HukumPolitikTerbaru

Noda Hitam Penegakkan Hukum Era Jokowi: Gemar Penjarakan Lawan Politiknya

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Salah satu noda hitam penegakkan hukum di Indonesia sepanjang tahun 2017 adalah kasus Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Mantan Gubernur DKI Jakarta pengganti Jokowi ini tampak sangat diistimewakan pemerintah, dibela mati-matian, bahkan mungkin ada rela bertaruh nyawa supaya Ahok selamat dari jeratan hukum setelah diduga menista ajaran Islam.

“Lalu lihat kini sesudah Ahok menjadi terpidana. Apakah seorang narapidana boleh ditempatkan di Rutan? Sesuai aturan, karena terbatasnya jumlah Rutan di Indonesia, yang boleh dilakukan sebenarnya hanyalah menjadikan Lapas sebagai Rutan, dan bukan sebaliknya. Jika ada kondisi tertentu yang mengharuskan seorang terpidana perlu dipindahkan dari sebuah Lapas, yang bersangkutan hanya bisa dipindahkan dari satu Lapas ke Lapas lainnya, dan bukan dipindah dari Lapas ke Rutan,” katanya. Tapi kenapa aturan tersebut tak berlaku untuk terpidana Basuki (Ahok)?! Inilah salah satu noda hitam dalam penegakkan hukum sepanjang tahun 2017,” kata Fadli Zon, Jakarta, Sabtu (30/12/2017).

Baca Juga:  Viral!!! Wartawan Geruduk SMAN 01 Tulungagung Ketua AWASI Angkat Bicara

Politisi Partai Gerindra ini mengatakan, noda hitam lainnya adalah upaya kriminalisasi terhadap lawan-lawan politik pemerintah, apakah dengan tuduhan penyebar hoax, hate speech, dan sebagainya. Perlakuan diskriminatif dan upaya kriminalisasi itu bisa kita lihat dari perlakuan penegak hukum dalam menggunakan pasal yang ada di Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). UU ITE kerap digunakan untuk menekan mereka yang berseberangan dengan pemerintah.

“Coba catat siapa saja yang menjadi tersangka dengan delik-delik tadi?! Pada tahun 2017, ada beberapa orang yang pernah dijerat dengan UU ITE antara lain Rijal, Jamran, Jonru, Faisal Tonong, Ahmad Dhani, Asma Dewi, Buni Yani. Semuanya adalah mereka yang selama ini berbeda haluan politik dengan pemerintah. Tidak ada ‘buzzer istana’ yang pernah diperiksa polisi,” katanya.

Fadli heran, aparat hukum cepat sekali memproses hukum mereka yang menjadi oposan pemerintah, termasuk para ulama yang kritis, seperti KH Al Khathath. Namun, publik bisa melihat jika aparat kita hingga kini masih belum menyentuh orang-orang seperti Nathan, Viktor, misalnya. Ini contoh diskriminasi dan tebang pilih yang bisa merusak wibawa hukum. Belum lagi contoh tuduhan makar yang hingga kini tak jelas juntrungannya.

Baca Juga:  Petakan dan Mitigasi Daerah Bencana, Inilah Cara Bupati Terpilih Gus Fawait Wujudkan Jember Baru

“Di sisi lin, kasus Asma Dewi dan Saracen, misalnya, saat awal muncul dulu diekspose bombastis, bahkan ekspose kasus itu menurut saya melampaui fakta-fakta yang telah ditemukan polisi. Nama itu dikaitkan dengan Prabowo dan sebagainya, seolah ini adalah sejenis jaringan iluminasi. Namun, saat persidangan akhir November 2017 kemarin, tak ada lagi kata Saracen dan tuduhan transfer dana yang katanya besar dalam berkas tuntutan jaksa di pengadilan kepada Asma Dewi,” jelasnya.

“Jadi, siapa sebenarnya yang gemar memproduksi hoax? Bagi saya itu adalah kasus yang memalukan dan mempermalukan aparat penegak hukum sendiri,” tukasnya.

Menurutnya, pemerintah seharusnya menyadari bahwa keadilan merupakan hal penting dalam kehidupan bernegara. Bahkan, keadilan hukum merupakan syarat fundamental bagi terwujudnya kesejahteraan. Persoalannya, keadilan hukum ini bisa hilang jika aparat penegak hukum kita bekerja berdasar kepentingan tertentu atau pesanan. Rusak sistem hukum kita.

“Aparat penegak hukum seharusnya menjunjung tinggi profesionalisme dan integritas. Karena di pundak merekalah wibawa hukum diletakkan. Semoga catatan hitam dunia hukum di tahun 2017 ini tak berlanjut di tahun depan,” tutupnya. (red/uck)

Baca Juga:  Kontrakdiksi Politisasi Birokrasi dan “Good Governance”

Editor: Eriec Dieda

Related Posts

1 of 10