NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Presidential Threshol atau ambang batas 20 persen yang disahkan oleh DPR tidak selesai dengan ketok palu sidang paripurna. Terdapat beberapa kejanggalan dari pengesahan tersebut, salah satunya ialah TP 20 persen dinilai inkonstitusional oleh sejumlah pakar hukum tata negara.
Direktur Lembaga Survey Regional M. Mufti Mubarok menilai bahwa Presidential Threshold dari sisi konstitusi kurang tepat. Sebab, kata dia, PT 20% selain menciderai demokrasi juga melukai rakyat.
“Kalau dari sisi konstuti kurang tepat, karena mencerederai rakyat dan demokrasi,” kata Mufti saat dihubungi Nusantaranews, Jumat (21/7/2017) kemarin.
Bahkan, kata Mufti, hasil sidang paripurna DPR yang dipimpin oleh Ketua DPR RI dengan status tersangka korupsi e-KTP oleh KTP merupakan salah satu bentu pelanggaran konstitusi. Dengan lain kata, hasil sidang paripurna yang memutuskan Presidential Threshold adalah inkonstitusional.
“Soalnya dipimpin (Ketua DPR, Setya Novanto, _red) tersangka (kasus korupsi e-KTP, _red) dan memaksakan voting,” ujarnya.
Mufti pun menilai, jika Pemilu Serentak dan Pilpres dengan aturan Presidential Threshold 20 % tersebut tentu akan memberikan keuntungan bagi satu pihak, yakni penguasa.
“Tapi bagi penguasa menguntunkan penguasa. Karena bisa calon tunggal,” kata dia.
Pewarta/Editor: Achmad Sulaiman