NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Rancangan Undang-undang (RUU) Pemilu telah disahkan DPR menjadi UU. Tinggal menunggu tandatangan presiden dan dimuat dalam lembaran negara. Proses pengesahan rumit dan kontroversial. Sebab, sidang pengambilan keputusan tidak diwakili seluruh partai politik nasional. Parpol-parpol koalisi pemerintah sukses memanfaatkan kesempatan walk out Gerindra, Demokrat, PKS dan PAN. Walk out adalah pilihan dan perlawanan mereka karena kalau pun voting tetap kalah suara, di mana secara kuantitas parpol koalisi pemerintah punya 337 suara dari 560 suara parlemen.
Baca: Mengapa Presidential Treshold 0 Persen?
Salah satu isu penting dalam UU Pemilu yang baru disahkan itu ialah presidential threshold 20-25 persen. Sesuai definisinya, presidential threshold adalah ambang batas bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk pengajuan presiden atau wakil presiden. Presidential threshold 20-25 persen maksudnya adalah parpol atau gabungan parpol harus memiliki 20 persen jumlah kursi di DPR dan/atau 25 persen suara sah nasional di Pemilu sebelumnya, seperti termaktub dalam Pasal 190 UU Penyelenggaraan Pemilu.
Padahal, jika mengacu pada Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013, Pemilu 2019 dilaksanakan secara serentak. Tapi, amanah ini tidak berlaku bagi pemerintah dan partai koalisi karena kepentingan mereka jauh lebih besar pada Pemilu mendatang.
Baca: Apakah Pantas Pelanggaran Konstitusi Dilakukan Voting?
Keempat partai yang menolak berencana mengajukan gugatan ke MK terkait UU Pemilu yang baru disahkan tersebut. Mereka sangat yakin, presidential treshold 20 persen kursi DPR dan 25 persen suara sah Pemilu nasional adalah pereduksian terhadap posisi dan peranan partai politik. Selain itu, pemerintah dinilai telah menelan ludah sendiri karena dalam berbagai kesempatan selalu meneriakkan demokrasi, tapi prakteknya justru demokrasi itu dirampas melalui UU Pemilu yang baru saja disahkan DPR atas usulan dan dorongan pemerintah sendiri.
“Secepat mungkin setelah RUU ini ditandatangani oleh Presiden dan dimuat dalam lembaran negara, saya akan mengajukan permohonan pengujian undang-undang ke Mahkamah Konstitusi. Perjuangan secara politik oleh partai-partai yang menolak keberadaan presidential threshold, usai sudah. Kini menjadi tugas saya untuk menyusun argumen konstitusional untuk menunjukkan bahwa keberadaan presidential threshold dalam pemilu serentak adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) jo Pasal 22E ayat (3) UUD 45,” kata Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra dalam keterangannya, Jakarta, Jumat (21/7/2017).
Dikatakannya, Pasal 6A ayat (2) itu mengatakan “Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum“.
“Pemilihan umum yang mana yang pesertanya partai politik? Jawabannya ada pada Pasal 22E ayat 3 UUD 45 yang mengatakan bahwa pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD,” katanya.
Baca juga: Presidential Threshold 20 Persen Gambaran Nyata Spirit Otoritarian
Yusril menjelaskan, pengusulan capres dan cawapres oleh parpol peserta pemilu itu harus dilakukan sebelum pemilu DPR dan DPRD. Baik pemilu dilaksanakan serentak maupun tidak serentak, presidential threshold mestinya tidak ada. Apalagi pemilu serentak, yang perolehan kursi anggota DPR-nya belum diketahui bagi masing-masing partai. Dengan memahami dua pasal UUD 45 seperti itu, maka tidak mungkin presidential threshold akan menjadi syarat bagi parpol dalam mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
“Kepentingan Presiden Jokowi dan parpol-parpol pendukungnya sangat besar untuk mempertahankan apa yang telah mereka putuskan. Namun saya berharap MK tetap tidak dapat diintervensi oleh siapapun. Andaikan tidak ada yang lain yang akan melawan UU Pemilu yang baru disahkan ini secara sah dan konstitusional, maka tidak masalah bagi saya untuk sendirian saja berjuang menghadapi Presiden dan DPR di Mahkamah Konstitusi nanti. Kebenaran toh tidak tergantung pada banyak sedikitnya orang atau kuat dan lemahnya posisi dalam politik,” papar Yusril.
Simak: Demokrasi Telah Busuk di Tangan Rezim Anti Demokrasi
Editor: Eriec Dieda