Ekonomi

Ketika Impor (Garam) Jadi Ideologi

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Badan Informasi Geospasial (BIG) menyebutkan, total panjang garis pantai Indonesia adalah 99.093 kilometer. Ini data terbaru yang dirilis Tim Kerja Pembakuan Nama Pulau, Perhitungan Garis Pantai dan Luas Wilayah Indonesia. Sementara itu, Indonesia sedikitnya memiliki 13.466 pulau. Dan Indonesia adalah negara maritim atau negara kepulauan terbesar di dunia.

Dengan kenyataan kondisi geografis Indonesia itu, publik kemudian terhenyak ketika mendengar pemerintah membuat kebijakan impor garam. Meski Indonesia memiliki garis pantai yang panjang, ternyata produksi garam dalam negeri tidak mencukupi kebutuhan nasional. Alhasil, untuk mencukupi kebutuhan nasional pemerintah lalu memutuskan impor.

Garis pantai Indonesia yang sangat panjang dinilai bukanlah jaminan ketersediaan produksi garam karena tidak semua pantai bisa menjadi tambak garam, kata ekonom Faisal Basri.

Peneliti Global Future Institute, Hendrajit justru melihat permasalahan impor garam ini dari sisi lain, yakni soal kebiasaan impor. Menurutnya, ada upaya untuk membangun suatu opini bahwa impor itu bukan karena keterdesakan kebutuhan akibat kelangkaan barang melainkan impor merupakan ideologi.

Baca Juga:  Percepat Konektivitas, Pemkab Sumenep Luncurkan Pelayaran Perdana Kapal Express Bahari 8B

“Di negeri kita, sedang dibangun suatu opini bahwa impor itu bukan karena keterdesakan kebutuhan akibat kelangkaan barang, melainkan impor merupakan ideologi. Lebih baik impor daripada produksi sendiri atau swasembada,” kata dia dalam keterangan tertulisnya, Jakarta, Kamis (3/8).

Pemerintah memutuskan untuk membuka impor garam guna mengatasi kelangkaan pasokan garam nasional. Menurut data, produksi garam nasional pada 2016 hanya mencapai 144.000 ton dari kebutuhan sebanyak 4,1 juta ton. Dengan rincian, 780.000 ton untuk konsumsi publik dan sisanya untuk kebutuhan atau keperluan industri. Dan selama 2016, Indonesia nyaris mengandalkan sisa stok garam yang ada. Dan ternyata, persoalan ada di lingkungan kementerian dan lembaga yang tampaknya tidak ada satu kesepahaman terkait dengan data kebutuhan garam nasional. Kementerian dan lembaga juga memiliki pendekatan dan penetapan sendiri-sendiri terkait neraca garam nasional.

Jika melihat UU No.7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan dan Petambak Garam sebagaimana termaktub dalam Pasal 37 disebutkan bahwa Pemerintah mengendalikan impor komoditas pergaraman dan dalam hal impor komoditas pergaraman menteri terkait harus mendapatkan rekomendasi dari menteri. Artinya, seluruh pengendalian dan kebijakan impor garam sepenuhnya menjadi domain Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (KKP RI) sebagai kementerian yang menangani sektor pergaraman.

Baca Juga:  DPRD Nunukan Gelar RDP Terkait PHK Karyawan PT. BHP

Singkat kata, pemerintah memutuskan untuk mengimpor garam sebanyak 75.000 ton dari Australia demi mengatasi kelangkaan garam di sejumlah daerah.

“Inilah sebentuk perang asimetris yang dilancarkan asing. Kita dikondisikan agar secara sukarela jadi orang yang tidak produktif, tidak kreatif dan tidak imajinatif. Padahal, seperti ungkapan Bung Karno: Barang siapa punya imajinasi tentang masa depan, maka dia akan dimenangkan oleh sejarah,” ucap peneliti GFI itu.

Dia memaparkan, secara bertahap negeri kita masuk dalam jebakan skema para kapitalis global yang dilancarkan lewat IMF dan Bank Dunia. Mereka punya skema bernama Structural Adjustment Program (SAP) salah satunya adalah membuka kran impor yang seluas-luasnya.

“Selain titah pada negara-negara patuh pada skema IMF ini, untuk memprivatisasi BUMN dan mencabut subsidi sektor-sektor yang sangat vital bagi masyarakat seperti pendidikan, kesehatan dan BBM,” jelas dia.

Sekadar tambahan, pemerintah kembali menargetkan produksi garam nasional sebesar 3,2 juta ton pada tahun 2017 dan peningkatan kesejahteraan petambak garam dengan dukungan APBN sebesar Rp 9,2 triliun. Hal ini tertuang di dalam Nota Keuangan APBN 2017. (ed)

Baca Juga:  Pembangunan KIHT: Investasi untuk Lapangan Kerja Berkelanjutan di Sumenep

Editor: Eriec Dieda

Related Posts

1 of 3