Kolom

Muhasabah Kebangsaan: Dendang Shalawat di Universitas Amsterdam

(Catatan Perjalanan Islam Nusantara ke Eropa Bersama Ki Ageng Ganjur #6)

Meski masih dalam suasana libur Paskah, namun hari itu suasana Universitas Amsterdam terlihat ramai. Gedung pertunjukan kampus yang berkapasitas 200an tempat duduk penuh sesak oleh pengunjung yang mayoritas orang Indonesia. Mereka datang dari berbagai kota di Belanda: Leiden, Utrech, Wageningen dan sebagainya. Diantara mereka ada juga beberapa orang bule, termasuk Prof. Harry A. Poeze, Prof. Dr. Ruard Ganzelvoort, dekan Fak. Teheoligia Vrije University (VU), Amsterdam, dan beberapa dosen serta peneliti dari kampus.

Ini terjadi karena hari itu di universitas riset terbesar di Eropa dan tertua ketiga di Belanda (dibangun tahun 1632) ada acara “Performance Arts of Religous Music Ki Ageng Ganjur” sebagai rangkaian dari kegiatan “Islam Nusantara Roadshow to Europe”. Selain menampilkan Ki Ageng Ganjur dalam acara ini juga ada Screening Movie dan Diskusi tentang sejarah tokoh Tan Malaka dan Hadratus Syech Hasyim Asy’ari.

Pagelaran di Universitas Amsterdam ini dibuka oleh Duta Besar RI untuk Kerajaan Belandan, I Gusti Agung Wesaka Puja. Saat memberi sambutan, Duta Besar RI, menyatakan bahwa ini adalah acara yang unik dan menarik karena menggabungkan dimensi akademik dengan seni budaya, khususnya seni musik. Menurutnya musik bisa menjadi sarana komunikasi yang efektif, khususnya dalam menyebarkan Islam. Dengan cara ini Islam bisa tampil secara indah dan bisa menenbus seluruh lapisan masyarakat.

Setelah dibuka, langsung dilanjutkan dengan pemutaran film dokumenter. Film dokumenter yang berdurasi 30 menit itu menggambarkan perjalanan Tan Malaka waktu menuntut ilmu di Belanda. Di film tersebut ditunjukkan tempat bersejarah Tan Malaka saat belajar di Belanda, sekolah, tempat kos, perpustakaan, buku-buku dan dokumen yang terkait dengan sosok Tan Malaka.

Baca Juga:  Fenomena “Post Truth" di Pilkada Serentak 2024

Selesai pemutaran film dilanjutkan diskusi yang dipandu Yance Arizona, mahasiswa Ekonomi Universitas Amsterdam, dengan narasumber Prof. Poeze, ahli Tan Malaka dan Aminudin Siregar (Ucok), mahasiswa S3 Sejarah Seni Rupa Univ. Amsterdam yang juga ketua Lesbumi PCI NU Belanda. Pemikiran penting yang muncul dalam diskusi ini diantaranya pelunya menggali pemikiran keIslaman Tan Malaka karena menurut Poeze Tan Malaka pernah menyetakan dirinya sebagai Muslim. Yang dia tolak dari agama adalah mistisismenya karena bisa membuat manusia terjebak dalam sikap irrasiinal. Penggalian keislaman Tan Malaka bukan untuk klaim sebagaimana yang terjadi pada Gadjah Mada atau Brawijaya yang justru bisa menjadi alat legitimasi kaum islamist.

Sebaliknya penggalian keuslaman Tan Malaka justru dimaksudkan untuk menuntujukkan wajah lain Islam melalui pemikiran dan sikap kritis dalam menghadapi kedhaliman. Islam yang tidak terpenjara oleh teks dan simbol, tidak terjebak dalam ritus dan formalisme ibadah. Penggalian pemikiran dan sikap keislaman Tan Malaka akan bisa menjadi counter atas gerakan kaum islamist puritan yang suka main klaim atas keislaman para tokoh hanya sekedar untuk melegitimasi gerakan mereka.

Dalam film dokumenter mbah Hasyin dipaparkan biografi mbah Hasyim, mulai genealogi bilogis, sosiolis sampai sanad keilmua, kiprah perjuangan dan pergerakannya baik di dunia politik maupun pendidikan keagamaan (pesantren). Pagi para peneliti dan akademisi, fim yang berdurasi 1 jam ini sangat menarik karena kaya daya dan informasi. Namun cukup membosankan bila untuk hiburan.

Diskusi membahas film ini dipandu oleh Abdul Karim dengan narasumber Syahril dan Al-Zastrouw. Sebagai mahasiswa S3 yang sedang meneliti wajah Islam dalam film Indonesia, Syahril menjelaskan ada pergeseran tampilan wajah Islam dalam film Indonesia sebelum dan sesudah reformasi. Sebelum reformasi wajah Islam ditampilkan hanya menjadi pengusir hantu dengan gambaran yang mustis. Pasca reformasi wajah Islam lebih beragama, mulai yang simbolik format dengan tampilan yang glamour sampai yang historis kritis seperti film Sang Kyai, Sang Pencerah termasuk film dokumenter yang diputar kali ini

Baca Juga:  Budaya Pop dan Dinamika Hukum Kontemporer

Zastrouw dalam paparannya menjelaskan paling tidak ada empat hal penting yang bisa dicatat dari film dukumenter mbah Hasyim; pertama teritegrasikannya Islam dengan faham kebangsaan, artinya hubungan Islam dan kebangsaan sudah selesai. Kedua adanya kontektualisasi makna Jihad, dimana membela dan mempertahanjan tanah air agar ummat Islam bisa menjakankan syariatnya dengan tenang menjadi bagian dari jihad. Inilah yang melahirkan semboyan “hubbul wathan minal iman” , NKRI dan Pancasila harga mati.

Ketiga, menjelaskan peran dan pengorbanan para kyai dan santri dalam mempertahankan dan membela NKRI, merawat kebinekaan dan menjaga persatuan. Keempat film ini menujukkan nilai2 dasar Islam Nusantara yaitu toleran (tasammuh), tawazzun (seimbang) dan tawassuth (moderat) dalam melakukan amar nakruf nahi munkar. Selain itu, menurut Zastrouw, melalui film ini terlihat ciri-ciri utama Islam Nusantara yaitu, mengutamakan kearifan (hikmah/wisdom) daripada tuntutan syariah yang legal formal; menggunakan madzhab dalam memahami Islam; menggunakan tradisi dan budaya sebaga alat (wasilah) dan metode (manhaj) dalam menyajarkan Islam dan menjaga sanad keilmuan secara ketat dan jelas.

Dalam penampilannya ki Ageng Ganjur membawakan lagu-lagu shalawat dengan berbagai bentuk aransement: rock, jazz, qaidah dengan sentuhan etnik yang menarik. Penampilan kali ini cukup memukau para penonton yang memenuhi gedung teater Univ. Amsterdam. Lagu-lagu dan tata musik yang ditampilkan tidak saja enak dinikmati tetapi mampu menyentuh emosi. Hal ini dibuktikan dengan antusias penonton dalam merespon setiap lagu yang dinyanyikan.

Baca Juga:  Transisi Tarian Dero Menjadi Budaya Pop

Suasana mendadak pecah ketika ganjur mencoba menyanyikan lagu dangdut. Semua penonton langsung turun ke depan panggung bergoyang bersama. Bahkan bule-bule yang dari awal sdh menggerak-gerakkan kakinya sambil duduk langsung berbaur di depan panggung ikut bergoyang bersama, termasuk dekan Fak. Teology Vrijk University yang dari awal menyimak setiap shalawat yang dibawakan Ki Ageng Ganjur.Suana saat itu benar-benar meriah. Rasa haru, rindu, bahagia dan gembira bercampur menjadi satu.

Dalam komentarnya prof Poeze menyatakan bahwa ini musik yang sofisticate karena selain mengandung unsur hiburan juga sarat dengan pesan religius. Sementara prof. Ruad Ganzelvoort Menyebutkan bahwa dunia saat ini, termasuk Indonesia dan Belanda sedang menghadapi problem kemanusiaan, pluralisme dan ancaman sektarianisme dan musik bisa menjadi kunci untuk menbuka dialog, seperti yang terjadi saat ini.

Atas kesuksesan acara ini kita perlu memberikan apresiasi dan acapan terima kasih pada teman-teman PPI Belanda dan Amsterdam, pengurus PCI NU Belanda, gus Fikri dan kyai Hasyim yang telah bekerja keras menyelenggarajan event ini. Juga pihak KBRI, khususnya pak Dubes Puja yang sudah mensupport dan memfasilitasi penuh serta pihak Univ. Amsterdam yang telah mebyediakan tenpat. Berkat kerja keras dan kebaikan mereka semua alunan shalawat bisa bergema di universitas Amsterdam. Moge God Zegenen.. !!!

Penulis: Al-Zastrouw

Related Posts

1 of 794