Politik

Presidential Threshold 20 Persen Dinilai Sangat Tidak Fair

Presidential Threshold. (Ilustrasi). Foto: Istimewa
Presidential Threshold. (Ilustrasi). Foto: Istimewa

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Ketua Mahkamah Konstitusi yang baru diharapkan bersikap netral. Sehingga bisa membuat optimis sejumlah aktivis yang mengajukan gugatan UU Pemilu No 7/2017 Pasal 222 yang menyebutkan bahwa pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya. Ambang batas pencalonan presiden atau Presidential Treshold 20% memang telah lama menuai polemik.

President Threshold 20% diuji lagi. Saya yakin jebol. Ketua MK yang baru kabarnya netral. Ke situlah pikiran waras JR (Judicial Review) dititip. Jika gol, jadi Prof Yusril Ihza, Prof Amien Rais, Prof SBY, Prof Rizal Ramli, Jenderal Gatot Nurmantio, tak lupa Jenderal Prabowo Sùbianto, maju jadi Capres,” kata Anggota Komisi Hukum DPR RI 2004-2009, Djoko Edhi Abdurrahman dikutip dari keterangan tertulisnya, Jakarta, Kamis (2/8/2018).

Baca Juga:  DPRD Sumenep Bentuk 4 Komisi untuk Perkuat Kebijakan Pro Rakyat

Baca juga: Yusril: Presidential Threshold Tidak Sejalan dengan Spirit Konstitusi

Diketahui, pemilihan Ketua MK digelar pada 2 April 2018. Nama Anwar Usman akhirnya terpilih sebagai Ketua MK menggantikan posisi yang telah ditinggalkan Arief Hidayat.

“Sebelumnya, pokok perkara yang sama sudah diuji. Kalah pemohonnya. Menang Jokowi yang merancang Kotak Kosong untuk lanjut dua periode. Kemenangan itu berkat Arief, Ketua MK yang memihak rezim. Tapi ia sudah tersingkir dari Ketua MK karena sejumlah profesor protes atas pelanggaran etika,” terang Djoko Edhi.

Menurutnya, Presidential Treshold 20% memang tidak fair. Dan angka 20% juga dihitung dari hasil Pemilu 2014 silam. Ketentuan tersebut justru kembali digunakan dalam menghadapi Pilpres 2019.

“PT 20% itu memang tidak fair. 20% itu dihitung dari hasil Pemilu 2014. Andai tiket bioskop, sudah dipakai pada tahun 2014, mau dipakai lagi tahun 2019. Tiketnya sudah disobek. Filmnya sudah ditonton. 1000% curang. Tidak JURDIL (jujur dan adil). Padahal azas Pemilu kudu JURDIL. Itu reason-nya,” cetus Djoko Edhi.

Baca Juga:  Survei Sering Unggul, Khofifah-Emil Berpeluang Menang Besar di Pilgub Jawa Timur

Baca juga: Tiga Cacat Fundamental Presidential Threshold dalam Perspektif Demokrasi

Dia mengatakan pasal 222 UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu telah menyebabkan rakyat tidak bebas memilih karena pilihannya menjadi sangat terbatas dan secara prinsip bertentangan dengan amanat UUD 1945.

“Inilah perjuangan konstitusional untuk mengembalikan daulat rakyat dan mengembalikan kebebasan rakyat untuk secara lebih bebas memilih pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden. Karena itu, kami sudah mempersiapkan dan hari ini akan mendaftarkan lagi Permohonan Pengujian konstitusionalitas Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 tersebut. Kami meminta MK dapat segera memutuskan permohonan ini, sebelum masa pendaftaran capres berakhir pada 10 Agustus 2019 yang akan datang.

Baca juga: Presidential Threshold 20 Persen Dinilai Inkonstitusional dan Ciderai Demokrasi

Permohonan baru ini akan diajukan oleh 12 (dua belas) Pemohon di antaranya M. Busyro Muqoddas (mantan Ketua KPK dan Ketua KY), M. Chatib Basri (mantan Menteri Keuangan), Faisal Basri (Akademisi), Hadar N. Gumay (mantan komisioner KPU), Bambang Widjojanto (mantan pimpinan KPK), Rocky Gerung (Akademisi), Robertus Robet (Akademisi), Feri Amsari (Direktur Pusako Universitas Andalas), Angga Dwimas Sasongko (Profesional/Sutradara Film), Dahnil Azhar Simanjuntak (Ketua Umum Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiyah, Titi Anggraini (Direktur Perludem), dan Hasan Yahya (Profesional).

Baca Juga:  Politik Identitas dan Regenerasi pada Pilkada Serentak 2024

Editor: Banyu Asqalani & Alya Karen

Related Posts

1 of 3,071