Hankam

Proxy War Asing, Pers Diminta Cermat Soal Kasus Papua

NUSANTARANEWS.CO – Mengenai kasus di Papua, Direktur Global Future Institute, Hendrajit di Jakarta (28/12), mengingatkan agar peran pers sebagaimana mestinya harus berdiri pada posisi netral. Bahkan pers harus menjadi benteng mencegah terjadinya proxy war, bukan sebaliknya justru menjadi agen untuk kepentingan asing.

Dengan kata lain pers harus lebih cermat menyikapi kasus Papua. Hendrajit menjelaskan, sejak dulu, Papua telah menjadi rebutan Amerika, Australia dan negara-negara. Sebab di Papua semua ada.

Sudah menjadi rahasia umum, Profesor Noam Chomsky dan sekelompok akademisi internasional termasuk juga Human Rights Watch, Amnesty International dan Tapol tengah berupaya menghimpun kekuatan, termasuk kekuatan opini untuk mengacaukan salah satu kawasan strategis NKRI, Papua, terutama Papua Barat. Chomsky dkk kemudian membentuk sebuah kelompok yang dinamai International Academics for West Papua (IWAP).

Mereka secara licik membentuk opini bahwa aparat keamanan Indonesia, terutama TNI yang disebut mereka melakukan sejumlah tindakan pelanggaran HAM di Papua Barat. Isu pelanggaran HAM ini sebetulnya telah menjadi alat dan proxy war (perang asimetris) kelompok asing untuk mengacaukan situasi keamanan Indonesia. Sehingga pada gilirannya, ketika opini publik telah terbentuk, pihak asing segera masuk melakukan operasi di Indonesia dengan tujuan memecah belah persatuan dan kesatuan NKRI yang sudah final.

Baca Juga:  Satgas Catur BAIS TNI dan Tim Gabungan Sukses Gagalkan Pemyelundupan Ribuan Kaleng Miras Dari Malaysia

Retorika demokrasi dan HAM ini familiar digunakan Amerika Serikat sebelum memulai sebuah operasi militer di suatu negara. Retorika demokrasi dan kemanusiaan merupakan kata kunci guna menutupi motif sesungguhnya dari agenda tersembunyinya. Dan seperti diketahui, AS kerap kali sukses menggunakan operasi intelijen dengan menggunakan isu demokrasi dan HAM.

Ambil contoh misalnya di sejumlah negara di Timur Tengah yang ditandai dengan kampanye Arab Spring pada 2010 silam. Alhasil, Timur Tengah luluh lantak dan telah menjadi kawasan tak bertuan. Celakanya, tragedi kemanusiaan di Timur Tengah tak pernah dipandang sebagai sebuah kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan.

Operasi serupa tampaknya sedang ingin digelar di Papua Barat melalui tangan Chomsky dkk yang dibantu pihak-pihak lain, mungkin juga media. Dan celakanya, retorika Chomsky dkk tampaknya mendapat dukungan luas dari sejumlah media nasional.

Tuntutan Chomsky dkk sama persis dengan tuntutan Organisasi Papua Merdeka (OPM), sebuah kelompok yang belakangan disebut separatis. Chomsky dkk sebetulnya tak perlu banyak omong, cukup mereka memegang senjata kalau memang mau mengacaukan Indonesia.

Baca Juga:  Hut Ke 78, TNI AU Gelar Baksos dan Donor Darah

Menurut Chomsky dkk keberadaan militer di Papua Barat dikombinasikan dengan rasisme dan diskriminasi ekonomi struktural terhadap populasi lokal Papua, hanya akan berakibat pada konflik dan pelecehan. International Academics for West Papua pun menuntut pelatihan militer dan polisi serta ekspor persenjataan untuk Indonesia dihentikan hingga pelanggaran HAM di Papua Barat dihentikan. (*)

Editor: Romandhon

Related Posts

1 of 10