NUSANTARANEWS.CO, Riyadh – Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi, Agus Maftuh Abegebriel merasa terpukul atas dijalankannya prosesi hukuman mata terhadap buruh migran asalah Bangkalan, Indonesia, Muhammad Zaini Misrin Arsyad di Mekkah. Sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap warga Indonesia yang ada di Arab Saudi, Agus Maftuh menulis curahan pribadi untuk Zaini meski itu tak akan pernah dibaca oleh almarhum.
Curahan cukup panjang yang diakhir dengan permintaan maaf kepada Zaini (alm) dijadikan tulisan pembhuka dari narasi panjang yang memaparkan kronologi ikhtiar-ikhtiar KBRI untuk Arab Saudi guna membebaskan Zaini Misrin dari hukuman mati yang dilaksanakan pada Ahad (18/3/2018).
Baca: Surat Cinta Agus Maftuh: Kang Zaini, Kami tak Kuasa Merangkai Takdirmu
Berikut ini narasi panjang yang menjelaskan hal ihwal dan alur upaya KBRI untuk Arab Saudi dan juga pemerintah Indonesia dalam membebaskan Zaini dari hukuman mati, yang disiarkan melalui akun facebook Agus Maftuh Abegebriel, dari Riyadh, 22 Maret 2018 (Dini hari):
Sebagai pelayan WNI di Arab Saudi, Kami Garda Depan Diplomasi Indonesia berkewajiban memaparkan ikhtiar-ikhtiar kami sebagai bentuk pertanggungjawaban publik agar bisa difahami sebagai berikut:
1. Presiden Joko Widodo memberikan perhatian sangat serius terhadap kasus hukuman mati WNI atas nama Muhammad Zaini Misrin Arsyad (MZMA) yang dituduh telah membunuh majikannya Abdullah bin Umar bin Muhammad Al Sindy pada tahun 2004 (14 tahun lalu). Presiden Joko Widodo telah melakukan extra-ordinary action dengan mengirim dua surat ke Khadimul Haramain, Raja Salman bin Abdulaziz. Pertama pada Januari 2017, menjelang kunjungan bersejarah Khadimul Haramain, Raja Salman bin Abdul Aziz ke Indonesia, Presiden Rl Joko Widodo mengirimkan surat permintaan penundaan eksekusi atas putusan pengadilan yang menjatuhkan hukuman mati (qisas) kepada WNI Muhammad Zaini Misrin Arsyad. Kedua, Pada Oktober 2017, Presiden Joko Widodo kembali mengirimkan surat yang sangat panjang (tiga lembar kertas A4 dengan 1 spasi) yang intinya:
Pertama, Menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada Khadimul Haramain atas perhatian dan perkenannya memberikan tanggapan terhadap surat Presiden RI yang meminta penundaan eksekusi terhadap WNI MZMA.
Kedua, meminta agar proses hukum terhadap MZMA dapat ditinjau kembali dengan maksud memberikan kesempatan tambahan kepadanya untuk menggunakan hak pembelaan dirinya secara maksimal.
Kedua surat Presiden RI ini mendapatkan respon yang positif dari Khadimul Haramain. Respon pertama pada Mei 2017, Khadimul Haramain menerbitkan Dekrit Raja perihal penundaan eksekusi hukuman mati (qisas) terpidana MZMA selama 6 (enam) bulan. Sementara respon kedua pada Januari 2018, Khadimul Haramain kembali menerbitkan Dekrit Raja tentang penundaan eksekusi hukuman mati (qisas) terpidana MZMA selama 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal 11/01/2018 guna memberikan kesempatan untuk memaksimalkan upaya perdamaian, dengan catatan apabila tidak tercapai perdamaian maka eksekusi akan dilaksanakan sesuai dengan amar yang tercantum dalam putusan.
2. Penundaan tersebut menunjukkan perhatian serius di level tertinggi terhadap kasus MZMA, baik Presiden Joko Widodo maupun Raja Salman bin Abdul Aziz. Namun demikian, hukum pidana yang berlaku di Kerajaan Arab Saudi memberikan hak dan kewenangan MUTLAK kepada ahli waris korban untuk mengajukan tuntutan terhadap pelaku dengan hukuman yang setimpal (hukuman mati qisas). Secara syar’i siapapun tidak dapat mengintervensi, mencegah eksekusi atau memberi pengampunan, bahkan tidak juga Pemimpin Tertinggi di Kerajaan Arab Saudi, Khadimul Haramain, Raja Salman bin Abdul Aziz, kecuali ahli waris itu sendiri.
Bahkan dalam catatan sejarah pelaksanaan eksekusi mati (qisas), Kerajaan Arab Saudi pun telah mengeksekusi mati dua pangeran. Eksekusi pertama terjadi pada tahun 1975, yaitu terhadap terpidana Pangeran Faisal bin Musaid bin Abdul Aziz Al Saud dengan cara dipancung karena telah membunuh pamannya, Raja Faisal bin Abdul Aziz Al Saud. Kasus eksekusi mati yang kedua terjadi pada terpidana Pangeran Turki bin Saud bin Turki bin Saud Al Kabir, karena menembak mati WN Arab Saudi, Adil bin Sulaiman bin Abdul Karim Al Muhaimid pada Nopember 2012. Proses hukum terhadap Pangeran Turki berlangsung cepat selama kurang lebih 4 (empat) tahun dan selama rentang waktu tersebut Pihak Keluarga Pangeran Turki berupaya keras mendapatkan permohonan maaf dari ahli waris dengan menawarkan sejumlah kompensasi diyat/ganti rugi, namun ahli waris almarhum menolak sehingga akhirnya pada hari Selasa, 18/10/2016 bertempat di Riyadh Pangeran Turki dieksekusi mati dengan cara dipancung. Hukuman qisas ini la yufarriqu bainn tajirin wa faqirin wa baina amirin wa muwatinin (tdk membedakan mana konglomerat atau orang miskin, mana pangeran/prince atau rakyat jelata).
3. Dalam catatan kami tidak lama setelah saya mulai menjalankan tugas sebagai Dubes RI di Riyadh, Tim terpadu PWNI-KBRI-KJRI bersama Pengacara Mazen al Kurdi yang ditunjuk untuk menangani kasus tersebut telah berupaya maratonmengkaji putusan guna mencari celah hukum untuk mengajukan peninjauan kembali (PK) terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak 17 Nopember 2008.
4. Menindaklanjuti surat Presiden RI tentang permintaan penundaan eksekusi MZMA, pada tanggal 27/11/2017 KBRI melalui nota diplomatik ke Kemenlu KSA telah meminta bantuan untuk meneruskan permohonan saya menemui Pangeran Abdul Aziz bin Sa’ud bin Nayyef bin Abdul Aziz, Menteri Dalam Negeri KSA.
Pada tanggal 11/12/2017, KBRI kembali mengirimkan nota diplomatik ke Kemenlu KSA yang berisi lampiran Surat saya kepada : 1) Menteri Kehakiman KSA dan 2) Menteri Dalam Negeri KSA. Adapun substansi dari masing-masing surat tersebut pada pokoknya menjelaskan sebagai berikut:
Pertama, surat saya kepada Menteri Kehakiman KSA secara khusus memohon perhatian atas permintaan Presiden RI kepada Khadimul Haramain terkait peninjauan kembali proses hukum atas putusan yang menjatuhkan hukuman mati (qisas) kepada Sdr. MZMA, sekaligus menjelaskan bahwa adanya informasi bukti baru berupa keterangan dari salah seorang penerjemah saat proses penyidikan berlangsung.
Kedua, surat saya kepada Menteri Dalam Negeri KSA pada pokoknya menyampaikan permintaan ijin bertemu sehubungan dengan terbitnya Dekrit Raja yang memerintahkan penundaan eksekusi selama 6 bulan.
5. Sebagai respon atas Surat pribadi Dubes yang ditujukan kepada Menteri Kehakiman KSA, pada awal Januari 2018 KBRI menerima nota diplomatik Kemenlu KSA yang pada pokoknya: dengan merujuk surat Dubes Agus Maftuh Abegebriel, Kementerian Kehakiman KSA menyampaikan pemberitahuan bahwa terpidana atau kuasa hukumnya dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali ke Pengadilan dengan menggunakan bukti baru. Fase ini adalah awal munculnya sebuah seberkas cahaya terang untuk menerangi lorong kasus MZMA.
6. Pada tanggal 30/01/2018, KBRI menerima nota perihal pemberitahuan tentang putusan vonis mati (qisas) telah berkekuatan hukum tetap, sehingga terpidana HANYA memiliki kesempatan mengupayakan pemaafan dari ahli waris korban sebelum dilakukan eksekusi. Tim dan Pengacara melakukan komunikasi dengan keluarga korban dan menemui jalan buntu. Lorong satu-satunya yang masih memungkinkan adalah mengoptimalkan upaya hukum pengajuan PK guna disampaikan langsung ke Kantor Kementerian Kehakiman KSA.
7. Namun pada ahad pagi tanggal 18/03/2018, ada informasi dari sumber informal tentang indikasi akan dilakukan eksekusi terhadap terpidana MZMA. Tim KJRI pada kesempatan pertama melakukan pemantauan di Penjara Mekkah dan pada sekira pukul 11.00 WAS terpidana MZMA dieksekusi di sektor Al Umroh dan kemudian dikebumikan di Pemakaman Umum Al Syara’i Mekkah al-Mukarramah. Pada hari yang sama, sekira pukul 17.00 WAS KBRI menerima notifikasi Kemenlu KSA sebagai pemberitahun telah dilaksanakan eksekusi hukuman mati terhadap terpidana MZMA. Dengan pelaksanaan eksekusi tersebut, besar kemungkinan Mahkamah Ulya (Mahkamah Agung) memandang alasan PK juga belum cukup kuat untuk membatalkan vonis inkracht tersebut.
8. Presiden RI Joko Widodo dan Pemerintah RI, baik Kemenlu RI maupun Perwakilan RI di Arab Saudi telah secara maksimal melakukan upaya-upaya pembelaan terhadap almarhum MZMA, baik melalui jalur litigasi maupun non litigasi. Namun sayang harus terhenti dengan dilaksanakannya eksekusi pada hari Ahad, tanggal 18/03/2018 pukul 11.00 WAS, setelah melalui jalan panjang proses hukum sejak tanggal 13/07/2004 MZMA ditangkap aparat kepolisian di Mekkah dengan tuduhan membunuh majikannya almarhum Abdullah bin Umar bin Muhammad Al Sindi.
9. Sebagai dua negara bersahabat yang sedang berada di masa keemasan bilateral, KBRI sangat menyesalkan tidak adanya notifikasi/pemberitahuan dari KSA sebelum dilakukan eksekusi mati MZMA. Hal tersebut mencederai rasa kepatutan dalam hubungan persahabatan yang terjalin antara kedua negara. Namun demikian, KBRI dapat memahami bahwa berdasarkan Hukum Internasional merujuk pada Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan Kekonsuleran (Konvensi Wina 1963) dimana Indonesia dan Arab Saudi telah menjadi anggota melalui aksesi masing- masing pada tanggal 4 Juni 1982 dan 29 Juni 1988, tidak ada kewajiban bagi Pemerintah Arab Saudi maupun Indonesia untuk menyampaikan notifikasi terkait pelaksanaan hukuman mati warga negara baik Indonesia maupun Arab Saudi.
10. Konvensi Wina 1963 tidak mengatur kewajiban negara anggotanya untuk menyampaikan pelaksanaan hukuman mati bagi warga negara asing. Konvensi Wina 1963, Pasal 37 (a) hanya mengatur kewajiban menyampaikan kematian Warga Negara Asing kepada Kantor Perwakilan Asing terkait terdekat. Dalam kasus MZMA, Pemerintah Arab Saudi telah menyampaikan berita kematian MZMA kepada KBRI Riyadh, 4 jam setelah eksekusi hukuman mati dilaksanakan.
11. Terkait Mandatory Consular Notification (MCN), sampai saat ini, Indonesia dan Arab Saudi tidak memiliki perjanjian kerja sama di bidang MCN yang mewajibkan kedua belah pihak menyampaikan informasi terkait rencana pelaksanaan hukuman mati. Sebagai catatan, Pemerintah Arab Saudi tidak memiliki kerja sama MCN dengan negara manapun di dunia.
Agus Maftuh Abegebriel
(Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi)
Baca:
Agus Maftuh Benarkan TKI Asal Madura Dihukum Mati di Arab Saudi
Agus Maftuh: Santunan Korban Crane Masjidil Haram Telah Siap
Agus Maftuh juga menyisipi pada bagian akhir tulisannya dengan catatan Kronologi eksekusi Muhamad Zaini Misrin. Berikut ini krologinya, pada hari Ahad pagi, 18/03/2018, Tim Perlindungan WNI menerima informasi tentang adanya perintah eksekusi terhadap Muhamad Zaini Misrin, di Mekkah. Atas info tersebut, Tim bersama pengacara bergegas menuju penjara umum Makkah untuk mengkonfirmasi info tersebut.
Pada saat akan tiba di Penjara, akses jalan telah ditutup oleh barikade polisi dan Tim tidak diperbolehkan mendekat dan hanya bisa memantau dari jauh. Sembari menunggu, Tim juga bertemu dengan Mr. Abdul Aziz (penerjemah) yang juga berupaya mengkonfirmasi info adanya eksekusi tersebut. Sdr. Abdul Aziz juga mengkonfirmasi dari kenalannya di penjara bahwa berkas2 eksekusi sudah lengkap.
Sekitar pukul 10.46, rombongan mobil polisi, mobil penjara, mobil ambulan, plus dikawal beberapa mobil intel keluar dari penjara menuju Distrik Al Nawariyyah, Mekkah yang menjadi tempat eksekusi MZM. Tim berupaya untuk mengikuti dan mencoba mendekat, namun seluruh akses jalan di lokasi sudah ditutup oleh pihak kepolisian. Beberapa kali Tim dihalau dan diusir ketika mencoba mendekat.
Sekitar pukul 11.00, diperkirakan eksekusi terhadap MZM selesai dilaksanakan. Lalu, pukul 11.09, rombongan polisi dan ambulan menuju pemakaman Al Syaro’i utk dilakukan pemandian, pengkafanan dan pengkuburan.
Tim kemudian meluncur ke RS King Abdul Aziz Mekkah dan didapatkan konfirmasi dari kepala administrasi pengurusan dan penyimpanan jenazah, Mr. Ahmad Al Tsaqofi, bahwa berkas-berkas MZM telah berada di RS tersebut utk dibuatkan dan diuruskan surat kematian. Selanjutnya, Tim bergerak menuju ke pemakaman Al Syaro’i dan diperoleh konfirmasi bahwa baru saja jenazah MZM dimakamkan di Blok 34 Nomor kuburan 47. (red)
Editor: M. Yahya Suprabana