NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Komisioner Bidang Pendidikan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti menyampaikan, pada momentum Hari Pendidikan Nasional tahun 2018 ini, KPI mendorong Sekolah Ramah Anak (SRA). Hal ini lahir dari temuan-temuan terkait trend baru dalam kasus kekerasan anak dalam satu an pendidikan. Artinya, KPAI tidak ingin ada lagi kasus kekerasan yang dialami anak-anak, terutama di lingkungan sekolah.
“KPAI mendorong Kemen-PPPA, Kemdikbud dan Kemenag RI untuk bersinergi menciptakan sekolah aman dan nyaman bagi warga sekolah melalui program Sekolah Ramah Anak (SRA). Percepatan SRA harus dilakukan seluruh Kementerian Lembaga (KL) terkait demi kepentingan terbaik bagi anak,” kata Retno, Jakarta, Rabu (2/5/2918).
Baca: Hardiknas, KPAI Paparkan Tren Kasus Kekerasan Anak di Satuan Pendidikan
Menurut Retno, program SRA selama ini hanya dipahami sebatas sekolah aman dari kekerasan, padahal SRA sesungguhnya adalah sekolah yang aman, nyaman dan bermartabat untuk mengantarkan anak-anak Indonesia yang berkualitas menjadi generasi penerus bangsa yang handal.
“SRA tidak sekedar zero kekerasan, tetapi sekolah yang mendeklarasikan sebagai Sekolah Ramah Anak harus memiliki kantin yang sehat. Selama ini jajanan di sekolah didominasi oleh karbohidrat, makanan yang mengadung pemanis, penyedap, dan pengawet. Jarang kantin sekolah menyediakan buah dan sayur. Padahal anak dalam tumbuh kembangnya sangat membutuhkan makanan yang sehat dan gizi yang seimbang,” terangnya.
Baca Juga:
- Hari Pendidikan: 5000 Pelajar Kampanye Stop Ujaran Kebencian, Wujudkan Pendidikan Berkeadaban
- Hari Pendidikan Nasional: Darurat Wawasan Kebangsaan
- Hari Sarjana Nasional, Semua Guru PAUD Wajib Minimal Berpendidikan S1
- Parpol Minus Pendidikan Politik
- Hari Buku Sedunia: Media Sosial Menambah Runyam Segalanya!
Selain itu, kata dia, sekolah yang mengikrarkan diri sebagai SRA juga wajib menciptakan lingkungan sekolah yang aman secara fisik, asri dan hijau, memiliki jalur evakuasi bencana, bebas asap rokok, bebas narkoba, dan memiliki nomor pengaduan jika siswa mengalami kekerasan dan ketidaknyamanan lain saat berada di sekolah.
“Program SRA selama ini diartikan keliru, seolah hanya untuk kepentingan anak, padahal kondisi sekolah yang aman, nyaman, asri, sehat dan nir kekerasan adalah situasi dan kondisi yang yang akan berdampak positif bagi seluruh warga sekolah, termasuk kepala sekolah, guru dan petugas sekolah lainnya,” jelas Retno.
Oleh karena, harap Retno, para guru di berbagai sekolah, seharusnya dibekali psikologi anak agar dapat memahami tumbuh kembang anak sesuai usianya, juga harus diberi pelatihan manajemen kelas sehingga dapat mengatasi anak-anak yang memiliki kecenderungan agresif, dan membangun disiplin positif dalam proses pembelajaran.
“Karena masih banyak guru yang cenderung mendisiplikan siswa dengan kekerasan, bukan dengan disiplin positif,” ujarnya.
Selain itu, Retno menambahkan, Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di satuan pendidikan ternyata belum dipahami oleh para pendidik maupun para birokrat pendidikan, padahal isi Permendikbud ini sangat rinci dalam mendefiniskan jenis-jenis kekerasan dan sanksinya, upaya pencegahan dan penanganan kekerasannya jelas.
“Untuk itu, Kemdikbud harus lebih masif lagi dalam mensosialisasikan ke jajarannya, para guru dan para birokrat pendidikan,” tutup Retno.
Pewarta: Achmad S.
Editor: M. Yahya Suprabana