NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Melakukan semacam ramalan (forecasting) terhadap masa depan bangsa dan negara bukanlah sebuah dosa ataupun lelucon yang lantas dijadikan bahan tertawaan. Sebab, segala kemungkinan bisa saja terjadi di masa-masa mendatang seiring dengan perkembangan dan perubahan zaman.
“Menyikapi segala kemungkinan yang terjadi kita hadapi bukan dengan pesimisme tapi dengan kewaspadaan. Penyiapan kemampuan SDM terdidik dan terlatih sangat penting. Wajar bila kita lakukan forecasting terhadap masa depan negara, karena kita bisa ‘ancang-ancang’ mau dibawa kemana negara ini. Justru dengan ada prakiraan keadaan tahun 2030 itu maka kita harus segera lakukan restrukturisasi dalam segala bidang sebagai antisipasi,” ujar pengamat intelijen Susaningtyas Kertopati, Jakarta, Sabtu (24/3/2018).
Baca juga: Soal Pidato 2030 Indonesia Bubar, Prabowo: Jangan Anggap Enteng
Sebelumnya, Prabowo Subianto dalam sebuah pidatonya menyebutkan Indonesia akan bubar pada tahun 2030. Pernyataan Prabowo tersebut merupakan kutipan dari sebuah karya fiksi Peter W Singer dan August Cole berjudul Ghost Fleet: a Novel of The Next World War. Nama pertama dikenal sebagai seorang peneliti politik dan perang asal Amerika Serikat. Dan pernyataan Prabowo tersebut bukan kali pertama ia ucapkan melainkan pernah juga diucapkan dalam pidato-pidatonya di berbagai kesempatan lain.
Diketahui juga, novel Ghost Fleet menjadi perhatian serius kalangan petinggi militer Amerika Serikat, bahkan dikatakan sebagai cetak biru (blue print) untuk memahami peperangan di masa depan.
Baca juga: Panglima TNI: Ancaman Kontemporer Bersifat Asimetris dan Hibrida
“Kita harus waspada dalam hadapi tantangan ke depan, untuk eksis di dunia akan jauh lebih berat bagi Indonesia. Krisis pangan, krisis energi, krisis ekonomi, krisis demografi, perubahan iklim, pelambatan pertumbuhan ekonomi, fluktuasi ekstrim harga minyak, turbulensi politik dan instabilitas kawasan, failing/failed dan rogue state, insurgensi dan terorisme, polarisasi hagemoni dunia, dan dimulainya era digitalisasi adalah sedikit dari banyak masalah kontemporer yang menimbulkan ketidakpastian di tingkat nasional, regional, dan global,” jelas Susaningtyas.
Baca juga: Menyimak Analisa Marsekal TNI Hadi Tjahjanto Tentang Geopolitik Indonesia
Pertanyaan muncul apakah Indonesia, yang selama ini mampu bertahan hingga 72 tahun akan mampu bertahan hingga hari jadinya yang ke-100 tahun di tahun 2030? Seperti apa tantangan riil ke depan yang akan dihadapi Indonesia? Bagaimana dan seperti apa tindakan yang harus diambil Indonesia agar mampu menghadapi tantangan di masa mendatang?
Baca juga: Kuliah Umum di Unhan, Panglima TNI Paparkan Kebijakan TNI Menjaga NKRI
Dia menjelaskan, dari perspektif ilmu pertahanan maka ancaman di masa mendatang baik yang faktual maupun potensial dapat dibedakan menurut bentuk dan sifatnya. Menurut bentuknya, maka ada ancaman militer dan ancaman non militer.
Menurut sifatnya, maka ada ancaman militer itu sendiri dan ancaman nir militer. Kompleksitas bentuk dan sifat ancaman menuntut bangsa Indonesia menyusun strategi hybrid untuk mengantisipasinya.
Baca juga: Benarkah Perang Candu Kini Menyasar Indonesia?
“Kita harus mampu berimajinasi membayangkan Indonesia di tahun 2030 sehingga mampu menuangkan strategi yang yang kreatif dan inovatif. Sebagai contoh imajinasi para penulis Ghost Fleet dalam novel fiksinya. Para penulis membayangkan ada perang dunia di masa mendatang dengan skenario ada kelompok negara yang menang dan ada kelompok negara yang kalah,” paparnya.
Dari tinjauan matematika, bisa ditelaah kedua skenario tersebut merupakan hasil ekstrapolasi menggunakan kombinasi metode projection, forecasting dan foreseen. Seluruh negara di dunia diekstrapolasikan di masa mendatang dari kondisinya saat ini. Melalui simulasi program komputer, maka hasil akhir kondisi setiap negara dapat dengan mudah diketahui dengan logika.
Baca juga: Para Komprador Terus Mainkan Politik Adu Domba di Tanah Air
“Oleh karenanya strategi hybrida untuk menghadapinya bisa juga menggunakan metode yang sama. Solusinya kita harus bisa merumuskan formulasi strategi hybrida dengan membuat simulasi nasional setiap gatra di dalam Ketahanan Nasional,” jelas pengamat yang akrab disapa Nuning ini.
Selanjutnya, kata dia, semua sumberdaya nasional baik SDM, SDA dan sumberdaya buatan dapat dianalisa dan disimulasikan secara kuantitatif sehingga dapat diketahui faktor negatif apa yang harus diantisipasi di masa mendatang. Ini penting dilakukan karena seringkali faktor-faktor negatif suatu bangsa adalah hidden factor.
Baca juga:
Mencegah Menjadi Negara Vassal (Bag. 1)
Mencegah Menjadi Negara Vassal (Bag 2)
Secara internal Bangsa Indonesia memiliki kerentanan konflik yang bersumber dari SARA. Dengan metode ilmiah yang tadi dijelaskan, maka salah satu strategi hybrida adalah menyelesaikan secara tuntas akar masalah konflik-konflik yang sekarang masih merebak. Bangsa Indonesia harus bisa memperkokoh persatuan dan kesatuan. Persatuan seluruh suku bangsa Indonesia dan kesatuan wilayah seluruh pulau dan lautan Indonesia.
Baca juga:
Skenario Perang Hibrida AS di Myanmar
Perang Tak Kunjung Berhenti, ‘Balkanisasi’ Suriah Segera Dilakukan
“Strategi tersebut juga didukung data dan fakta sejarah bagaimana negara-negara besar saat ini bisa menjadi negara yang maju dan sejahtera setelah tercapai konsensus nasional menyelesaikan akar masalah konflik internal mereka. Setelah itu setiap generasi berikutnya dapat memegang teguh konsensus nasional tersebut untuk selamanya. Jadi, strategi yang jitu menjadi Indonesia Emas 2045 adalah dengan menjaga persatuan dan kesatuan,” urai Nuning.
“Sebagai tambahan, jangan pernah remehkan kekuatan sebuah novel fiksi. Apalagi jika ditulis oleh ahli matematika yang kreatif,” Nuning mengingatkan. (red)
Editor: Eriec Dieda
Baca juga:
Membaca Ulang Perang Asimetris di Indonesia (Bag.1)
Membaca Ulang Perang Asimetris di Indonesia (Bag.2)
Membaca Ulang Perang Asimetris di Indonesia (Bag. 3)
Membaca Ulang Perang Asimetris di Indonesia (Bag. 4)
Membaca Ulang Perang Asimetris di Indonesia (Bag.5)
Membaca Ulang Perang Asimetris di Indonesia (Bag. 6)