NUSANTARANEWS.CO – Isu perang dagang Amerika Serikat dan Cina mengemuka seiring dilantiknya Donald John Trump. Isu tersebut mencuat lantaran Trump berulang kali mengecam kebijakan dagang Cina. Trump juga sempat mengancam akan menghukum Beijing dengan menaikkan pajak impor menjadi 45 persen. Presiden ke-45 AS itu juga menuding Cina memanipulasi nilai mata uangnya untuk mengebiri daya saing produsen Amerika.
Tak sampai di situ, beberapa investor AS juga melaporkan kalau mereka merasa telah diperlakukan secara tidak adil di Beijing. Baru-baru ini, American Chamber of Commerce merilis survei tahunan yang menemukan bahwa empat atau lima perusahaan AS merasa kurang diterima di negara Tirai Bambu.
Penasehat Trump, Anthony Scaramucci menjelaskan, pemerintah Xi berubah lebih ke arah proteksionisme karena pertumbuhan ekonomi melambat. “Keprihatinan atas bisnis adalah penegakan peraturan yang tidak konsisten dan hukum tidak jelas. Aturan yang diadopsi dan ditafsirkan untuk mendukung perusahaan lokal daripada asing,” cetus Scaramucci.
Ia menilai, selama ini perusahaan-perusahaan AS yang beroperasi di Cina telah turut andil, mendukung secara partisipatif dan konstruktif perekonomian Cina. Tahun 2016, perekonomian Cina tumbuh 6,7 persen di tengah kelesuan ekonomi global.
Ke depan, AS masih ragu apakah Cina benar-benar akan membuka diri dalam perdagangan bebas seperti retorika Xi Jinping di Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss. Seperti diketahui, Cina tengah gencar mengkampanyekan globalisasi yang lebih inklusif guna menghadapi situasi perekonomian dunia yang resisten. Perdagangan tertutup justru akan mengasingkan suatu negara, dan hal itu bukan keinginan kita semua, kata Xi.
Perseteruan AS-Cina tentang perdagangan memicu akan munculnya isu perang dagang antar kedua negara. Sinyalemen itu semakin kuat menyusul dilantiknya Trump, dan di sisi lain Xi Jinping beberapa hari sebelumnya telah mengingatkan potensi perang dagang ini di forum Davos. Tidak ada pemenang ketika negara terlibat dalam perang dagang, kata Xi. Pasalnya, krisis keuangan sebetulnya lebih disebabkan oleh aksi saling mengejar keuntungan yang berlebihan. Komentar Xi ini jelas ditujukan kepada Trump yang telah berjanji akan menggunakan pendekatan proteksionis dalam menyikapi perdagangan dengan Cina. Sementara Cina sendiri sangat menolak dan melakukan berbagai cara untuk melawan proteksionisme.
Untuk itu, Cina sangat berkepentingan mempromosikan perdagangan dan investasi bebas. Syaratnya, tentu harus terbuka dan transaparan. Mengejar proteksionisme seperti mengunci diri di dalam sebuah ruangan gelap. Sementara angin dan hujan dapat disimpan di luar agar udara tetap terasa ringan, sindir Xi. Xi menyerukan kerjasama internasional untuk mengatasi masalah seperti kesenjangan pendapatan dan pemerintahan global yang tidak memadai.
Terlepas dari itu, menyikapi isu perang dagang AS-Cina Scaramucci menegaskan bahwa AS di bawah pimpinan Trump siap memenangkan perang dagang dengan Cina. Ia menegaskan, jika Cina memilih untuk melakukan pembalasan soal tarif impor itu, Cina hanya akan menghabiskan banyak biaya dan energi. Selain itu juga, Scaramucci menilai kesepakatan perdagangan saat ini lebih menguntungkan Cina daripada AS sehingga wajar kalau kemudian AS bersikap sedikit agak keras.
Menyikapi stetemen AS, Cina melalui Kementerian Perdagangannnya menyatakan siap bekerjasama dengan pemerintahan Trump demi mencapai keuntungan terbesar buat bisnis dan konsumen di kedua negara. (Sego/Er)