NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Mencermati sejumlah penangkapan terhadap kubu oposisi, Budayawan Betawi, Ridwan Saidi, menyebutnya sebagai bentuk reaksi psikologis dari kubu petahana yang merasa akan kalah.
Ahli sejarah kelahiran 1942 itu menjelaskan, sejumlah penghadangan terhadap oposisi saat hendak melakukan kampanye di sejumlah daerah mengingatkannya akan situasi pemilu tahun 1973 silam.
Bedanya lanjut dia, saat itu tidak ada upaya penghadangan, namun secara gejolak sosial dinilai sama sama besar.
Baca Juga:
- Soal Kecurangan Pilpres, Fadli Zon: Laporkan Ke Publik Dulu
- Sering Berpidato, Budayawan Minta Prabowo Subianto Lebih Giat Lagi Sampaikan Tentang Peradaban
- Penetapan Tersangka Ketua Alumni 212 Dinilai Wujud Nyata Kepanikan Jokowi
“Saat itu, saya sebagai Kepala Kampanya PPP 1972 hingga 1973, kondisinya nggak seperti sekarang ini,” kata Ridwan Saidi di acara diskusi publik, di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (12/2/2019).
Mengenai sejumlah penghadangan terhadap kubu oposisi, Ridwan Saidi menyebutnya sebagai kepanikan kubu petahana.
Hal ini dipicu karena trend elektabilitas kubu petahana yang dinilainya cenderung terus menurun. Sehingga lanjut dia, ada upaya yang disengaja dengan mencari cari kesalahan kubu oposisi.
“Ini adalah psikologi orang yang mengerti akan kalah. Jadi lihatlah reaksi mereka, sangat tidak terpelajar dalam berbicara. Seharusnya mereka juga tidak perlu menangkapi saudara-saudara kita,” paparnya.
Menurut Ridwan, dalam pertandingan kalah menang itu adalah hal yang lumrah dan lazim terjadi.
“Jangan sampai nanti Komnas HAM internasional berpandangan negatif terhadap perpolitikan di Indonesia,” ujarnya.
Sebagai informasi, baru baru ini salah satu pendukung oposisi yakni Ketua Umum Persaudaraan Alumni 212, Slamet Ma’arif telah ditetapkan sebagai tersangka oleh pemerintah, atas dugaan pelanggaran kampanye.
Pewarta: Romandhon
Editor: M. Yahya Suprabana