NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menuntut Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk segera menuntaskan revisi undang-undang minyak dan gas bumi demi mengatasi krisis energi di Indonesia dan meningkatkan ketahanan energi nasional.
Penasihat Ahli Kepala SKK Migas, Sampe L. Purba, menyampaikan revisi undang-undang migas harus berdimensi jangka panjang, sesuai dengan kondisi di lapangan dan harus mempertimbangkan iklim investasi untuk menarik investasi.
“Usulan SKK Migas, agar dibentuk Badan Usaha Khusus yg merupakan Otoritas Hulu Minyak dan Gas Bumi terpisah dari Pertamina untuk mengatur kegiatan hulu minyak dan gas bumi di Indonesia dengan kewenangan pengusahaan seperti menjual minyak dan gas bumi bagian negara secara langsung dan melakukan investasi di Blok Migas secara langsung sesuai amanat amar putusan Mahkamah Konstitusi,” ujarnya dalan Seminar Revisi UU Migas Untuk Ketahanan Energi Pro-Rakyat yang diadakan oleh Posko Perjuangan Rakyat (Pospera) di Jakarta, Kamis (3/8/2017).
Pengelolaan hulu minyak dan gas bumi sebaiknya terpisah dari Pertamina sebagai BUMN karena bertujuan meningkatkan eksplorasi, menjaga efisiensi dan menerapkan prinsip good corporate governance yang transparan.
Sementara Ketua DPP Pospera Bidang ESDM Erwin Usman, menyampaikan saat ini ada dua kutub dalam revisi undang-undang migas terkait kelembagaan hulu migas yaitu menggabungkan fungsi SKK Migas di dalam Pertamina atau membentuk Badan Usaha Khusus yang terpisah dari Pertamina.
“Dinamika ini perlu dicermati secara matang agar keputusan yang diambil berpihak kepada Ketahanan Energi yang Pro Rakyat, karena itu kita harus benar-benar mengawal dan terlibat dalam revisi undang-undang migas kali ini,” ujarnya dalam seminar tersebut.
Ketua Bidang Hubungan Eksternal Serikat Pekerja SKK Migas Bambang Dwi Djanuarto menegaskan dari sisi pekerja yang terpenting dalam revisi undang-undang migas kali ini adalah jaminan terhadap hak-hak pekerja seperti yang ada dalam undang-undang otoritas jasa keuangan.
“Kami ingin dalam pasal peralihan, ada klausul yang menyatakan bahwa pekerja yang akan menjadi pegawai di lembaga atau organisasi baru atau BUMN baru untuk mengelola hulu migas haruslah pekerja SKK Migas karena sudah memiliki pengalaman yang cukup banyak dalam mengelola hulu migas,” katanya.
“Jika menempatkan pekerja baru untuk lembaga baru tersebut maka akan ada dua biaya yg di keluarkan pemerintah yaitu biaya pesangon dan biaya mendidik pekerja baru yang sangat mahal sekali,” ujarnya.
Selain itu, lanjutnya, jaminan pekerjaan itu akan menjadi alat untuk mengantisipasi gejolak sosial yang timbul akibat persoalan tenaga kerja eks SKK Migas nanti.
“Kita ingin iklim politik nasional stabil, iklim investasi stabil dan tidak ada gejolak atau demonstrasi dari pekerja SKK Migas,”.
Untuk diketahui, saat ini kebutuhan konsumsi bahan bakar minyak nasional sebesat 1,6 juta barel per hari sementara kapasitas kilang hanya 1 juta barel per hari dan produksi minyak mentah nasional 800.000 barel per hari. Sehingga Indonesia mengimpor 800.000 barel minyak mentah per hari ditambah impor bahan bakar minyak sebanyak 600.000 batel per hari. Total impor minyak mentah dan BBM Indonesia sebesar 1,4 juta barel per hari. Hal ini menandakan Indonesia sudah krisis energi, khususnya minyak.
Pewarta/Editor: Ach. Sulaiman