Politik

Presidential Threshold 20 Persen Gambaran Nyata Spirit Otoritarian

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Ambang batas presiden 20 persen (presidential threshold) yang diperjuangkan pemerintahan Joko Widodo merupakan gambaran nyata dari spirit otoritarian. Pasalnya, presidential threshold 20 persen tersebut bertentangan dengan konstitusi dan semangat reformasi.

“Ambang batas presiden adalah bentuk nyata merongrong hak demokrasi dan hak konstitusional setiap partai politik dalam mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam UUD 1945 pasal 6A ayat 2. Suatu gambaran nyata dari spirit otoritarian yang bertentangan dengan semangat refomasi yang digemakan pemerintah setiap saat,” kata Ketua Komisi V DPR RI, Fary Djemy Francis, Jakarta, Kamis (20/7).

Diketahui, pemerintah Jokowi berjuang keras meloloskan ambang batas presiden 20 persen di DPR. Tak hanya dengan argumen dan alasan-alasan, pemerintah berpotensi memanfaatkan suara parpol-parpol koalisi pemerintah di parlemen.

Sebab sekarang ini, pemerintah merasa di atas angin jika menilik parpol-parpol koalisi yang mendominasi jumlah suara di parlemen. Sebut saja, PDI Perjuangan punya 109 suara, Golkar 91 suara, PKB 47 suara, PPP 39 suara, NasDem 35 suara, dan Hanura 16 suara. Sehingga, jika dijumlahkan koalisi pemerintah di Senayan sebanyak 337 suara dari total 560 anggota DPR. Dan sebagai catatan, untuk memenangkan voting hanya butuh 281 suara.

Baca Juga:  Rahmawati Zainal Peroleh Suara Terbanyak Calon DPR RI Dapil Kaltara

Baca: Presidential Threshold 20% Khianati UUD 1945, Apa Pemerintah Hendak Langgar Konstitusi (Lagi)?

Itu pun belum lagi melihat kejelasan PAN. Kalau Gerindra, PKS dan Demokrat sudah dipastikan menolak ambang batas presiden 20 persen karena dinilai melanggar konstitusi. Ketiga parpol tersebut bersikukuh mempertahankan ambang batas presiden 0 persen.

“Hasil Pemilu 2014 yang menjadi rujukan dalam pengusungan pencalonan Presiden dan Wakil Presiden tidak relevan untuk diberlakukan pada Pemilu Serentak 2019. Dengan tidak diberlakukannya ambang batas presiden (presidential treshold), maka peluang munculnya calon Presiden dan Wakil Presiden dari setiap partai politik peserta pemilu semakin terbuka,” jelas Fary Djemy.

Menurutnya, ambang batas presiden 0 persen itu sejalan dengan Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 menjelaskan bahwa pemilihan Anggota DPR, DPD dan DPRD, Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan secara serentak.

Atas dasar itu, ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden yang termaktub dalam Pasal 190 RUU Penyelenggaraan Pemilu yang berbunyi ‘Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional pada Pemilu anggota DPR periode sebelumnya’ tidak relevan dijadikan sebagai rujukan dalam mengatur pencalonan Presiden dan Wakil Presiden,” terang dia.

Baca Juga:  Asisten Administrasi Umum Nunukan Buka Musrenbang Kewilayahan Dalam Rangka Penyusunan RKPD Tahun 2025

Tak hanya Fary Djemy, sejumlah pakar dan ahli juga menegaskan bahwa ambang batas presiden 20 persen itu inkonstitusional. Ambil contoh misalnya, pakar Hukum dan Tata Negara Refly Harun. Ia menyebutkan, presidential threshold 20 persen melanggar putusan Mahkamah Konstitusi bernomor 14/PUU-XI/2013 yang mengatur pemilu serentak 2019. Bahkan, presidential threshold 20 persen tidak ada dasarnya. Kalau dasar yang dipakai pemerintah adalah hasil Pemilu 2014, itu tidak benar dan tidak logis. Sebab Pemilu Presiden 2019 tidak bisa menjadikan hasil pemilu 2014 sebagai dasar.

Karenanya, pemerintah pun diminta agar jangan coba-coba mendikte Pemilu Presiden 2019 dengan perolehan suara atau kursi di parlemen 2014 silam. Dalam bahasa Syamsuddin Haris, seorang peneliti LIPI, ambang batas pencalonan presiden adalah sesuatu yang sifatnya anomali dan menyimpang dalam sistem presidensial.

Potensi lain dari ngotot-nya sikap pemerintah dengan ambang batas presiden 20 persen patut diduga ada ambisi untuk menciptakan calon tunggal pada Pilpres 2019 mendatang. Sehingga, sebagian pihak menduga ambang batas presiden 20 persen bisa dikatakan pintu masa depan Jokowi untuk merebut kembali kursi kepresidenan.

Baca Juga:  Pemkab Nunukan Gelar Konsultasi Publik Penyusunan Ranwal RKPD Kabupaten Nunukan 2025

Baca: Presidential Threshold 20% Skenario Pilpres 2019 Calon Tunggal, Demokrat Menolak Tegas

Terakhir, desas desus adanya skenario menjadikan Jokowi sebagai calon tunggal melalui ambang batas presiden 20 persen itu membuat parpol-parpol lain meradang menuding pemerintah tidak demokratis. Padahal, pemerintah kerap kali bicara soal demokrasi dalam berbagai kesempatan.

Untuk itu, dengan tidak adanya ketentuan ambang batas presiden 20 persen, maka peluang munculnya capres dan cawapres dari setiap parpol peserta pemilu semakin terbuka, kompetisi semakin sehat dan demokrasi pun semakin terbuka.

“Inilah kegembiraan demokrasi yang mesti dirayakan tidak saja oleh partai politik, tetapi juga oleh rakyat Indonesia,” ucap Fary Djemy.

Editor: Eriec Dieda

Related Posts

1 of 65