Hukum

2 Fatwa MUI Bikin Ahok dan Meiliana Masuk Penjara

penodaan agama, penistaan agama, ahok, meiliana, mui, fatwa mui, nusantaranews
Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Meiliana sama-sama dihukum karena kasus penistaan agama. (Istimewa)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Majelis Ulama Indonesia (MUI) merupakan lembaga yang menaungi ulama dan cendekiawan Islam di Indonesia dan bertugas sebagai pengawal bagi penganut agama Islam. MUI sering menerbitkan fatwa terkait masalah keagamaan dan kemasyarakatan. Namun, fatwa MUI tersebut kadang kala menuai pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat, bahkan ada yang berujung pada jeruji besi penjara.

Pertama, MUI Pusat menerbitkan fatwa MUI pada 11 Oktober 2016, berupa pendapat dan sikap keagamaan MUI terkait penistaan agama oleh Basuki tjahaja Purnama alias Ahok. MUI Pusat menyatakan bahwa Ahok menghina Alquran dan atau menghina ulama yang memiliki konskuensi hukum.

Baca juga: PBNU: Mengatakan Suara Adzan Terlalu Keras Bukan Penistaan Agama

Kasus ini bermula dari pernyataan Ahok “dibohongin pakai Surat Al-Maidah 51” di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu pada 27 September 2016 silam sehingga Ia menjadi bulan-bulanan sebagian besar umat Islam. Kasus tersebut memunculkan isu SARA mengingat Ahok merupakan non muslim dan keturunan Tionghoa.

Baca Juga:  Terkait Dugaan Pungli di Sekolah, PPWI Inhil Soroti Sikap Kadisdik dan Pemkab Inhil yang Memble

Fatwa MUI atas pernyataan Ahok memunculkan gelombang Aksi Bela Islam 212 dan 411 yang diikuti lebih dari tujuh juta massa aksi. Akibatnya, Ahok mengalami kekalahan di pemilihan gubernur 2017 dan mendekam di penjara selama 2 tahun berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Majelis hakim menyatakan Ahok terbukti melakukan tindak pidana Pasal 156a KUHP.

Baca juga: Kementerian Agama Edarakan Aturan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar dan Mushola

Kedua, Meiliana, warga Tionghoa Tanjung Balai, Medan tertunduk dan menangis setelah diganjar hukuman 18 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Medan pada 21 Agustus 2018 dengan tuduhan penistaan agama. Menurut Majelis Hakim, Meiliana terbukti melanggar Pasal 156 a KUHP atas perbuatan mengeluhkan volume adzan.

Kasus tersebut berawal dari protes Meiliana kepada Kasidik, seorang nazir masjid pada 29 Juli 2016. Kasidik menyampaikan protes tersebut kepada jamaah masjid setelah sholat maghrib. Kemudian jamaah masjid, imam masjid dan pengurus Badan Kemakmuran Masjid (BKM) mendatangi rumah Meiliana hingga berujung perdebatan sehingga Meiliana dibawa ke Kelurahan Tanjung Balai Kota 1 dan Polsek Tanjungbalai untuk dimediasi.

Baca Juga:  Penutupan Tahun IG 2024 & Launching Tahun Hak Cipta & Desain Industri 2025: DJKI Catat Kenaikan Permohonan

Baca juga: Meliana Korban Kebencian Umat Muslim Terhadap Akrobat Politik Ahok dan Jokowi di Metropolitan

Buntut dari kasus tersebut, terjadi penyerangan Vihara Tri Ratna dan Kelenteng Dewi Samudra. Setidaknya terdapat tiga vihara, 8 kelenteng, satu tempat pengobatan, dua yayasan Tionghoa dan rumah Meiliana dirusak.

Atas kasus tersebut, Komisi Fatwa MUI Provinsi Sumatera Utara menerbitkan Keputusan Nomor: 001/KF/MUI-SU/I/2017 tanggal 24 Januari 2017 tentang Penistaan Agama Islam oleh Meiliana di Kota Tanjungbalai. Fatwa tersebut terbit setelah Komisi Fatwa MUI Provinsi Sumatera Utara menyelenggarakan rapat pada 3-24 Januari 2017 yang dihadiri oleh pakar bahasa dan hukum. Fatwa MUI inilah yang menjadi dasar bagi Kepolisian melanjutkan proses hukum, Jaksa mengajukan tuntutan 18 bulan penjara dan PN Medan mengganjar Meiliana dengan putusan 18 bulan penjara. (ftk/eda)

Editor: Novi Hildani

Related Posts

1 of 3,128