NUSANTARANEWS.CO – Dalam pidato yang menjadi viral dan disalah artikan banyak pihak, Ketua umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto tidak sedang menebar ketakutan ketika menyebut bahwa Indonesia berpotensi bubar pada tahun 2030. Ia sesungguhnya sedang mengajak para ahli untuk memunculkan food for thought di tengah berbagai tantangan berat yang sedang menghadang.
Pada pidato yang berlangsung di bulan September 2017, bertempat Universitas Indonesia tersebut, Prabowo mengutif novel fiksi ilmiah berjudul Ghost Fleet: A Novel of the Next World War, yang ditulis dengan apik oleh P.W. Singer dan August Cole, yang memiliki latar belakang kehidupan akademis yang cukup mumpuni.
Meskipun hanya sebuah novel fiksi ilmiah, namun buku itu disarankan oleh banyak kalangan pengamat internasional. Begitu pula yang hendak diupayakan Prabowo; membawa novel ini ke dalam perdebatan ilmiah di kampus, maupun di ruang-ruang para pengambil kebijakan di Indonesia.
Baca juga: Ghost Fleet dan Pesan Armada Hantu Komunitas Intelijen Terhadap Cina
Situasi imajiner Singer dan Cole dalam novelnya tentang bekas negara Indonesia adalah sesuatu yang tidak tertutup kemungkinan terjadi, meskipun peluangnya sangat kecil sekali, namun kemungkinan itu akan selalu tetap ada. Sebab itu Prabowo pada pidatonya mengajak semua pihak untuk memikirkan perlunya dibangun “backup systems” untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk.
Salah satu kemungkinan itu yakni terancamnya Indonesia menjadi negara gagal (failed states) satu tahap sebelum menjadi yang runtuh (collapsed state). Secara teoritis ada empat kategori pembagian negara-bangsa yakni; kuat (strong state), lemah (weak state), gagal (failed state), dan runtuh (collapsed state).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Lembaga nirlaba The Fund for Peace mengenai indeks negara gagal pada tahun 2012, menempatkan Indonesia berada di peringkat 63 dari 177 negara dengan total indeks 80,6.
Baca juga: Meski Semacam Ramalan, Kekuatan Novel Fiksi Ghost Fleet Tak Boleh Diremehkan
Meskipun tidak masuk dalam kategori failed states, namun Indonesia tergolong sebagai negara lemah. Weak states merupakan negara yang pada umumnya memiliki perbedaan etnis, religi, bahasa, yang menjadi hambatan untuk menjadi negara yang kuat.
Pada negara lemah konflik biasanya terjadi secara terbuka, dan korupsi menjadi hal yang umum, hukum tidak ditegakkan, dan terjadinya privatisasi pada institusi kesehatan dan pendidikan.
Naom Chomsky (2006;1-2) menyebut tiga ciri pokok dari failed state; (1) Ketidak mampuan negara dalam melindungi penduduknya dari kekerasan; (2) Kecenderungan mengabaikan diri terhadap jangkauan hukum baik domestik, maupun hukum Internasional; (3) Menderita defisit demokrasi yang parah.
Dalam beberapa tahun terakhir Indeks demokrasi Indonesia mengalami kemerosotan dan menjurus pada defisit. Indeks Demokrasi Global yang dirilis Economist Intelligence Unit (EIU) tahun 2010 menempatkan Indonesia berada pada posisi ke-60 dari 167 negara yang disurvei, kalah dari Thailand (57) dan Papua Nuigini (59), bahkan jauh tertinggal oleh Timor Leste (42). Skor total Indonesia hanya 6,53 dari skala 0-10.
Baca juga: Apakah Indonesia Masih Mampu Bertahan Hingga Tahun 2030?
Sementara berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Indeks Demokrasi Indonesia terus merosot dalam tiga tahun terakhir. Pada 2015, indeks demokrasi berada di angka 73,04 persen, pada 2016, indeks melorot ke angka 72,82, dan pada tahun lalu (2017) Indek demokrasi terjun ke angka 70,09.
Penurunan indeks demokrasi dan ancaman menjadi failed state, tidak lepas dari ketiadaan kepemimpinan yang transformatif, tegas dan menginspirasi. Para pemimpin saat ini cenderung lebih asyik dalam gelombang pencitraan berdasarkan dinamika pasar.
Para pemimpin tampak lebih berpihak atau memilih kekaguman konstituen daripada berpihak kepada konstitusi. Mereka cenderung kurang berani mengambil langkah konstitusional hanya karena takut tak popular atau citra dirinya jatuh. Dalam seperti kondisi ini, jika tidak hati-hati Indonesia bisa terjerumus ke dalam jurang negara gagal, yang dapat membuka jalan bagi collapsed state.
Dewasa ini, pada tingkat dan kadar tertentu, acap kali gejala-gejala negara gagal menghampiri Indonesia. Kita merasakan keamanan dan ketertiban yang berantakan, konflik horizontal terjadi di masyarakat dalam bentuk pertentangan suku, agama dan antar golongan. Kejahatan jalanan berada pada tahap menyeramkan. Orang main hakim sendiri karena tak percaya lagi kepada aparat yang berwenang, penjahat yang tertangkap massa, tak cukup dipukul, tapi sering kali dibakar sampai mati.
Baca juga: Soal Pidato 2030 Indonesia Bubar, Prabowo: Jangan Anggap Enteng
Pada aspek ekonomi, kita menyaksikan utang yang terus melonjakmendekati Rp 4.000 triliun, liberalisasi sektor tenaga kerja dengan memberikan kemudahan pada tenaga kerja asing, serta keberpihakan yang semakin menjauh terhadap pelaku usaha kecil dan golongan ekonomi lemah. Impor seringkali menjadi pilihan pragmatis yang ditempuh untuk mengatasi persoalan.
Meskipun saat ini Indonesia tidak bisa disebut negara gagal. Namun, jika persoalan-persoalan yang mengemuka tersebut terus berlangsung hingga 5-10 tahun lagi, tidak tertutup kemungkinan Indonesia terjerumus menjadi failed state, dan perlahan-lahan menjadi collapsed state.
Pidato Prabowo beberapa waktu lalu sesungguhnya merupakan sebuah ikhtiar untuk mengajak semua elemen bangsa memikirkan perlunya membangun “backup systems” guna mengantisipasi kemungkinan Indonesia terjerumus menjadi collapsed state.
Dalam konteks ajakan Prabowo membangun backup systems tersebut, saya kira sudah saat kini, seluruh elite politik berusaha menghilangkan perbedaan, menyatukan pikiran dan tindakan sungguhsungguh untuk mencegah Indonesia menjadi seperti dibayangkan Singer dan Cole dalam novelnya: collapsed state.
Oleh: Desmon J Mahesa, Sekretaris Fraksi Partai Gerindra DPR RI