NusantaraNews.co, Jakarta – Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) telah kalah dalam laga pilkada di dua daerah strategis di Pulau Jawa yakni DKI Jakarta dan Banten. Kini PDIP sebagai partai berkuasa (the ruling party) dan pemenang Pemilu Legislatif (Pileg) 2014 dihadapkan pada tantangan yang tak kalah berat dalam menghadapi pilkada strategis di Jawa Timur dan Jawa Barat.
“Dengan mengusung Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di DKI dan Rano Karno di Banten yang tingkat elektabilitasnya yang sangat tinggi, semestinya PDIP dapat memenangkan kedua laga pilkada tersebut. Namun, kenyataannya PDIP tumbang dan gagal berkuasa di dua provinsi tersebut,” ujar Direktur Pusat Kajian Survei Opini Publik (PKSOP), Ziyad Falahi melalui pesan elektronik ke media massa, Jumat (9/11/2017).
Menurut PKSOP, marwah PDIP telah redup di DKI Jakarta dan Banten. Kini, marwah PDIP sebagai partai kader berbasis massa kembali dipertaruhkan di Pilkada Jawa Timur (Jatim) dan Jawa Barat (Jabar).
Ada perbedaan antara Pilkada Jatim dengan Pilkada DKI Jakarta yang mengusung kader PDIP yakni Djarot Saiful Hidayat sebagai Calon Wakil Gubernur berpasangan dengan Ahok sebagai Cagub, juga Pilkada Banten yang mengusung Rano Karno yang juga kader PDIP. Sementara di Pilkada Jatim, PDIP justru tak mengusung kadernya sendiri. Koalisi PDIP-PKB gagal melahirkan koalisi nasionalis-santri. Pasangan Saifullah Yusuf-Azwar Anas adalah pasangan santri-santri.
Padahal, Jatim adalah basis tradisional PDIP yang sangat kuat, dengan meraih kursi tertinggi 19 kursi di DPRD Provinsi hasil Pileg 2014, yang dapat mengusung kadernya sendiri berpasangan dengan salah satu calon yang beredar.
“Sebagai catatan, menurut hasil survei independepen yang kami buat terkait sikap kader dan massa akar rumput PDIP di Jawa Timur, menampilkan data kekecewaan, penolakan dan pembelahan secara diam-diam,” tutur Ziyad lagi.
Keputusan pimpinan PDIP yang tak mengusung kadernya sendiri dalam Pilkada Jatim diprediksi fatal dalam hasilnya nanti. Bahkan, kemungkinan bisa terjadi eksodus basis konstituen PDIP kepada calon penantangnya pasangan Saefullah-Anas.
Karena itu, marwah PDIP sebagai partai kader berbasis massa, akan kembali dipertaruhkan jika tak kembali mengusung kadernya sendiri maju dalam laga Pilkada di Jabar.
Jangan sampai keputusan mengusung calon Gubernur di Jawa Barat, lanjut dia, justru mengecewakan kader dan basis akar rumput dari PDIP seperti yang terjadi di Jatim, karena tak mengajukan kadernya sendiri.
Alumnus FISIP Unair tersebut menjelaskan, dengan jumlah tertinggi yakni 20 kursi di DPRD Provinsi Jabar, sangat aneh jika pimpinan PDIP justru tak mengajukan sendiri kadernya maju sebagai Calon Gubernur Jabar.
Siapapun calon yang diajukan PDIP dalam laga di Jabar tentu menjadi hak prerogatif dari pimpinan partai. Namun harus diingat, salah satu fungsi partai politik yang tak bisa diabaikan adalah melakukan kaderisasi.
“Untuk apa kaderisasi dilakukan oleh partai jika calon pimpinan daerah yang diajukan tak mempertimbangkan aspek kualifikasi sebagai hasil kaderisasi, hanya mempertimbangkan aspek popularitas semata, tanpa pertimbangan tujuan berpartai sebagai partai kader?” kritik pengamat politik yang menyelesaikan magister pascasarjana di UI.
Terkait angka elektabilitas yang tinggi yang jadi pertimbangan dalam memutuskan pasangan calon kepala daerah, dia mengingatkan, baik Anies Baswedan maupun Joko Widodo saat maju menjadi Calon Gubernur DKI Jakarta, justru berangkat dengan basis elektabilitas yang sangat rendah dibanding calon penantangnya.
“Karena itu, untuk menjaga marwah sebagai partai kader sekaligus untuk merawat basis konstituen dari PDIP, sangat menarik jika pimpinan PDIP mempertimbangkan mengajukan kadernya sendiri maju menantang Deddy Mizwar dan Ridwan Kamil di Pilkada Jabar,” pungkas Ziyad Falahi. (Rita/Namia)
Editor: Ach. Sulaiman