NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Ambisi pemerintahan untuk mengejar proyek listrik berkapastias 35 ribu MW dalam kurun waktu lima tahun dipastikan gagal. Bukan kali pertama proyek pembangkit listrik nasional ini cenderung dipaksakan dan menjadi bancakan seluruh elit politik dan birokrasi. Misalnya pada periode yang lalu, proyek listrik berkapasitas 10 ribu MW, pengadaan trafo gardu listrik, dan lain-lain juga menjadi bulan-bulanan perburuan rente elit politik.
Hal itu disampaikan Direktur Eksekutif Indonesian Club Gigih Guntoro melalui keterangan tertulis, Jakarta, Selasa (18/9/2018).
Menurutnya, tak bisa dipungkiri bahwa poyek listrik menjadi lahan subur korupsi elit politik dan birokasi. Proyek pembangkit listrik telah terjadi anomali, satu sisi harus memenuhi target waktu, sementara dengan Keputusan Menteri ESDM Nomor 74K/21/MEM/2015 tentang Pengesahan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN (Persero) Tahun 2015–2024. Dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 3 Tahun 2015 tentang Prosedur Pembelian Tenaga Listrik dari PLTU Mulut Tambang, PLTU Batu Bara, PLTG, PTLMG, PLTA oleh PLN melalui penunjukan langsung.
Baca juga: FSP BUMN Bersatu: Kasus Suap PLTU Riau-1, Nicke Seharusnya Ditetapkan Sebagai Tersangka
“Kemudian dipertegas dengan keluarnya Peraturan Direksi PLN No. 0336 tahun 2017 yang membatasi penunjukan langsung bisa dilakukan selama anak usahanya turut andil dalam proyek,” papar Gigih.
Gigih mengungkapkan, skema penunjukan langsung justru telah menabrak Peraturan Presiden yang tertuang dalam Perpres No. 54 Tahun 2010, Perpres No. 35 Tahun 2011, dan Perpres No. 70 Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang dan Jasa serta Perpres No. 172 Tahun 2014 dan Perpres No. 4 Tahun 2015 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah tentang Percepatan Pengadaan Barang dan Jasa, UU BUMN nomor 19 tahun 2003 dan UU keuangan negara nomor 17 tahun 2003.
“Skema penunjukan langsung yang dilakukan PLN didasari aturan kilat memberikan celah terjadinya kongkalikong antara BUMN, elit politik dan investor. Proyek PLTU Riau I merupakan salah satu proyek bermasalah dari 109 proyek yang ada, pasti ada proyek PLTU lainnya yang bernasib sama dan cenderung menjadi bancakan. Dalam proyek PLTU Riau I secara nyata telah terjadinya perburuan rente dilakukan secara fulgar antara elit BUMN, elit politik dan investor yang telah menyeret Eni Saragih, Idrus Marham dan Johanes Kotjo,” terang Gigih.
Baca juga: Aktivis Desak KPK Usut Tuntas Keterlibatan Elit Golkar dalam Kasus PLTU Riau-1
Namun, dia melanjutkan, penegakan hukum yang dijalankan KPK belum memenuhi asa keadilan bersama. Karena jika KPK hanya berkutat pada ketiga aktor yang sudah dijadikan tersangka maka penegakan hukum pasti tidak akan menemukan modus kejahatan secara sempurna.
Artinya bahwa kejahatan korupsi selalu dilakukan secara berjamaah, terstruktur dan sistemik. Bahwa kejahatan yang dilakukan Eny Saragih, Idrus Marham, Johanes Kotjo, dan patut diduga Sofyan Basyir, Nicke Widyawati tidak berdiri sendiri. Ada kekuatan kuasa kegelapan yang lebih besar dari itu yang menjadikan proyek listrik sebagai lahan subur korupsi.
Baca juga: Ini Indikasi Skandal Korupsi di Mega Proyek Listrik 35 Ribu Megawat
“KPK harus berni membongkar peran penting birokrasi BUMN (Kementrian BUMN, ESDM, dan PLN) dalam Proyek PLTU Riau I agar tidak menghambat proyek ambisius 35 ribu MW,” tukasnya.
Tragisnya, tambah Gigih, aktor utama di institusi PLN (Sofyan Basyir dan Nicke Widyawati) seolah-olah mempermainkan penegakan hukum yang sedang dijalankan KPK dengan mengabaikan proses pemanggilan. Berlarut-larutnya penegakan hukum mengesankan KPK tak berdaya dalam proses ini.
Bahkan arogansi Nicke Widyawati terlihat ketika mangkir selama dua kali, hal ini mencerminkan dari ketidakkooperatifnya dalam penegakan hukum. Patut diduga bahwa kesan ketidakkoopratifnya Nicke Widyawati dan Sofyan Basyir terhadap penegakan hukum karena memiliki perlindungan dari kekuasaan.
Baca juga: Program Pembangkit Listrik 35.000 MW Paling Tidak Realistis
“Praktis bahwa Sofyan Basyir dan Nicke Widyawati yang telah memuluskan Proyek PLTU Riau I merupakan proxy dari kekuasaan dan kekuatan besar yang menjadikan PLN sebagai korban demi mendapatkan keuntungan semata. Olehkarena itu, penegakan hukum yang dijalankan KPK tidak boleh berhenti pada keterlibatan Sofyan Basyir dan Nicke Widyawati, melainkan harus lebih berani membongkar kejahatan korupsi yang berlindung dibalik kekuasaan,” sebut Gigih. (gdn/bya/alya)
Editor: Banyu Asqlani, Gendon Wibisono & M Yahya Suprabana