Opini

Pendidikan Politik Anti Golput dalam Keluarga

pendidikan politik, pendidikan anti golput, golput, golput pilkada, golput pemilu, angka golput, golput pilpres, golongan putih, nusantaranews
Golongan Putih (Golput). (Foto: Ilustrasi/Ist)

NUSANTARANEWS.CO – Keluarga harus melek politik, demokrasi dan sistem negara. Sebab, keluarga merupakan taman pendidikan pertama yang bisa mengedukasi anak-anak untuk menjauhi doktrin dan perilku golongan putih (Golput). Suksesnya pendidikan anak sangat ditentukan kemitraan Tri Sentra Pendidikan (keluarga, sekolah, masyarakat). Salah satunya peran keluarga untuk membangun generasi anti golput.

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengajak kepada masyarakat Indonesia untuk menyukseskan penerapan 8 fungsi keluarga. Mulai dari agama, sosial budaya, cinta kasih, perlindungan, reproduksi, sosialisasi dan pendidikan, ekonomi, lingkungan, serta pembentukan karakter sejak dini, untuk mewujudkan pelembagaan keluarga kecil, bahagia, dan sejahtera.

Konsepnya, menerapkan pendekatan keluarga berkumpul, berinteraksi, berdaya, serta peduli dan berbagi. Salah satu capaiannya di tahun politik ini adalah membangun generasi demokratis, yang bisa dimulai dengan mendidik anak-anak bebas dari golput.

Banyaknya kasus korupsi kolusi nepotisme (KKN) menjadikan mereka apatis bahkan “jijik” dengan politik, padahal hakikat politik itu suci. Agar tak menjadi generasi apolitis, anak-anak harus diberikan edukasi politik sejak dini. Tujuannya, agar Pancasilais, demokratis, melek politik, andil dalam pemilihan umum (Pemilu) baik Pileg, Pilpres dan Pilkada dan anti golput.

Baca juga: Pilkada Dimenangkan Kotak Kosong, Lalu?

Golput merupakan gerakan protes yang dipelopori aktivis mahasiswa dan pemuda pada 3 Juni 1971. Protes sebulan sebelum Pemilu pertama di era Orde Baru ini merupakan gerakan menolak menggunakan hak suara dalam proses demokrasi.  Lembaga pendidikan baik sekolah/kampus harus mendidik pelajar/mahasiswa agar anti golput.

Selain faktor minimnya pendidikan politik, golput merupakan protes dilatarbelakangi skeptisme dan ideologi. Benih politik kebangsaan dan demokrasi bisa dikuatkan lembaga pendidikan yang sasarannya kaum muda. Pemuda bukan sekadar penerus generasi tua, namun “penentu” masa depan bangsa termasuk politiknya.

Kesalahpahaman memahami politik menjadikan generasi muda tutup mata, telingga, golput, dan puncaknya “mengharamkan” praktik demokrasi. Politik sangat membutuhkan orang-orang bersih, jujur, cakap, melek politik, peduli sosial, dan ikhlas yang itu harus dimulai dari kaum muda. Golput menjadi indikator kemunduran demokrasi dan ciri bangsa frustasi dan “buta politik”. Golput juga menjadi kegagalan pendidikan dalam membangun karakter kebangsaan. Mentalitas luar pagar menjadikan pemuda inferior dan berpaham bukan bagian dari proses demokrasi.

Baca Juga:  Keingingan Zelensky Meperoleh Rudal Patriot Sebagai Pengubah Permainan Berikutnya?

Baca juga:

Kotak Kosong dan Ancaman Disintegrasi Bangsa (Bag. I)
Kotak Kosong dan Ancaman Disintegrasi Bangsa (Bag. II)

Politik merupakan jalan strategis memajukan bangsa yang harus diisi pemuda. Jika pemuda, termasuk anak-anak jijik dengan politik dan Golput, maka demokrasi kita tak bakal maju. Haryono (2014) berpendapat, jika kaum muda bersih tak memiliki mental memimpin, berpolitik, bernegara, maka demokrasi akan dikuasi asing, aseng, dan asong.

Penyakit Golput

Selain politik uang, golput menjadi musuh demokrasi yang harus diperangi. Modusnya, bisa faktor administrasi, bentuk protes, dan ideologi. Secara mendasar, yang paling dominan mendorong pemuda golput adalah faktor ideologi.

Munculnya doktrin Pancasila taghut, demokrasi sistem kafir, dan hormat bendera haram, mendorong pemuda apolitis. Salah satu output dari faham ini adalah golput yang harus diluruskan dengan pendidikan politik. Abu Nash Muhammad Al-Imam (2005) menyebut golput merupakan fenomena teologis. Golput erat dengan doktrin agama, paham teologi yang memandang keikutsertaan dalam Pemilu dan mengakui demokrasi adalah perbuatan dilarang agama. Intinya, terlibat dalam Pemilu adalah dosa. Doktrin seperti ini menjadikan generasi muda apolitis, antidemokrasi, dan inferior terhadap bangsanya sendiri.

Golput bukan hanya ancaman penyelenggara Pemilu seperti KPU-Bawaslu. Namun juga membahayakan bangsa Indonesia. Kita bisa berkaca pada Pemilu terdahulu. Dinamika golput sangat beragam dan harus diputus lewat pendidikan politik antigolput.

Data KPU menyebut, Pemilu 1955 golput sebesar 8,6 persen, tahun 1971 ada 3,4 persen, tahun 1977 ada 3,5 persen, 1982 ada 3,5, 1987 ada 3,6, 1992 ada 4,9 persen, 1997 ada 6.4 persen, dan Pemilu 1999 ada 7,3 persen.

Baca Juga:  Apa Arti Penyebaran Rudal Jarak Jauh Rusia Bagi Skandinavia?

Pada Pilpres 2004 putaran 1 ada 21,18 persen, putaran 2 ada 23,4 persen. Pileg 2004 15,93 persen, Pilpres 2009 ada 28,3 persen, Pileg 2009 29,3 persen, Pilpres 2014 ada 19,1 persen, Pileg 2014 ada 24,89 persen, Pilkada 2015 ada 30,86 persen. Pada Pilkada DKI 2017, ada 1,5 juta pemilih golput atau sekitar 23 persen.

Data tersebut bukan sekadar masalah angka kuantitatif. Namun erat kaitannya dengan penyebab golput, yaitu ideologi dan minimnya pendidikan politik. Apalagi, dalam Pemilu 2019 ada 196,5 juta pemilih. Dari jumlah itu 7,4 persen atau sekitar 14 juta pemilih generasi muda yang memiliki hak pilih pertama kalinya.

Jika tak ada edukasi politik anti golput, akan berbahaya bagi kelangsungan demokrasi. Pada Pilkada Serentak 2018 di 171 daerah juga menunjukkan angka golput masih tinggi. KPU menargetkan tingkat partisipasi pemilih dalam pilkada serentak 2018 bisa mencapai 77,5 persen. Namun, berkaca dari coblosan kemarin, target itu tampaknya sulit terealisasi.

Angka golput diprediksi masih tinggi. Indikasinya, tingkat kehadiran pemilih masih tergolong rendah. Bahkan, di sejumlah daerah, kehadiran pemilih ke tempat pemungutan suara (TPS) tak sampai 60 persen. Di Jawa Timur, partisipasi pemilih hanya ada di angka 62,23 persen dengan margin of error 1,33 persen. Demikian juga halnya di Jabar (67,83 persen) dan Sumatera Utara (68,54 persen). Ada juga yang masih lumayan seperti di Sulawesi Selatan (74,43 persen).

Jika anak-anak tidak dididik sejak dini untuk melek politik dan anti golput, maka tahun 2019 yang ada Pileg dan Pilpres akan berbahaya. Perlu pendidikan politik antigolput sebagai investasi menyuburkan ladang demokrasi.

Baca Juga:  Apakah Orban Benar tentang Kegagalan UE yang Tiada Henti?

Baca juga: Existing Kotak Kosong Kekurangan Energi

Edukasi Politik

Pendidikan politik antigolput menjadi investasi jangka panjang membangun generasi demokratis dan nasionalis. Perlu cetak biru edukasi politik yang bisa dilakukan. Pertama, penguatan pemahaman keluarga tentang pentingnya Pemilu dalam negara demokrasi. Jika orang tua melek politik, maka anak-anak akan paham dan mau menggunakan hak suaranya dalam momen pesta demokrasi.
Kedua, keluarga sebagai Tri Sentra Pendidikan bisa mengajarkan pendidikan politik dari cara-cara sederhana. Ibu sebagai agen politik kebangsaan bisa mengajarkan Pancasila, demokrasi, Pemilu dan sistem negara. Keluarga harus mengajarkan, mencoblos merupakan Pancasilais dan moralis.

Ketiga, sinergitas antara sekolah, keluarga, ormas, KPU, Bawaslu bahkan parpol untuk menggenjot pendidikan politik bersih di lingkungan keluarga. Keempat, Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) bertumpu pada kontribusi Tri Sentra Pendidikan. Selain mengajak berdemokrasi, orang tua wajib memberikan penguatan pendidikan politik bersih, santun, dan demokratis agar anak-anak benar-benar mendapat gizi demokrasi Pancasila dalam keluarga.

Bangsa ini sudah sepakat memilih sistem demokrasi sebagai cara berbangsa dan bernegara. Pemilu menjadi jalan wajib, suka atau tidak. Jika memilih golput, hukumnya haram hidup di Indonesia. MUI pada saat Ijtima Ulama di Sumatera Barat tahun 2009 lalu juga telah mengeluarkan fatwa haram golput.

Jika belum mendapat tiket mencoblos, anak-anak minimal berpedoman golput haram. Bagi yang sudah mendapat hak pilih harus mencoblos. Sebab, golput menjadi bentuk “pengkhianatan” terhadap bangsa ini. Jika ada generasi muda golput, tampaknya mereka “pura-pura” menjadi warga negara Indonesia.

Penulis: Hamidulloh Ibda, Tenaga Ahli Bidang Media KPU Jateng tahun 2014, Dosen dan Kaprodi PGMI STAINU Temanggung

Related Posts

1 of 3,050