KOMITMEN Islam Wasathiyah di Indonesia, beberapa tahun terakhir, merupakan peneguhan ulang implementasi Islam moderat anutan arus utama muslim Indonesia. Hal itu penting sebagai respons atas penguatan dan konsolidasi ekstremisme atas nama Islam, baik kiri maupun kanan, dalam beberapa tahun terakhir.
Sebagai negara berpopulasi muslim terbesar, menganut demokrasi, dan memiliki anatomi demografi yang heterogen, relasi Islam dan negara di Indonesia, memiliki dinamika unik. Indonesia tidak menganut teokrasi, yang berpijak pada satu agama tertentu, juga bukan negara sekular, yang memisahkan agama dari negara. Indonesia memiliki konsensus khas dalam mengelola relasi agama dan negara, yang prinsipnya tertuang dalam Pancasila dan Konstitusi.
Islam Wasathiyah adalah model ekspresi dan pemahaman Islam yang relevan dalam bingkai kenegaraan di Indonesia. Model relasi Islam dan negara demikian itu, telah menjadi perdebatan panjang sejak sebelum proklamasi kemerdekaan (1945), kemudian mengalami proses pematangan dalam berbagai fase dan pergulatan penting sejarah Indonesia merdeka. Diwarnai beberapa pemberontakan, gerakan protes masyarakat, debat alot di lembaga Konstituante yang distop dekrit presiden, hingga makin kukuh sebagai konsensus nasional, setelah amandemen UUD 1945, pada tahun-tahun awal reformasi.
Baca juga: Kiai Ma’ruf Bertemu PM Lee di Istana Singapura
Bentang Sejarah Spirit Wasathiyah
Prinsip moderasi Islam bukanlah realitas baru di Indonesia. Mainstream umat Islam Indonesia dalam sebagian besar sejarahnya menganut Islam moderat. Belakangan ini penting diteguhkan, mengingat ekstremisme atas nama Islam makin menjadi-jadi.
Musyawarah Nasional (Munas) MUI, Agustus 2015, menetapkan Islam Wasathiyah sebagai paradigma pengabdian, dan dituangkan dalam ‘Taujihat Surabaya’. Ini menjadi ruh setiap gerakan MUI di semua tingkatan, panduan pengurus di semua level, dalam merumuskan kebijakan.
Setahun sebelum Munas MUI 2015, ISIS deklarasi di Suriah, pada Ramadhan 2014, mengampanyekan Khilafah dengan cara perang. Berbagai sistem bernegara non-khilafah didelegitami, dilabeli sebagai thoghut, dan boleh diperangi. Pengaruh ISIS juga menguat di Indonesia, disusul berbagai aksi teror pendukungnya.
Sebelum ISIS, ideologi khilafah yang kontra demokrasi dan nation-state, sudah bermunculan. Ada model non-kekerasan, seperti usungan Hizbut Tahrir. Ada yang kadang menempuh jalan teror, seperti digerakkan Jemaah Islamiyah (JI), organisasi transnasional, yang memiliki sebaran struktur pengurus di Malaysia, Singapura, Indonesia, Filipina, dan Australia, dan pelaku utama teror pra-ISIS di kawasan ini, sejak awal 2000-an.
Di awal kemerdekaan Indonesia, ada pula gerakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia), serta metamorfosanya di medio-akhir era Orde Baru: NII (Negara Islam Indonesia), yang sama-sama kontra nation-state, menghendaki religion-state.
Semua gerakan itu atas nama tuntutan akomodasi maksimum aspirasi politik Islam. Mereka selalu bertolak dari asumsi bahwa umat Islam dipinggirkan-dizalimi oleh rezim yang mereka persepsi anti-Islam, di negeri mayoritas Muslim.
Gerakan mereka bukan hanya dipicu dinamika domestik-nasional, tapi juga kerap distimulasi dan diprovokasi dinamika global. Baik atas nama solidaritas sesama muslim (ukhuwah Islamiyah) yang terzalimi, maupun atas nama proteksi akidah, sebagai respons atas ekstrimitas dari kutub seberang, berupa gerakan liberalisme keagamaan, yang dinilai mengancam kemurnian akidah. Ada interaksi sebab-akibat timbal balik antara ekstrem kanan dan ekstrem kiri.
Rekonsolidasi Moderasi Islam
Persepsi mereka tidak sepenuhnya tepat. Politik Islam di Indonesia terus menerus memperlihatkan akomodasi yang makin besar pada aspirasi politik Islam, dalam berbagai produk kebijakan, legislasi, regulasi, serta fasilitasi negara.
Berbagai layanan publik keagamaan terfasilitasi. Seperti model penyelesaian sengketa keagamaan lewat peradilan atau arbitrase, layanan haji, zakat, wakaf, perbankan Islam, lembaga keuangan non-bank berbasis Islam, jaminan produk halal, telah tersedia payung regulasi dan kelembagaannya. Puncak implementasi syariat dijalankan di Aceh secara khusus, yang memungkinkan penerapan syariat Islam secara total.
Namun semua dinamika itu dipandang dengan tutup mata. Pandangan bahwa pemerintahan Indonesia itu anti Islam, thaghut, tetap digaungkan sepanjang era reformasi, memanfaatkan iklim kebebasan ekspresi dan kemudahan lalu lintas informasi akibat kemajuan teknologi. Puncak ekstrimitas itu makin genting pada 2014, ketika muncul ISIS di Suriah dengan pengaruh kuat dan tak-terduga-duga di Indonesia.
Maka itu, sejumlah ormas Islam di Indonesia mengonsolidasi berbagai gerakan moderasi Islam yang kompatibel dengan demokrasi dan negara-kebangsan, dengan aksentuasi masing-masing. Sebelum MUI menetapkan paradigma Islam Wasathiyah yang menekankan anti ekstrimitas, dua ormas Islam terbesar, NU dan Muhammadiyah, melakukan konsolidasi serupa, dalam muktamar masing-masing yang hampir bersamaan.
Muktamar NU 2015 mempromosikan Islam Nusantara yang menekankan akomodasi pada kearifan dan inovasi lokal, sebagai respons atas berbagai gerakan transnasional yang tidak bersahabat dengan lokalitas. Muktamar Muhammadiyah 2015 mencanangkan Islam Berkemajuan, yang menekankan concern pada daya saing dan produktivitas umat Islam, dan tak lagi menyoal konsensus nasional.
Munas MUI, Muktamar NU, dan Muktamar Muhammadiyah, berlangsung berdekatan pada Agustus 2015 -bulan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Titik temu mereka, tidak lagi berpikir mengotak-atik konsensus nasional, berupa Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Beberapa bulan sebelumnya, pada Februari 2018, ada konsolidasi peneguhan konsensus nasional dalam Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) VI di Yogyakarta, diikuti berbagai Ormas Islam, perguruan tinggi, pesantren, dan melahirkan ‘Risalah Yogyakarta’. Salah satu butirnya menyebutkan, apa yang menjadi konsensus nasional itu merupakan, ‘puncak perjuangan dan cita-cita umat Islam Indonesia’.
Konsensus nasional itu, dalam berbagai pidato, ceramah, dan presentasi ilmiah, saya sebut sebagai mitsaq -istilah yang digunakan Al-Qur’an, untuk menggambarkan kesepakatan antara masyarakat muslim dan non-muslim. Indonesia adalah Darul Mitsaq. Umat Islam terikat berkomitmen menjaga kesepakatan itu dengan berbagai elemen bangsa non-muslim, demi menjaga kehidupan bersama yang majemuk, sebagaimana dicontohkan Piagam Madinah, oleh Nabi Muhammad SAW.
Taujihat Surabaya 2015
Dalam Taujihat Surabaya, hasil Munas MUI 2015, ditegaskan, bagi umat Islam Indonesia, Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika, merupakan bentuk kesepakatan bangsa Indonesia. Para ulama dan tokoh Islam adalah pelaku sejarah penting dalam pendirian negara, perumusan dan pengesahan Pancasila dan UUD 1945, serta pilihan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dewasa ini, muslim Indonesia dihadapkan pada dua fenomena utama. Pertama, menguatnya konsolidasi kelompok skripturalis yang eksklusif, intoleran, kaku, mudah mengafirkan, gampang menyatakan permusuhan, bahkan melakukan kekerasan terhadap sesama Muslim yang tidak sepaham.
Kedua, konsolidasi kelompok yang cenderung permisif dan liberal. Gerakan keislaman makin bergeser ke kutub ekstrim kiri atau kanan. Kutub kiri memunculkan gerakan liberalisme, pluralisme dan sekularisme dalam beragama. Kutub kanan menumbuhkan radikalisme dan fanatisme sempit dalam beragama.
Taujihat Surabaya menandaskan, dinamika dua gerakan ini memiliki kaitan dengan gerakan trans nasional yang mengembangkan pengaruh di Indonesia, memanfaatkan momentum kebebasan ekspresi dan kemajuan teknologi komunikasi.
Sebagai jawaban atas dua model gerakan tersebut, Munas MUI 2015 bersepakat memperjuangkan Islam Wasathiyah dalam kehidupan keagamaan, kemasyarakatan, dan kenegaraan.
Islam Wasathiyah dimaknai sebagai ajaran Islam rahmatan lil alamin, rahmat bagi seluruh alam semesta. Islam Wasathiyah adalah ‘Islam Tengah’ untuk terwujudnya umat terbaik (khairu ummah). Pemahaman dan praktik keagamaan Islam Wasathiyah memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Tawassuth (mengambil jalan tengah), yaitu pemahaman dan pengamalan yang tidak ifrath (berlebih-lebihan) dan tafrith (reduktif, mengurangi ajaran).
2. Tawazun (seimbang), dalam semua aspek kehidupan, baik duniawi maupun ukhrawi, tegas dalam menyatakan prinsip, dan dapat membedakan inhiraf (penyimpangan) dan ikhtilaf (perbedaan).
3. I’tidal (lurus dan tegas), menempatkan sesuatu pada tempatnya, melaksanakan hak dan kewajiban secara proporsional.
4. Tasamuh (toleransi), mengakui dan menghormati perbedaan.
5. Musawah (egaliter), tidak diskriminatif akibat perbedaan keyakinan, tradisi dan asal usul.
6. Syura (musyawarah). Persoalan diselesaikan dengan musyawarah mufakat, dengan mengedepankan kemaslahatan.
7. Islah (reformasi), mengutamakan prinsip reformatif untuk mencapai keadaan lebih baik.
8. Aulawiyah (mendahulukan yang prioritas). Kemampuan mengidentifikasi hal yang lebih penting untuk diimplementasikan.
9. Tathawwur wa Ibtikar (dinamis dan inovatif). Terbuka melakukan perubahan sesuai perkembangan zaman.
10. Tahadhdhur (berkeadaban), menjunjung tinggi akhlakul karimah, karakter, identitas, dan integritas sebagai khairu ummah dalam kehidupan kemanusiaan dan peradaban.
Islam Wasathiyah mendukung ikhtiar kolektif umat Islam Indonesia dan seluruh komponen bangsa dalam memperkuat persatuan dan kesatuan Indonesia dalam wadah NKRI berdasarkan Pancasila. Islam Wasathiyah sebagai paradigma perkhidmatan MUI diharapkan bisa mengembalikan gerakan keislaman di Indonesia, sebagaimana dibangun dan diwariskan ulama terdahulu.
Keislaman yang mengambil jalan tengah (tawassuth), berkeseimbangan (tawazun), lurus dan tegas (i’tidal), toleransi (tasamuh), egaliter (musawah), mengedepankan musyawarah (syura), berjiwa reformasi (islah), mendahulukan yang prioritas (aulawiyah), dinamis dan inovatif (tathawwur wa ibtikar), dan berkeadaban (tahadhdhur).
Pengurus MUI di semua tingkatan harus memahami dan menghayati paradigma Islam wasathiyah itu, sehingga dapat menjadi corong kepada umat. Setiap pengurus MUI harus mendakwahkan Islam wasathiyah kepada sebanyak mungkin umat Islam.
Secara lebih sistematis, MUI menyiapkan kader da’i di seluruh Indonesia menjadi ujung tombak dakwah Islam wasathiyah. Sehingga pemahaman keislaman sebagaimana diletakkan ulama terdahulu bisa kembali kokoh menjadi jati diri muslimin Indonesia.
Munas MUI 2015 menyerukan umat Islam sedunia untuk menghayati dan mengamalkan Islam Wasathiyah sebagai bentuk kecintaan terhadap dunia yang damai, berkeadilan, dan berkeadaban. Promosi Islam Wasathiyah juga memerlukan dukungan dan kerja sama dunia internasional.
Komitmen Pada Mitsaq
Mainstreaming Islam Wasathiyah merupakan bagian upaya menjaga keutuhan NKRI, sebagai hasil komitmen bersama para pendahulu. Saya menyebutnya sebagai Darul Mitsaq, negara kesepakatan. Ada yang mengatakan Darus Shuluh (negara perdamaian), Darul ‘Ahdi (negara perjanjian), saya menyebut Darul Mitsaq, karena dibangun berbasis kesepakatan semua elemen bangsa.
Dasar negara yang menjadi hasil kesepakatan berbagai elemen di Indonesia adalah Pancasila. Bagi kelompok kebangsaan, Pancasila adalah kebangsaan yang religius. Bagi kelompok Islam, Pancasila adalah basis kebangsaan yang bertauhid. Kelompok Kebangsaan dan Islam bisa bertemu, dalam Pancasila.
Sistem pemeritahan yang disepakati, tertuang dalam UUD 1945, yang mukadimahnya berisi Piagam Jakarta, minus tujuh kata yang dihapus (Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluk-Pemeluknya). Mukadimah itulah yang menginspirasi pasal-pasal dalam UUD, dan semua itu bentuk kesepakatan. Dua pilar inilah, Pancasila dan UUD 1945, yang melahirkan NKRI.
Agar NKRI tetap utuh, pertama, dijaga dengan paradigma kombinasi antara ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam) dan ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan). Prinsip ini terus kami dengungkan. Jangan sampai ada yang tidak punya komitmen kebangsaan. Tidak boleh ada radikalisme, apalagi terorisme.
Kedua, keamanan dan kedamaian harus diciptakan. Kalau tidak aman, pembangunan sulit jalan. Perang harus dicegah. Lima prinsip dalam konsep kemaslahatan Islam, perlu ditambah. Lima prinsip itu, perlindungan agama (hifdud din), perlindungan jiwa (hifdun nafs), perlindungan akal (hifdul aqli), perlindungan keturunan (hifdun nasl), dan perlindungan harta (hifdul mal). Lima prinsip itu disebut dharuriyah khamsah. Ini tidak cukup. Harus ditambah dua, perlindungan keamanan dan keselamatan. Jadinya ada tujuh prinsip, mabadi’ sab’ah.
Islam di Indonesia hakekatnya sama dengan Islam di Timur Tengah, tempat asal ajaran Islam disebarkan. Sumber dan ajarannya sama. Hanya saja, Islam di Indonesia ada plusnya. Islam di Indonesia adalah Islam Kaafah Ma’al Miitsaq, yaitu Pancasila dan UUD 1945. Perjanjian dalam Islam, memiliki nilai tinggi.
Islam diperjuangkan dalam koridor NKRI. Dalam kerangka berpikir ini, tawaran konsep khilafah tertolak. Bukan karena tidak Islami. Bagi saya, khilafah itu Islami. Pernah ada dalam sejarah awal dan pertengahan Islam. Bukan hanya khilafah, model kerajaan (mamlakah), keamiran (imarat), atau republik, juga bisa dibenarkan dalam Islam.
Khilafah tertotak di Indonesia, karena bertentangan dengan mitsaq, kesepakatan. Begitu pula dengan konsep mamlakah dan imarat, akan tertolak di Indonesia. Karena di Indonesia sudah ada kesepakatan, bentuk negara adalah republik, dipimpim oleh presiden, bukan khalifah.
Sistem ini terbuka untuk menyerap elemen syariah, setelah diproses melalui sistem legislasi (taqnin) yang disepakati. Dan sudah banyak UU bermuatan syariat yang sudah disahkan.
Ekonomi Berkeadilan: Memperkuat yang Lemah, Bukan Memperlemah yang Kuat
Keutuhan NKRI, selain dijaga dengan komitmen pada mitsaq, dalam bingkai Islam Wasathiyah, juga perlu diperkuat dengan kehidupan ekonomi berkeadilan, sesuai sila kelima Pancasila, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Ketimpangan ekonomi harus terus dikurangi menuju keadilan sosial.
Kalangan ekonomi lemah harus diperkuat. Segmen ekonomi lemah di Indonesia, sebagan besar berisi umat Islam, yang merupakan mayoritas penduduk. Kalau ekonomi umat lemah, negara Indonesia bisa lemah. Kalau ekonomi umat kuat, negara Indonesia akan kuat. Itu keyakinan saya.
Maka itu, ekonomi umat harus dikuatkan. Bukan dengan cara melemahkan yang kuat, tapi menguatkan yang lemah. Bukan membenturkan yang kuat dengan yang lemah, tapi keduanya didorong dan difasilitasi untuk bermitra. Saling kolaborasi, saling menguatkan, dan saling menjaga, sehingga terjadi harmonisasi kehidupan.
Itulah ekonomi berkeadilan. Kalangan ekonomi kuat, dengan demikian, tidak berlu khawatir dengan agenda ini. Mereka tidak akan diperlemah, tapi diajak bermitra untuk turut memperkuat kalangan ekonomi lemah. Ekonomi berkeadilan sesuai sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, dengan demikian, bisa terjaga. Tidak ada tirani minoritas atau diktator mayoritas.
Agenda ekonomi berkeadilan memerlukan sumbangsih simultan antara pemerintah dan masyarakat. Diperlukan sinergi tiga kekuatan. Pertama, pemerintah memperlihatkan pemihakan dan menopang dalam bentuk kebijakan dan regulasi. Kedua, masyarakat menunjukkan kerja sama dalam bentuk semangat interpreunership. Ketiga, ada kemauan dari ekonom kuat untuk bermitra dengan berbagai pelaku ekonomi lemah, untuk memperkuat yang lemah.
Itulah gerakan yang kami sebut Arus Baru Ekonomi Indonesia, sebagaimana diteguhkan dalam Kongres Eknomi Umat, di Jakarta, April 2017. Ini sejalan dengan kebijakan Presiden Joko Widodo untuk melakukan redistribusi aset dan mendorong kemitraan antara pelaku konglomerasi usaha dengan masyarakat kecil, termasuk dunia pesantren dan berbagai ormas Islam, sebagai bagian terbesar rakyat Indonesia.
Disebut Arus Baru, karena Arus Lama lebih menekankan penguatan ekonomi kalangan atas, dengan harapan akan menetes ke bawah, sesuai teori Trickle Down Effect. Kenyataannya tidak efektif menetes. Kesenjangan makin besar. Maka, Arus Baru ini berangkat dari penguatan ekonomi masyarakat lemah, dengan upaya-upaya sinergi, koordinasi, akselerasi, dan pertumbuhan.
Sebelum itu, Presiden Jokowi ketika memimpin Komite Nasional Keuangan Syariah, telah mencanangkan Indonesia sebagai Pusat Keuangan Syariah Dunia. Keuangan Syariah ini bukanlah skema eklusif untuk agama tertentu, tapi justru bagian kebijakan ekonomi inklusi, untuk memperluas akses pada sumber keuangan, bagi masyarakat seluas-luasanya, terutama pada pelaku ekonomi lemah, apapun agamanya. Kalangan non-muslim tidak ada alasan khawatir pada gerakan keuangan Syariah.
Arus Baru ini sejalan dengan spirit ekonomi inklusi. Masyarakat ekonomi lemah harus bisa mengakses permodalan. Meski tak punya agunan, mereka bisa dijamin lembaga penjamin berbasis dana umat, seperti lembaga zakat dan wakaf. Ada juga lembaga keuangan mikro yang difasilitasi pemerintah di banyak pesantren, yang dapat menjangkau segmen lebih bawah lagi. Ini akan mendorong masyarakat kecil bergairah.
Globalisasi Islam Wasathiyah
Dukungan pemerintah, masyarakat, dan kalangan terpelajar di Singapura, dalam promosi dan implementasi Islam Wasathiyah, dan pencegahan ekstremisme keagamaan, sangatlah berarti. Islam Wasathiyah bukan hanya penting bagi Indonesia, tapi juga penting bagi harmoni dan stabilitas kawasan, khususnya Asia Tenggara.
Operasi terorisme atas nama agama, adalah contoh buah paham keagamaan ekstrem, yang daya ancamnya bersifat transnasional. Islam Wasathiyah bukan hanya concern muslim Indonesia, tapi juga penting menjadi concern kerja sama antar negara, termasuk Singapura.
Baik melalui kebijakan negara maupun partisipasi masyarakat, termasuk dunia universitas, melalui berbagai riset dan pendidikan. Berbagai hal yang dapat memicu bangkitnya gerakan ekstrem, baik kanan maupun kiri, yang dapat mengancam pengarusutamaan wasathiyah Islam, perlu diantisipasi dan dicegah bersama-sama.
Oleh: Prof. Dr. KH. Ma’ruf Amin, Rais Am PBNU 2015-2018 dan Ketua Umum MUI 2015 – 2020 (Materi Kuliah Umum Indonesian Leaders Public Lecture Series, RSiS – NTU Singapore)