NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Ekonom Konstitusi Defiyan Cori menilai sebaiknya kontrak P.T. Freeport selesai dan di-take over oleh pemerintah. Sebab, kata Defiyan, nilai saham Freeport sudah anjlok.
“Lebih baik kontrak habis dan take over. Nilai saham Freeport sudah anjlok. Justru 51 persen itu “membantu” pihak PT. Freeport untuk menaikkan nilai saham tapi anehnya justru negara melalui BUMN Inalum yang berutang,” jelas Defiyan kepada redaksi NUSANTARANEWS.CO melalui pesan singkatnya, Minggu (15/7/2018).
Baca Juga:
- Guru Besar UI Minta Publik Tak Terjebak Eforia Soal Divestasi Freeport
- Akuisisi Saham Rio Tinto di PT. Freeport Indonesia Dituding Merampok Uang Rakyat
- Jokowi Bohong Soal Akuisisi Saham Freeport Sebesar 51 Persen
Lalu, lanjut Defiyan, 51 persen itu atau separuh yang diperoleh Inalum itu hanya akan memperoleh imbal balik lewat pembagian laba dan lain-lain hanya sampai tahun 2041. “Sementara, apabila pasca 2021 saat berakhirnya Kontrak Karya, maka negara akan memperoleh penguasaan penuh 100 persen,” ujarnya.
Selanjutnya, kata penggagas AEPI itu, terkait kasus perpanjangan Kontrak Karya PT. Freeport ini pada Tahun 1991, maka pemerintah harus meminta pertanggungjawaban Menteri Pertambangan dan Energi masa itu, yaitu Ginandjar Kartasamita.
“Apabila posisi Negara telah terlanjur tidak begitu kuat dalam posisi ini, maka sebaiknya 51 persen yang akan didivestasikan melalui utang itu tidaklah tepat dibebankan pada Negara, dalam hal ini BUMN Inalum, walaupun sejatinya posisi tawar perpanjangan ini posisi tawar pemerintah relatif kuat dalam negosiasi ini,” tegas Defiyan.
“Hanya saja pemerintah harus melepaskan motif berburu rente dari pihak-pihak tertentu dan demi kepentingan kekuasaan di pemilu 2019 yang berjangka pendek dengan mengabaikan kepentingan kemandirian ekonomi bangsa dan serta seluruh rakyat Indonesia,” imbuhnya.
Menurut Defiyan, dalam konteks perpanjangan Kontrak Karya dan divestasi saham Freeport ini justru sebenarnya 4 (empat) Menteri itu sedang menjerumuskan Presiden.
“Kita semua berharap Presiden memahami soal ini, jangan sampai publik menduga Presiden juga turut “menikmati” utang untuk divestasi 51 persen itu?,” tandasnya.
Pewarta: M. Yahya Suprabana
Editor: Achmad S.