NUSANTARANEWS.CO – Ketika Kekuasaan Menjadi Pemicu Ledakan Makna Pancasila. ‘Saya Pancasila Saya Indonesia’ merupakan jargon yang dicetuskan Presiden Joko Widodo dengan harapan publik akan menilai dirinya adalah satu-satunya orang yang paling patuh menjalankan nilai-nilai pancasila dan paling takdzim menjalankan amanat ibu pertiwi. Padahal, tanpa dijargonkan, tanpa diserukan, dan tampa dibeber-beberkan, setiap anak yang lahir di tanah pertiwi NKRI ini, di dalam dirinya mengalir darah pancasila.
Bahkan, mengutip peneliti Pusat Studi Pancasila UGM, Diasma Sandi Swandaru, Indonesia sebagai negara Pancasila sudah final. Karenanya, kata dia, tugas dan tanggungjawab utama masyarakat saat ini adalah mendesak dan mewajibkan bagi penyelenggara negara tanpa terkecuali untuk menjalankan Pancasila guna mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah dasar Negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara.
Baca: Tak Ada Kata ‘Tidak’, Penyelenggara Negara Wajib Jalankan Pancasila
Diasma menegaskan, jika ada penyelenggara negara yang tidak menjalankan nilai-nilai Pancasila, inilah yang dapat menodai wajah negara Pancasila. Dengan kata lain, penyelenggara negara yang tidak menjalankan Pancasila, berarti termasuk kelompok Anti-Pancasila. Praktis, kolompok inilah yang menjadi pemicu meledaknya pikiran masyarakat Indonesia yang beragam itu di dalam memaknai pancasila.
Pandangan cukup ekstrem muncul dari seorang aktivis yang juga Direktur Rumah Amanah Rakyat, Ferdinand Hutahaean. Pandangan ini lahir dari rahim keadaan atas persilangan gejolak intrik politik kekuasaan dengan intrik sosial keagamaan. Contohnya? Yang paling segar adalah pernyataan Ketua Fraksi Partai NasDem, Victor Laiskodat dalam pidatonya di NTT baru-baru ini. Berikut ini pandangan Ferdinand Hutahaean:
Kemanakah lagi akan kita cari kebenaran tentang Pancasila di negara yang mengaku ber Pancasila tapi justru membajak Pancasila untuk kekuasaan? Dimanakan lagi kita akan menemukan makna Pancasila dalam pengamalan yang sesungguhnya di tengah kebencian dan kemungkaran kekuasaan?
Sungguh pertanyaan di atas tidak akan mendapat jawaban dari penguasa karena penguasa telah membajak Pancasila demi kelanggengan kekuasaan yang rapuh dan jauh meninggalkan nilai-nilai Pancasila itu sendiri.
Mari coba kita lihat ditengah publik, ditengah kehidupan berbangsa dan bernegara. Kekuasaan begitu amat sangat alergi dengan perbedaan. Kekuasaan bahkan dengan mudah melabeli kritik sebagai anti pemerintah, anti Pancasila dan anti Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kebenaran di bajak, Pancasila di monopoli, Bangsa Indonesia di anggap milik sendiri sehingga siapapun yang berbeda adalah musuh Negara, musuh Pancasila dan musuh NKRI. Begitu kejamnya stigma yang dilekatkan kepada anak-anak bangsa ini, hanya demi sebuah kekuasaan yang tak abadi dan akan segera berlalu.
Kekerasan atas nama Pancasila pun tampak semakin subur tumbuh dibawah negara yang mengakui Demokrasi, menjunjung kebebasan yang bertanggung jawab, menghormati perbedaan dan kebinekaan, serta bernaung di rumah besar Indonesia beratapkan Merah Putih dan berpondasikan Pancasila. Ironisnya, semua itu kini tinggal retorika dibawah pemerintahan Joko Widodo yang terpilih sebagai Presiden atas buah manis reformasi yang mendobrak penindasan dan matinya kemerdekaan warga bernegara.
Buah manis reformasi itu kini seakan dikubur kembali, dibawa mundur bahkan lebih kejam dari Orde Baru yang menutup Demokrasi, menutup kebebasan namun Ekonomi masih dibangun dan tumbuh. Ideologi Komunis di awasi dan tidak diberikan ruang bertumbuh karena kita hanya memiliki satu Ideologi yaitu Pancasila. Era sekarang justru lebih buruk dari itu, demokrasi di jagal, kebebasan berserikat di matikan dengan Perpu, kebebasan bersuara dibungkam dengan memperalat tangan hukum, dan lebih menyedihkan bahwa ekonomi merosot, kemiskinan bertumbuh dan daya beli masyarakat hanya mampu untuk hal-hal yang sangat penting. Buah manis reformasi dibawa mundur dan bahkan lebih buruk dari era sebelum reformasi.
Kemarin atas nama kekuasaan, salah satu kader Partai Pendukung Pemerintah, dengan lantang menyatakan dan menuduh pihak lain yang tidak sejalan dengan pemerintah sebagai Partai Intoleran, pendukung khilafah, bahkan menyamakan dengan PKI yang hsrus dibunuh duluan sebelum membunuh. Merekalah Partai Demokrat, Gerindra, PAN dan PKS. Tudingan itu bersumber dari kader Nasdem Viktor Laiskodat yang juga Jetua Fraksi Nasdem DPR RI. Ini adalah bentuk kekejian politik yang dilakukan oleh penguasa kepada pihak yang berbeda pendapat dan beda pemahaman dengan pemerintah. Semua yang berbeda pendapat dengan pemerintah dicap dan dilabeli anti Pancasila, sungguh provokasi dan propaganda yang keji telah terjadi ditengah bangsa ini hanya untuk sebuah kekuasaan yang tak abadi.
Saya menelisik Platform Partai Demokrat, Gerindra, PAN dan PKS, semua mengakui Pancasila dan NKRI harga mati. Tidak satupun partai itu sepanjang sejarah dari lahir hingga sekarang pernah menyatakan menolak Pancasila dan NKRI. Justru mereka adalah Partai yang sangat Pancasilais terbukti dari sikap mereka menolak pembunuhan Demokrasi dengan menolak UU Pemilu yang cacat logika, dan menolak Perpu Ormas yang memberangus kebebasan tanpa pengadilan. Inilah stigmaisasi terbalik, harusnya penguasa sekaranglah yang anti Pancasila, anti kebebasan dan anti Demokrasi. Pancasila telah dibajak dan dipergunakan menggebuk pihak yang justru hidup mengamalkan Pancasila secara utuh.
Bangsa ini harus segera diluruskan dari kesesatannya dijalan lurus. Kita telah tersesat di jalan lurus dan ini tidak bisa kita biarkan. Presiden sebagai pemangku kekuasaan tertinggi harus segera mengakhiri politik gebuk menggebuk menggunakan Pancasila kepada pihak yang justru Pancasilais.
“Mari kita selamatkan bangsa yang kita cintai ini dari kesesatan arah sebelum justru terjadi Perang Saudara karena Pancasila dibajak dan disalahgunakan oleh kekuasaan,” tutup aktivis Bela Tanah Air itu.
Apa yang Ferdinand pertunjukkan dalam akrobat pemikirannya, hanya salah satu contoh saja dari sekian banyak peristiwa yang mengaduk-aduk pikiran dan mengacaukan isi perut. Peristiwa itu, tidak keliru bila disebut sebagai efek domino dari kegentingan kepentingan yang bergulir di meja-meja berkilau kekuasaan. Ya, di meja para pemangku kepentingan.
Penulis/Editor: Ach. Sulaiman
Baca: Artikel-artikel lainnya seputar PANCASILA dan UUD 1945