NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – TEMPO Interaktif, Jum’at, 13 Desember 2002, dari 4 calon investor yang ada, hanya 2 investor saja yang telah memasukkan penawaran akhir (final bid) penawaran tender pembelian saham PT Indonesian Satellite Corporation Tbk. (INDOSAT) sesuai waktu yang ditentukan. Kedua penawar tersebut adalah Singapore Technologies Telemedia (STT) dan Telekom Malaysia Bhd. Sedangkan kandidat lainnya, Desa Mahir Sdn. Bhd (dari Malaysia) dan Gilbert Global Equity Partner (dari Hongkong), kemungkinan besar dipastikan gugur. Hal itu diungkapkan oleh Gita Wirjawan dari Goldman Sach, penasehat keuangan (financial adviser) STT kepada wartawan yang mencegatnya, usai bertemu dengan pihak kantor menteri negara BUMN, pihak Indosat, dan PT Danareksa sebagai penasehat divestasi Indosat, di gedung Danareksa Jakarta.
Dalam proses penjualan saham Indosat kepada Temasek, Gita Wiryawan adalah konsultan perusahaan Singapura itu, pada waktu itu Gita masih mengasah ilmu di Goldman Sach, perusahaan hedgefund dari Amerika Serikat (AS), masih diluar struktur kabinet pemerintahan SBY. Setelah sukses mengambil alih INDOSAT, karir Gita Wirjawan pun melesat semakin cemerlang. Tidak mengherankan bila AS sangat berkepentingan menempatkannya ke dalam struktur pemerintahan SBY. Bahkan kalau perlu mendudukkannya sebagai pengganti Presiden SBY.
Salahkah Gita Wirjawan sebagai seorang konsultan mengatur pembelian Indosat oleh Temasek? Tentu saja tidak. Gita hanya bekerja secara profesional sesuai dengan keahliannya. Dan dibayar mahal tentunya. Dan masih banyak Gita-Gita Wirjawan yang lain di negeri kita tercinta ini yang bekerja secara profesional dengan gaji yang menggiurkan.
Harus kita sadari bahwa abad 21 adalah abad ruang angkasa dengan teknologi satelit sebagai tulang punggungnya. Satelit menjadi teknologi strategis karena memiliki fungsi ibarat indra manusia. Satelit merupakan aset strategis dunia masa depan – bahkan dengan teknologi militer bisa menjadi alutsista yang mematikan.
Tidak mengherankan bila tahun 1969, Presiden Soeharto sudah memiliki visi yang jauh kedepan dengan membangun “Stasiun Bumi” di Jatiluhur, Jawa Barat, sebagai infrastruktur pendukung satelit. Bukan itu saja, dengan memberi nama “PALAPA” kepada satelit geostasioner Indonesia jelas menunjukkan bahwa Presiden Soeharto adalah seorang visioner, seorang negarawan ahli strategi yang berpikir jauh melampaui zamannya dalam membangun masa depan NKRI.
Pemberian nama PALAPA yang diambil dari “Sumpah Palapa” pada zaman kerajaan Majapahit itu bukanlah tanpa maksud dan tujuan. Sumpah Palapa yang diucapkan oleh seorang Maha Patih yang bernama Gajah Mada pada abad ke 14 merupakan simbol kekuatan negara dalam menyatukan seluruh wilayah Kepulauan Nusantara. Dengan angkatan laut yang kuat, Majapahit berhasil menjadikan Nusantara sebagai “poros maritim” dunia sebagaimana Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7.
Penguasaan lautan pada zaman dahulu sama strategisnya dengan penguasaan angkasa pada abad 21 ini. Indonesia belum mampu menggarap secara maksimal potensi ekonomis kekayaan angkasanya. Padahal dengan teknologi satelit yang didukung dengan teknologi komunikasi – wilayah udara Indonesia menjadi “jalan tol” lalu lintas saluran TV, TELPON dan INTERNET bagi milyaran akses dan transaksi antar manusia, perusahaan maupun negara setiap tahunnya. Jauh melebihi jumlah wisatawan yang datang mengunjungi Indonesia. Belum lagi lalu lintas pesawat-pesawat udara komersial yang lalu lalang melintas. Bayangkan berapa nilai rupiahnya dalam setahun.
Oleh karena itu, satelit adalah aset negara yang strategis. Satelit telah menjadi bagian dari hajat hidup orang banyak oleh karena itu harus dikuasai oleh Negara. Karena satelit yang terintegrated dengan teknologi komunikasi dan teleskop merupakan pancaindera suatu negara. Satelit dapat dipakai meramalkan iklim, memetakan daratan, memotret lokasi, mengindera sumber kekayaan alam, dan menjadi alat navigasi seperti GPS, dan lain sebagainya.
Bagi kepentingan asing yang sudah lama mengincar Indonesia, satelit PALAPA merupakan aset strategis pertama yang harus dilumpuhkan dan direbut untuk melemahkan Indonesia. Tanpa satelit, Indonesia menjadi buta dan tuli. Peluang itu datang di era pemerintahan Presiden Megawati yang diangkat menggantikan Presiden Gus Dur yang dijatuhkan melalui Sidang Istimewa MPR pada 2001.
Dengan kepiawaian Gita Wirjawan yang pada saat itu bekerja sebagai konsultan Temasek Singapura – berhasil mengatur penjualan aset strategis itu dengan mulus. Maka beralih tanganlah INDOSAT dengan harga yang murah. Sejak penjualan itu, Indonesia menjadi ajang penyadapan asing. Dan pemilik baru Indosat meraup untung milyaran dolar.
Dan yang paling menyakitkan adalah privasi kita sebagai bangsa diketahui oleh orang lain, bayangkan seluruh komunikasi, transaksi perbankan bahkan rahasia negara bisa dimonitor secara transparan oleh kekuatan asing, jadi untuk memata-matai Indonesia tidak perlu repot-repot mengadakan penyadapan dan operasi intelejen, karena Indonesia memang sudah telanjang bulat termasuk dalam sistem pertahanan dan keamanan negara. Jika kondisi telanjang bulat tersebut terus dibiarkan berlarut-larut maka integritas NKRI akan porak-poranda diserbu predator-predator korporasi transnasional yang kelaparan di era global. (Agus Setiawan)