HukumKolom

Kasus Penodaan Agama Oleh Ahok Paling Disorot Tahun 2017 (Catatan Hukum Akhir Tahun)

NUSANTARANEWS.CO – Di tahun 2017 banyak kasus-kasus hukum yang terjadi yang mendapat sorotan masyarakat, antara lain Kasus Pembunuhan Wayan Mirna Salihin dan Kasus Penistaan Agama Basuki Cahaya Purnama.

Kasus Penodaan Agama Basuki Tjahaya Purnama

Kasus Penodaan Agama Basuki Tjahaya Purnama adalah kasus yang paling banyak mendapat sorotan di tahun 2017. Basuki cahaya Purnama alias Ahok telah dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana Penodaan Agama oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara melalui putusan nomor 1537/Pid.B/2016/PN.Jkt.Utr tanggal 9 Mei 2017.

Salah satu yang menarik dari kasus ini untuk dikaji adalah tuntutan Penuntut Umum menyatakan dakwaan alternatif pertama (pasal 156 a) tidak tepat diterapkan dalam perkara ini, karena tidak adanya unsur niat pada diri Terdakwa, sehingga Penuntut Umum menuntut Terdakwa dengan dakwaan kedua yaitu menyatakan terdakwa Ir. Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok terbukti bersalah melakukan tindak pidana di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu golongan rakyat Indonesia, sebagaimana diatur dalam pasal 156 KUHP dalam dakwaan alternatif kedua.

Mengenai dakwaan kedua ini, Pengadilan tidak sependapat dengan Penuntut Umum, karena persoalan niat adalah persoalan hati, oleh karena itu untuk menilai apakah Terdakwa ada niat atau tidak untuk menghina surat Al Maidah 51, maka Pengadilan akan melihat dan menilai kondisi-kondisi yang meliputi saat Terdakwa melakukan perbuatannya tersebut.

Salah satu pertimbangan Pengadilan berkaitan adanya niat adalah bahwa Terdakwa adalah pejabat publik, Gubernur DKI Jakarta, dan sebagai seorang pejabat publik tentu Terdakwa mengetahui kalau selama ini persoalan yang menyangkut agama adalah persoalan yang sensitif, yang mudah menimbulkan gesekan antar umat beragama, karena persoalan agama adalah persoalan iman, persoalan rasa dan keyakinan, oleh karena itu apabila Terdakwa ingin membicarakan persoalan yang terkait dengan agama, seharusnya Terdakwa berusaha untuk menghindari penggunaan kata-kata yang bersifat merendahkan, melecehkan atau menghina suatu agama sebagaimana yang dimaksud dalam penjelasan pasal 4 huruf a Penetapan Presiden nomor 1 tahun 1965.

Zainal Abidin Farid berpendapat bahwa unsur actus reus yaitu perbuatan harus didahulukan. Setelah diketahui adanya perbuatan pidana sesuai rumusan delik yang diatur dalam undang-undang, barulah diselidiki sikap batin pelaku atau mens rea.

Pendapat Pengadilan dalam putusannya mengenai unsur dengan sengaja dimuka umum, dan adanya unsur niat untuk melakukan perbuatan penodaan agama, Pengadilan telah menemukan fakta hukum yang dikaitkan dengan isi dari pidato Terdakwa di muka umum, sehingga unsur sengaja dan adanya niat melakukan perbuatan penodaan agama menurut Pengadilan terbukti.

Baca Juga:  UKW Gate Tak Tersentuh Media Nasional

Kasus Pembunuhan Wayan Mirna Salihin atau Kasus Sianida

Kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin adalah kasus pidana biasa, yang sudah jelas unsur-unsur deliknya didalam KUHP. Kasus ini menjadi besar karena disiarkan langsung oleh televisi dan menghadirkan banyak saksi ahli bahkan melibatkan saksi ahli dari luar negeri yang membutuhkan biaya besar dan jalannya proses pemeriksaan dipersidangan menjadi panjang, ditambah lagi demo dari masyarakat yang pro dan kontra, dan juga pembentukan opini didunia maya.

CCTV Sebagai Alat Bukti

Kasus Pembunuhan Wayan Mirna Salihin yang lebih dikenal dengan kasus sianida Jessica, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah memvonis Jessica Kumala Wongso 20 tahun penjara. Pertimbangan Penghadilan memvonis Jessica berdasarkan alat bukti berupa CCTV, meskipun CCTV ini dipersoalkan oleh Tim Penasihat Hukum Jessica, tetapi CCTV ini sering digunakan oleh Penegak Hukum untuk mengungkap kejahatan yang dikaitkan dengan bukti-bukti lain. Penggunaan CCTV sebagai alat bukti diatur dalam Pasal 5 dan Pasal 44 Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dengan adanya undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 maka penggunaan CCTV sebagai alat bukti sah secara hukum.

Lalu bagaimana dengan tidak adanya otopsi yang dipersoalkan oleh Tim Penasehat Hukum dan telah dijelaskan oleh saksi ahli Mudzakkir. Menurut penulis otopsi adalah upaya medis untuk mengetahui penyebab kematian. Kewajiban otopsi hanya diatur dalam peraturan Kapolri tidak diatur dalam KUHAP, sehingga tidak mengikat Majelis Hakim. Hasil pemeriksaan forensik dari Puslapor Mabes Polri ditemukan adanya sianida didalam tubuh korban Mirna, hal ini yang diyakini oleh Pengadilan sebagai penyebab kematian Mirna meskipun tanpa otopsi.

Bukti lain yang dijadikan pertimbangan Pengadilan adalah Keterangan saksi Ahli. Keterangan ahli sebagai salah satu alat bukti diatur dalam pasa 184 ayat (1) KUHAP. Berapapun jumlah keterangan saksi ahli yang dihadirkan dalam persidangan, Pengadilan hanya akan mempertimbangkan saksi ahli yang diyakini kebenarannya dikaitkan dengan bukti-bukti lainnya. Dalam kasus Jessica, Ahli toksikologi forensik Nursamran Subandi menjelaskan jumlah sianida yang masuk kedalam tubuh Mirna melewati dosis mematikan, namun yang ditemukan sedikit karena sudah mengalami penyerapan oleh usus dan menguap didalam lambung saat sianida bertemu asam lambung.

Fakta Persidangan

Mengenai fakta persidangan ada Advokat yang bertanya kepada penulis mengapa fakta persidangan berupa keterangan saksi yang sudah diajukan Penaset Hukum tidak dipertimbangkan untuk membebaskan terdakwa, dan yang lebih menarik lagi Penasihat Hukum Jessica berpendapat Hakim telah mengabaikan fakta persidangan, sedang disisi lain Penuntut Umum berpendapat Majelis Hakim memutus perkara berdasarkan fakta persidangan, lalu apa sebenarnya yang dimaksud dengan fakta persidangan ?

Baca Juga:  Gelar Aksi, FPPJ Jawa Timur Beber Kecurangan Pilpres 2024

Didalam sidang Pengadilan tugas seorang Advokat atau Penasihat Hukum Terdakwa, dan Jaksa Penuntut Umum, serta Majelis Hakim mempunyai muara yang sama yaitu mencari kebenaran materiil. Untuk mencari kebenaran meteriil KUHAP memberikan ruang persidangan yang disebut Pembuktian. Pasal 184 KUHAP mengatur alat pembuktian yang sah yaitu : keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Dalam perkembangan hukum acara pidana di Indonesia, alat bukti yang diatur dalam pasal 184 KUHAP diperluas sebagaimana bunyi Pasal 5 ayat (1) undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang menyatakan : “informasi Elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah”, ayat (2) berbunyi : “informasi Elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia”. Pasal 44 UU ITE menegaskan “alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan disidang pengadilan menurut ketentuan undang-undang ini adalah sebagai berikut : a. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan perundang-undangan; dan b. Alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 4 serta pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).

Di dalam persidangan pengadilan, Penuntut Umum membuktikan kesalahan Terdakwa, Penasihat Hukum membuktikan ketidaksalahan Terdakwa, dan Majelis Hakim yang akan menilai dan mempertimbangkan bukti dari Penuntut Umum maupun Terdakwa dan Penasihat Hukumnya. Rangkaian bukti yang diajukan dalam persidangan itulah yang oleh para Advokat dan Penuntut Umum disebut dengan fakta persidangan. Fakta persidangan yang bagaimana yang dijadikan dasar oleh Majelis Hakim dalam memutus perkara ?

Meskipun yang dicari oleh Terdakwa, Penasihat Hukum dan Penuntut Umum adalah kebenaran meteriil, sering alat-alat bukti yang diajukan para pihak terjadi benturan, bahkan keterangan saksi Ahli yang dihadirkan dipersidangan antara saksi ahli dari Penuntut Umum dengan saksi ahli yang dihadirkan oleh Penasihat Hukum sering bertolak belakang. Hal ini dapat terjadi apabila saksi ahli yang dihadirkan oleh Penasihat Hukum terdakwa membawa pesan untuk meringankan terdakwa, mahalnya biaya saksi ahli membuat saksi ahli tidak obyektif lagi dalam memberikan keterangan atau keterangannya sudah digiring untuk menghapuskan pidana Terdakwa. Ada juga saksi ahli yang menerangkan apa adanya sesuai dengan keahliannya, biasanya saksi ahli ini hadir tidak membawa pesan untuk meringankan atau memberatkan terdakwa, kehadirannya memberikan keterangan sebagai ahli hanya untuk membuat terang suatu peristiwa pidana atau delik pidana atas kasus yang sedang disidangkan.

Baca Juga:  Korban Soegiharto Sebut Terdakwa Rudy D. Muliadi Bohongi Majelis Hakim dan JPU

Fakta Hukum

Dalam proses persidangan Majelis Hakim diberi kewenangan oleh undang-undang untuk menilai alat-alat bukti yang diajukan oleh Penuntut Umum dan Penasihat Hukum, apakah alat bukti tersebut memenuhi syarat formil dan materil, apakah relevan dengan peristiwa atau delik pidana yang didakwakan, apakah mempunyai kekuatan pembuktian dengan delik yang didakwakan ?. Semua alat-alat bukti yang diajukan dalam persidangan, tidak serta merta menjadi fakta hukum.

Penuntut Umum dan Penasihat Hukum berhak untuk mengajukan seluruh alat bukti dalam persidangan, yang oleh mereka disebut fakta persidangan, tetapi apakah fakta persidangan tersebut menjadi fakta hukum ?, tidak semua alat bukti yang diajukan dalam persidangan menjadi fakta hukum. Pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk menilai alat-alat bukti tersebut. Setiap alat bukti tidak mempunyai kekuatan yang sempurna dan mengikat, sehingga Pengadilan mempunyai kebebasan untuk menilainya.

Untuk menentukan apakah suatu alat bukti dalam persidangan dapat membenarkan suatu delik atau peristiwa pidana, maka dalam banyak teori dikenal beberapa sistem pembuktian, antara lain conviction intime yaitu pembuktian yang didasarkan pada keyakinan Hakim, conviction raisonee yaitu pembuktian yang didasarkan pada alasan yang rasional. Semua alat bukti yang diajukan oleh Penuntut Umum dan Penasihat Hukum berupa keteragan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa akan diteliti dan dinilai kebenaranya oleh Majelis Hakim. Bukti yang diyakini kenaran oleh Hakim inilah yang akan menjadi fakta hukum. Selanjutnya Majelis Hakim akan mengkualifisir fakta hukum tersebut dan menghubungkan dengan unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan.

Dalam kasus Jessica rekaman CCTV merupakan bukti awal yang bersesuaian dengan bukti lain. Apabila kita menyaksikan rekaman CCTV terlihat Jessica meletakkan peperbag diatas meja yang menutupi kopi tersebut. Mirna baru tiba di kafe pukul 17.18, sementara Agus Triono sudah mengantar minuman kemeja Jessica nomor 54 pukul 16.23, ini tentu tidak lazim, tamu yang diundang belum datang minuman sudah tersedia. Dari peristiwa tersebut Majelis Hakim mendapatkan fakta hukum Jessica satu-satunya orang yang diduga melakukan sesuatu terhadap kopi Mirna.

Hal penting yang jadi pertimbangan Hakim dalam memutus perkara adalah hati nurani dan keyakinan Majelis Hakim bahwa terdakwa benar bersalah yang dikaitkan dengan fakta hukum yang terungkap dalam persidangan. (Rilis Pres Antara)

Penulis: Priyanto, S.H.,M.H, (Advokat)

Related Posts

1 of 12