pada tatapan mereka terasa adanya gap pemisah dengan generasi muda yang memiliki penghayatan dan motivasi baru, tetapi saya berusaha memandangnya sebagai kewajaran yang lumrah saja.

Sewaktu mengunjungi kediaman Y.B. Mangunwijaya, setelah membangun perumahan kaum gelandangan di tepian Kali Code Yogyakarta (sambil merawat sungai di sekitarnya), nampak sang pujangga itu kelelahan seraya menyeka keringat di keningnya. Tokoh yang satu ini memang tak sempat berdiri di kubu Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) maupun Manikebu (Manifesto Kebudayaan), namun sepanjang hidupnya terus mengabdi dan bergelut dengan kebenaran, dalam proses pencarian jati-diri manusia Indonesia. Seperti halnya Pramoedya, ia begitu tekun menghimpun benang-benang merah keindonesiaan, hingga di akhir hayatnya pun tetap dalam status “pencari kebenaran”.

Dan saya terkenang pada momen terakhir berjumpa dengan Pramoedya, setelah menghimpun buku “100 Tahun Bung Karno (Liber Amicorum)” yang diterbitkan oleh Hasta Mitra (2001), suatu penerbit independen pertama yang berani tampil sejak sekuasa-kuasanya Orde Baru. Bersama Noam Chomsky, Ben Anderson dan Peter Dale Scott, alhamdulillah saya dipercaya Hasta Mitra, sebagai satu-satunya pemuda Indonesia yang turut-serta menyumbangkan artikel panjang dalam buku tersebut. Di awal tahun 2002-an saya memandang rautmuka Pramoedya begitu merana, seakan terkucilkan dari proses kekinian manusia Indonesia, dalam pergulatan antara dinamika perkembangan diri serta harta pengetahuannya melalui teropong lensa elektronik. Sementara, tidak sedikit orang di sekitarnya yang masih lamban berpikir, layaknya hidup dalam alam lensa kaca yang sulit menembus batas-batas keindonesiaan.

Baca Juga:  Talang Plastik di Rumah Pak AR

Untuk buku tersebut, Pramoedya masih menyumbangkan tulisannya yang terakhir (setelah puluhan tahun ia tak pernah menulis lagi), dengan judul panjang: “Lawan-lawan Bung Karno Sekarang Terseret ke Meja Mahkamah Sejarah”.

Tetapi, apakah para bapak bangsa itu memang merasa terasing dari rakyat yang dicintainya? Apakah bapak mertua saya merasa gundah melihat cucu yang dicintainya, suatu pemandangan hari ini yang nampaknya sepele dan tanpa arti, namun bagi mereka mengandung hal-hal yang menumbuhkan perasaan halus dan santun? Lalu, apa yang dapat kita sumbangkan – sebagai generasi muda – untuk mengurangi rasa derita antara sang ayah dan generasi anak, dalam setiap konflik masa pancaroba.

Bagaimana kita harus menyikapi dan menjembatani dua generasi yang saling berselisih. Apakah kita akan membiarkan penderitaan semakin menyengat, meskipun kita tahu bahwa kadar karat emas justru bernilai tinggi dalam penghayatan iklim kesengsaraan?

Tetapi, apapun yang terjadi, saya dan Anda menyadari betapa kebenaran sejarah terus menggelinding. Kita harus memperkuat keyakinan diri bahwa Tuhan Maha Adil, dan tak ada sehelai daun terjatuh tanpa manajemen dan pengaturan-Nya. Meskipun di kegelapan malam sekalipun. Bukankah saat ini justru semakin banyak generasi muda yang mencari “pupuk kompos” dari pembakaran daun-daun kering berguguran yang dapat diolah untuk berbagai manfaat dan kemaslahatan umat? Salam.

Related Posts

1 of 3,051