Rubrika

LIPI Kembangkan Superkonduktor dan Elektroda Baterai Lithium Berbahan Baku Lokal

Ilustrasi Superkonduktor (Foto via Sainshack)
Ilustrasi Superkonduktor (Foto via Sainshack)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Sejak tahun 2010, permintaan superkonduktor di pasar global naik secara signifikan, khususnya superkonduktor tipe High Temperature Superconductors (HTS). Hal ini karena penerapan material superkonduktor dapat mengurangi energy loss dan ramah lingkungan.

“Salah satu material maju yang sangat berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia sebagai bahan pendukung teknologi maju adalah HTS ini,” ungkap peneliti Pusat Penelitian Metalurgi dan Material LIPI, Agung Imaduddin dalam keterangan persnya yang terima redaksi Nusantaranews.co, Kamis, 25 Oktober 2018.

Agung menjelaskan, bahan baku HTS yang memiliki nilai TC (critical temperature) tinggi dan berbahan baku yang banyak dimiliki oleh Indonesia adalah superkonduktor jenis Bi-Sr-Ca-Cu-O atau disebut BSCCO. “LIPI telah melakukan penelitian mengenai super konduktor sejak tahun 2006 dengan menggunakan bahan Nb3Sn, Bi-Sr-Ca-Cu-O, MgB2, dan FeSeTe. Hasilnya berupa prototype kawat superkonduktor,” terangnya.

Baca Juga:
Amankan Energi Masa Depan, Indonesia Harus Persiapkan Tiga Hal Ini
Pertamina dan BMW Kerjasama Kembangkan Teknologi Pengisian Energi untuk Kendaraan Listrik

Baca Juga:  Bupati Nunukan Ajak Muslimat NU Selalu Berkonstribusi Dalam Pembangunan

Lebih lanjut Agung mengatakan, aplikasi kawat superkonduktor terutama dilakukan pada bidang penghantar dan penyimpanan energy listrik, transformer dan motor listrik, serta alat kesehatan (MRI). “Namun, masih diperlukan kerjasama untuk pengembangan ke skala industri untuk dapat membuat kawat superkonduktor dengan skala yang lebih panjang untuk aplikasi trafo dan kabel transmisi listrik tegangan tinggi”, pungkasnya.

Sementara itu, Achmad Subhan dari Pusat Penelitian Fisika LIPI saat ini tengah mengembangkan baterai lithium dengan elektroda dari tempurung kelapa. “Tempurung kelapa memiliki bahan karbon aktif yang digunakan sebagai aditif dalam proses pembuatan elektroda. Bahan aditif karbon ini digunakan untuk meningkatkan nilai konduktifitas listrik baik ionik maupun elektronik,” jelasnya.

Baca Juga:
Angin dan Matahari Tumpuan Ketahanan Energi Masa Depan
Delapan Negara Ini Gunakan Geothermal Sebagai Sumber Energi

Achmad menambahkan, penggunaan karbon aktif yang optimum seperti tempurung kelapa sebagai komponen elektroda baterai lithium, dapat meningkatkan nilai kapasitas dan kemampuan daya baterai yang lebih tinggi. “Dengan biaya yang lebih rendah dapat menghasilkan produk elektroda yang lebih tinggi performanya,” paparnya.

Baca Juga:  Pemkab Sumenep Diganjar Penghargaan atas Komitmen dalam Penanggulangan Narkoba

Senada dengan Agung, ia memaparkan, proses pembuatan karbon aktif yang sesuai untuk kebutuhan industri baterai sangat berpotensi untuk dikembangkan.  “Pengembangan dari proses biomas menjadi karbon aktif dalam skala industri perlu dilakukan agar sesuai dengan kebutuhan apliklasinya dalam proses fabrikasi baterai lithium,” pungkasnya.

Sebagai informasi, berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, konsumsi listrik Indonesia pada tahun 2017 mencapai 1.012 Kilowatt per Hour (KWH)/kapita, naik 5,9 persen dari tahun sebelumya. Pada tahun ini pemerintah menargetkan konsumsi listrik masyarakat akan meningkat menjadi 1.129 kwh/kapita. Indonesia sendiri memiliki berbagai sumber daya mineral yang dapat dimanfaatkan dalam bidang kelistrikan, namun ketergantungan Indonesia masih banyak bergantung pada impor material maju.

Untuk itu, perlu adanya nilai tambah bagi sumber daya mineral dalam negeri dalam bentuk pengembangan material berbahan baku lokal. Berkaitan dengan hal tersebut, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) telah melakukan penelitian terkait superkonduktor berbahan baku lokal dan elektroda baterai lithium berbahan baku tempurung kelapa.

Baca Juga:  JB9 Ajak Jurnalis Teladani Akhlak Rasulullah di Peringatan Maulid Nabi

Editor: Romadhon

Related Posts

1 of 3,051