Budaya / SeniKhazanahKreativitas

Pameran Seni Rupa Mongso Rumongso, Refleksi Di Tengah Zaman Kontestasi

Patung karya Erica Hestu Wahyuni. (FOTO/Istimewa)
Patung karya Erica Hestu Wahyuni. (FOTO/Istimewa)

NUSANTARANEWS.CO, Yogyakarta – Memasuki dekade dua abad ini, Indonesia menghadapi transformasi dalam berbagai bidang, baik kenegaraan, kebangsaan, maupun sosial-budaya. Transformasi tersebut pada satu sisi melahirkan tatanan negara-bangsa yang lebih terbuka, demokratis dan tidak sentralistik dibanding masa sebelumnya.

Demikian disampaikan Faisal Kamandobat selaku penulis sekaligus kurator pameran seni rupa Mongso Rumongso yang akan diselenggarakan hari ini, Selasa (27/11/2018) di Indie Art House, Nitiprayan, Yogyakarta.

“Namun, di sisi lain transformasi tersebut juga melahirkan praktik kontestasi, rivalitas dan bahkan konflik antara pusat-daerah, kelompok agama dan sosial-budaya lainnya. Persoalan tersebut semakin membesar hingga berskala nasional dengan adanya media digital dan praktik politik yang jauh memasuki doain sosial, budaya dan keagaamaan,” kata Faisal dikutip dari keterangan resminya.

Fenomena di atas, lanjut Faisal, membuat persoalan kita menjadi tumpang-tindih, di mana problem politik menjadi problem sosial-budaya dan sebaliknya, karena alih-alih membatasi persoalan yang dilakukan justru memperluas dan memperdalam persoalan tersebut sehingga terjadi involusi atau perumitan di berbagai dimensi kenegaraan dan kebangsaan kita.

“Informasi bohong dan palsu (hoax and fake news) yang meningkat volume dan skalanya setiap kali Pemilu telah memperkeruh tata nilai dan moralitas sehingga masyarkat sulit membedakan baik dan buruk serta benar dan salah, kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah dan figur-figur teladan, bahkan tidak sedikit yang mengalami keterbelahan sosial dengan kerabat, sahabat, tetangga dan koleganya,” jelas penyair dan peneliti masalah sosial-budaya dari Abdurrahman Wahid Centre Universitas Indonesia itu.

Baca Juga:  Pencak Silat Budaya Ramaikan Jakarta Sport Festival 2024

Sebagai bentuk keprihatinan terhadap persoalan di atas, tiga seniman dari Yogyakarta, masing-masing Erica Hestu Wahyuni, Bambang Heras dan MA Roziq menyelenggarakan pameran seni rupa dengan tajuk Mongso Rumongso; mongso berarti “masa”, “keadaan” atau “zaman”, sedang rumongso berarti “merasa diri” atau “unjuk diri”.

Dengan demikian, judul Mongso Rumongso merujuk pada masa, keadaan dan zaman yang penuh dengan kontestasi dan rivalitas antar kelompok dengan memamerkan simbol dan kekuatan kelompoknya di hadapan yang lain. Sebuah masa atau kedaaan di mana ego dipuja sedemikian rupa sehingga manusia kehilangan kerangka etika, moral dan formula sosio-kultural untuk hidup bersama dengan segala berbedaan dan keunikannya.

Batik Erica Hestu Wahyuni. (FOTO/Istimewa)
Batik Erica Hestu Wahyuni. (FOTO/Istimewa)

“Di tengah situasi demikian kita perlu kembali pada nilai-nilai tradisi kita yang telah teruji selama berabad-abad membentuk harmoni sosial dari bangsa Indonesia yang kosmopolitan,” ujar Erica Hestu Wahyuni.

Di luar kebiasaanya, Erica memamerkan beberpa karya batik— jenis seni rupa yang paling dini dikenalnya lewat tradisi keluarga sebelum kuliah di Insitut Seni Indonesia dan Rusia—masing-masing berjudul Sari Barokah, Jago Woh Apel, Gajah Samudera dan Muru Naga. Sealin batik, ia juga bereksperimen dengan patung logam berupa figur-figur bintang-binatang yang naif dan bersahabat sebagaimana dalam lukisan-lukisannya.

Baca Juga:  LANAL Nunukan Berhasil Lepaskan Jaring Yang Melilit KM Kandhega Nusantara 6

Bagi Erica, dalam batik terdapat sejumlah pola dan motif yang beragam dan penuh harmoni. Bangsa Indonesia bisa belajar dari tradisinya tersebut untuk dikembangkan sebagai etika sosial di masa yang penuh kontestasi diri dan antar kelompok seperti sekarang ini.

Lukisan Tinta Bambang Heras. (FOTO/Istimewa)
Lukisan Tinta Bambang Heras. (FOTO/Istimewa)

Berbeda dengan Erica, perupa Bambang Heras yang dikenal piawai mengolah medium tinta memamerkan lukisan-lukisan figuratif dari alam bawah sadar yang tampil layaknya “teror mental”. Karya-karyanya berupa wajah-wajah manusia dan binatang yang ganjil dan misterius, masing-masing berjudul Wajah-wajah waktu, Eling lan Waspodo dan Kontemplasi.

Dengan karyanya itu, Heras sedang menggambarkan kedaaan bangsa ini yang sudah tidak mampu mengenali gejolak mentalnya. Pesan tersebut dipertegas dengan pendekatan teknik lukisnya yang berlapis-lapis dan fragmentatif sebagai metafor dari involusi dan kerumitan yang telah teramat dalam, sehingga untuk mengurainya diperlukan penyadaran dari berbagai kalangan.

Jika Erica menawarkan pentingnya tradisi dan Heras menekankan perlunya “operasi mental”, M.A. Roziq mengajak kita melakukan refleksi diri di tengah kondisi sosial saat ini. Ia mengolah sampah cat menjadi konstruksi modern yang solid dan kokoh, sama sebagaimana realitas modernitas kita yang tunggal, formal dan baku. Namun, manakala konstruksi tersebut dibedah terdapat beragam warna, karakter dan entitas sebagai metafor dari keniscayaan kita yang plural dan kosmopolit.

Baca Juga:  Ketum APTIKNAS Apresiasi Rekor MURI Menteri Kebudayaan RI Pertama

Judul dari karya-karyanya, seperti Deep Revealed 1 & 2, Green in Roses dan Years and Note dengan gambalang menunjukkan hal itu. Modernitas dengan agenda rasionalisasi, ekonomisasi dan penuggalan di berbagai bidang termasuk terhadap budaya dan agama, telah menimbulkan persoalan manakala dipaksakan terhadap keniscayaan umat manusia yang beragam. Di sinilah pesan MA Roziq menjadi relevan dan perlu didengar.

Instalasi M.A. Roziq. (FOTO/Istimewa)
Instalasi M.A. Roziq. (FOTO/Istimewa)

Lebih lanjut Faisal menjelaskan, ketiga pameran tersebut, dengan penekanan ide, bentuk dan materialitasnya, menawarkan perlunya pengembangan etika dan moralitas dari nilai-nilai tradisi sebagaimana dilakukan Erica, melakukan diagnosa terhadap keadaan mental yang gelap hingga melahirkan perilaku dan tindakan sosial yang destruktif seperti dilakukan Heras, dan melakukan refleksi dengan membedah wajah kita yang tunggal untuk menemukan kedalamannya yang beragam baik secara psikologis, kultural dan sosial.

“Pesan-pesan tadi hadir di tengah kita dalam berbagai karya seni dengan bentuk dan konsep masing-masing, namun menjadi kesatuan, kekuatan dan kedalaman pesan, baik di dalam galeri maupun di ruang batin kita masing-masing, demi mengetahui batas dan menemukan selaras dalam berpikir dan bertindak dalam kehidupan yang beragam,” tandas Faisal.

Pewarta: Roby Nirarta
Editor: M. Yahya Suprabana

Related Posts

1 of 3,148