Mancanegara

George Soros dan Revolusi Warna di Bekas Blok Soviet

Revolusi Warna
Revolusi Warna

NUSANTARANEWS.CO – George Soros, dalam bukunya The Bubble of American Supremacy mengungkapkan bahwa di negara-negara yang tidak bersahabat, revolusi dapat di tempuh dari atas, dari bawah, bahkan mengkombinasikan keduanya dengan sarana apapun yang diperlukan. Sedangkan propaganda terpenting yang harus dihujamkan adalah mendorong isu semangat masyarakat sipil dalam mempertahankan kebebasan dan demokrasi. Sehingga propaganda tersebut dapat digunakan untuk menghantam pemerintah dengan isu penyalahgunaan wewenang terhadap kebebasan sipil. Soros menyebut operasi subversif semacam ini sebagai “mobilisasi masyarakat sipil”.

Revolusi Warna menjadi begitu fenomenal, karena para pemberontak mengidentifikasi diri mereka dengan warna bunga, mawar merah di Georgia, warna jingga di Ukraina, dan tulip kuning di Kirgistan. Sehingga “revolusi warna” yang berlangsung berturut-turut di tahun 2003, 2004, dan 2005, dijuluki juga sebagai Revolusi Mawar, Revolusi Jingga, dan Revolusi Tulip.

Dalam bukunya, Soros mengakui campur tangan dirinya dalam pergolakan di negara bekas blok Soviet – mulai dari gerakan Solidaritas di Polandia tahun 1980-an hingga upaya gagal penggulingan presiden Belarusia Alexander Lukashenko pada Maret 2006. Termasuk perubahan rezim demokratis di Slovakia tahun 1998, Kroasia tahun 1999, dan Yugoslavia tahun 2000, juga memobilisasi masyarakat sipil untuk memberhentikan Vladimir Meciar, Franjo Tudjman, dan Slobodan Milosevic.

Strategi mobilisasi Soros ini, sesungguhnya merupakan gagasan cemerlang mantan ilmuwan politik Universitas Harvard, Gene Sharp. Sharp mengembangkan metode-metode praktis untuk menggulingkan pemerintahan tanpa kekerasan bersenjata dalam beberapa karyanya, diantaranya The Politics of Non-violent Action dan Waging Nonviolent Struggle. Dalam karya-karyanya tersebut, Sharp dengan brilian membuktikan bahwa dirinya memang seorang spesialis teknik penggulingan pemerintahan lewat aksi langsung tanpa kekerasan.

Salah satu hukum Sharp untuk menjatuhkan sebuah pemerintahan adalah dengan meruntuhkan kemampuan pemerintah tersebut untuk melawan musuh-musuhnya. Proses ini memang lambat dan butuh kesabaran. Seperti menginfiltrasi departemen strategis pemerintahan target, seperti: kepolisian, militer, dan komunitas intelijen. Dengan infiltrasi ini, kekuatan pemerintah target akan menjadi lumpuh. Pada gilirannya rakyat mereka, tentara mereka, dan sumberdaya mereka tidak lagi memiliki kinerja yang baik untuk mempertahankan kekuasaan.

Revolusi Warna sendiri berjalan sesuai dengan teknik Sharp. Bekerja melalui infiltrasi terus-menerus, memanfaatkan misi bantuan kemanusiaan sebagai kendaraan tempurnya. Hal tersebut digambarkan oleh Presiden Kroasia, Franjo Tudjman dalam pidato tahun 1996, ketika melukiskan bagaimana proses itu berkembang di negaranya, sebagaimana dilansir BBC Summary of World Broadcasts, 11 Desember 1996: “Soros dan para komprador telah menyebarkan gurita ke seluruh masyarakat kita. …mengumpulkan dan membagikan bantuan kemanusiaan… Namun, kita telah membiarkan mereka melakukan hampir apapun yang mereka mau… Jaringan mereka melibatkan…orang-orang dari segala usia dan kelas— dari murid dan siswa SLTA hingga jurnalis, dosen, dan akademisi—mencoba memenangkan hati mereka dengan bantuan keuangan. Meraka ini berasal beragam jenis pekerjaan, dari bidang budaya, ekonomi, sains, kedokteran, hukum, dan jurnalistik… Tujuan mereka adalah mengendalikan semua bidang kehidupan…mendirikan negara dalam negara…”

Sayang Presiden Tudjman keburu meninggal akibat serangan kanker perut ditengah operasi pembersihan “Pemerintahan bayangan Presiden Stipe Mesic yang memperoleh kekuasaan pada Januari 2000.

Baca Juga:  Keluarnya Zaluzhny dari Jabatannya Bisa Menjadi Ancaman Bagi Zelensky

Operasi gelap Soros terhadap “pergantian rezim secara demokratis” tidaklah berlangsung demokratis. Di Serbia misalnya, para pengunjuk rasa memenuhi jalanan Belgrade untuk menghentikan pemilu yang sedang berlangsung – di mana perolehan suara begitu ketat sehingga undang-undang Yugoslavia mengharuskan pemilu ulang.

Tapi aktivis “Otpor”—kelompok pemuda militan beranggotakan 70.000 orang yang telah dilatih tidak menunggu pemungutan suara kedua. Revolusi warna Yugoslavia dimulai di Hari Pemilu, 26 September 2000. Kandidat Vojislav Kostunovic memenangkan 48,9% suara banding 38,6% suara Milosevic. Namun, undang-undang Yugoslavia mensyaratkan 50% suara terbanyak untuk menang. Namun Kostunovic menolak pemilu tambahan yang akan digelar pada 8 Oktober, sebagaimana dilaporkan Jane’s Sentinel, 30 November 2000 yang merupakan buletin intelijen terkemuka Inggris.

Menurut Jane’s Sentinel, media yang disponsori Soros hanya menyoroti rekayasa suara oleh Milosevic dan menyerukan pengunduran dirinya. CNN.com, pada 27 September memuat pernyataan Kostunovic yang menuntut agar Milosevic mundur.

Seiring dengan itu, para aktivis Otpor kemudian mulai menunjukkan wajahnya dengan melakukan aksi kekerasan ketika mementaskan kudeta pada 5 Oktober 2000. Evening Standard (London), 5 Oktober 2000 dan New York Times, 15 Oktober 2000 melaporkan bahwa, para pendukung revolusi berbuat rusuh di Belgrade, dengan senapan dan bom molotov, menyulut api di Gedung Parlemen Federal dan kantor pusat jaringan televisi negara.

Jane’s Sentinel juga melaporkan, unit-unit pimpinan Otpor dipersenjatai AK-47, mortir, dan senjata panggul anti-tank yang berjejer di blok-blok jalan sekitar Belgrade. Pada saat yang sama, aktivis Otpor juga mendekati pihak kepolisian Serbia guna meraih simpati dan dukungan mereka sesuai strategi Sharp, The Politics of Nonviolent Action, yang telah menjadi panduan gerakan pemuda Otpor.

Baca Juga:  Atas Instruksi Raja Maroko, Badan Asharif Bayt Mal Al-Quds Meluncurkan Operasi Kemanusiaan di Kota Suci Jerusalem selama Ramadhan

New Republic, 25 April 2005 bahkan memuji kudeta yang digerakkan oleh Otpor yang berlangsung tanpa darah. Dengan strategi kombinasi, seperti mendekati polisi dan militer Serbia dengan sopan, serta mengirimkan bunga kepada setiap prajurit yang gugur – Otpor berhasil menarik simpati dan sekaligus melemahkan kekuatan pemerintah sehingga tidak dapat menindak gerakan mereka.

Dalam setiap demonstrasi, Otpor juga menggunakan humor untuk meyakinkan polisi bahwa mereka tidak bermaksud menimbulkan kerusakan fisik. Ya, pemerintah jatuh ketika pendukung mereka menyeberang, begitulah teknik cerdas Sharp. Taktik Otpor melemahkan pemerintahan Milosevic, serta ancaman risiko perang sipil skala luas dan intervensi NATO yang sudah di depan mata – mengakibatkan Milosevic mundur.

Presiden Milosevic akhirnya ditahan dan dibawa ke Belanda untuk disidang di depan Pengadilan Kejahatan Internasional di The Hague. Akhirnya, Milosevic pun gugur di racun komplotan.

Menurut seorang jurnalis Inggris Neil Clark, Soros menghabiskan waktu sembilan tahun untuk menyiapkan kudeta. Tidak kurang US $ 100 juta digelontorkan untuk kelompok perlawanan Serbia. Clark menulis dalam New Statesman: “Sejak 1991, Open Society Institute Soros telah menyalurkan lebih dari US $100 juta bagi gerakan oosisi anti-Milosevic, mendanai partai-partai politik, perusahaan penerbitan, dan media independen, termasuk stasiun radio mahasiswa kecil-kecilan yang sebetulnya didanai oleh salah satu orang terkaya dunia.

Petualangan Soros berlanjut dalam “pergantian pemerintahan secara demokratis” di negara bekas Soviet, Republik Georgia.

Presiden Georgia Eduard Shevardnadze, yang dikenal sebagai tokoh revolusi demokratis Rusia—sempat menegur Soros pada pertengahan 2002 karena ikut campur dalam urusan perpolitikan dalam negeri Georgia.

Soros sendiri kemudian secara terang-terangan melakukan konferensi pers di Moskow, yang memperingatkan posisi Shevardnadze. Soros bahkan melontarkan dugaan Shevardnadze akan melakukan kecurangan pada pemilu Georgia 2003. Soros dengan tegas menyatakan akan “memobilisasi masyarakat sipil” untuk menggagalkan rekayasa suara tersebut.

Kembali teknik Sharp diterapkan. Soros memobilisasi masyarakat sipil Georgia dalam rangka memastikan pemilu yang bebas dan adil – sebagaimana yang dilakukannya di Slovakia pada masa Meciar, di Kroasia pada masa Tudjman, dan di Yugoslavia pada masa Milosevic. Dan Soros berhasil membuktikan ancamannya,

Baca Juga:  Militer Israel Kawal Aksi Pemukim Zionis Bakar Pemukiman Paletina di Tepi Barat

Sebuah artikel di Globe and Mail Inggris menulis: “Dana Open Society Institute milik Miliarder George Soros mulai menggerakkan aktivis Tbilisi (31 tahun) bernama Giga Bokeria ke Serbia untuk bertemu anggota gerakan (Perlawanan) Otpor dan belajar bagaimana mereka memanfaatkan demonstrasi jalanan untuk menumbangkan Slobodan Milosevic.

Untuk pematangan, Soros kemudian mengerahkan para aktivis Otpor ke Georgia untuk melatih 1.000 siswa aktivis. Sementara sebuah stasiun televisi yang didanai Soros, Rustavi-2, mulai menyiarkan film dokumenter yang menceritakan langkah demi langkah pelengseran Slobodan Milosevic.

Produsernya adalah Peter Ackerman, mantan radikalis 60-an yang kemudian menjadi kaya sebagai trader saham, bekerja untuk Michael Milken di firma broker obligasi sampah yang legendaris, Drexel Burnham Lambert.

Film dokumenter Ackerman, Bringing Down a Dictator, terbukti ampuh dalam menginspirasi pemberontak Georgia. “Setiap Sabtu, selama berbulan-bulan, jaringan TV independen Rustavi-2 menyiarkan film tersebut – diikuti dengan segmen di mana orang-orang Georgia membahas implikasi film tersebut bagi gerakan mereka.

Menjelang kejatuhan Shevardnadze, jaringan ini meningkatkan frekuensi sehingga para demonstran hapal taktik revolusi di Belgrade dan setiap orang tahu apa yang harus dilakukan.

Ketika pemilu diselenggarakan, komplotan telah siap. Begitu Shevardnadze mengumumkan kemenangannya, stasiun televisi Rustavi-2 mulai menyiarkan exit poll yang bertentangan dengan perhitungan suara resmi oleh para petugas exit poll yang digaji oleh Soros.

Pengunjuk rasa memenuhi jalan-jalan, dipimpin olah aktivis yang dilatih di Serbia. Bus-bus mengangkut bala bantuan dari pedesaan, dan demonstran mengepung gedung Parlemen, menuduh adanya manipulasi data pemilih. Shevardnadze yang tidak punya pilihan, akhirnya mengundurkan diri pada 23 November guna menghindari perang sipil.

Para pendukung “non-kekerasan strategis” setuju bahwa untuk menyingkirkan pemerintah yang tidak bersahabat, lebih baik dilakukan melalui penyuapan, pemerasan, poling gadungan, penipuan data pemilih, dan demonstrasi jalanan bayaran daripada dengan metode berdarah seperti invasi dan kudeta bersenjata.

Dari sudut pandang pendidikan politik, hal ini jelas bukan pelajaran kewarganegaraan yang diajarkan dalam proses berdemokrasi. (Agus Setiawan)

Related Posts

1 of 3,050