Ekonomi

Indonesia Importir Minyak Bumi, BBM Hingga Garam

Indonesia Negara Importir
Indonesia Importir Minyak Bumi, BBM Hingga Garam. (Ilustrasi)

NUSANTARANEWS.CO – Dengan sigapnya “Dua Pendekar” Indonesia Menteri ESDM Ignatius Jonan dan Anggota IV BPK Rizal Jalil menindak-lanjuti sentilan Presiden Jokowi mengenai semakin membengkaknya impor minyak  yang semakin membebani neraca Indonesia. Kebutuhan bahan bakar fosil yang mencapai angka 1.8 juta bopd, sementara lifting minyak bumi yang hanya sekitar 750 ribu bopd memang sudah “lampu merah” bagi Indonesia.

Belum lagi minyak Indonesia harus disisihkan untuk cost recovery (pengembalian biaya) dan bagian kontraktor dengan skenario bagi hasil produksi. Terjadi gap yang sangat besar antara produksi minyak bumi dengan kebutuhan impor, yang memprihatinkan adalah Indonesia dahulunya adalah negara eksportir dan banyak memiliki ahli geologi dan perminyakan.

Beban impor minyak yang sangat berat diikuti dengan masalah tingginya tiket penerbangan hingga impor garam yang menggangu produksi garam lokal karena kalah bersaing. Memang diketahui bahwa energi adalah salah satu yang utama agar industri dapat kompetitif dan bersaing. Memang luar biasa dampak dari era globalisasi, produsen, profesional hingga negara dapat tersisihkan hingga “hilang” dikarenakan kalah dalam era persaingan yang sangat ketat.

Globalisasi

Memang yang diingat dari dampak resesi dunia tahun 1997/1998 bukan hanya “bantuan IMF, kasus BLBI dan perubahan UU Migas No. 8 1971 menjadi UU No. 22 tahun 2001, tetapi yang tidak kalah penting Indonesia mau tidak mau harus menghadapi globalisasi dan era persaingan bebas.

Realisasi dari kesepakatan globalisasi memang banyak dirasakan bagi negara-negara di dunia. Negara, produsen, profesional yang mempersiapkan dengan baik strategi dan perencanaannya akan bertahan hingga menang dalam persaingan bebas, sedangkan yang tidak mempersiapkan dengan baik tentunya akan sebaliknya.

Baca Juga: Dinilai Langgar Konstitusi, Kontrak Blok Corridor dengan ConocoPhillips Diminta Dibatalkan

Bisnis garam yang dapat dikatakan tidak dibutuhkan “bahan baku”, Ikut dalam kancah persaingan global. Produsen garam yang efisien dan produksinya berkualitas akan memenangkan persaingan dan menguasai dunia.

Pentingnya Sumber Energi

Memang sumber energi memegang peran yang sangat penting dalam memenangkan kompetisi, seperti persaingan dalam industri penerbangan, produksi garam dan lainnya. Memang sangat tepat setelah selesai pemilihan presiden dan menjelang masuk ke Pemerintahan tahap kedua, Presiden menaruh perhatian penuh akan sektor energi. Apabila energi tidak dapat kompetitif dan harganya “murah”, maka akan sulit sekali Industri atau produksi Indonesia dapat bersaing.

Baca Juga:  Mobilisasi Ekonomi Tinggi, Agung Mulyono: Dukung Pembangunan MRT di Surabaya

Seperti halnya negara-negara di dunia yang meneliti dan mengembangkan secara berkelanjutan (continuous improvement) energi alternatif, saat ini ketergantungan akan energi fosil masih sangat tinggi.

Isu Penting Energi

Beberapa isu menarik terkait dengan perhatian Pemerintah dan masyarakat Indonesia saat ini diantaranya adalah pengembangan Lapangan Gas Abadi di Blok Masela, impor BBM yang semakin tinggi, upgrading dan pembangunan kilang oleh Pertamina yang belum terealisasi hingga masuknya ranah hukum pengembangan usaha hulu Pertamina.

Pertama, Lapangan Gas Abadi di Blok Masela

Persetujuan POD dari Lapangan gas Abadi di Blok Masela memang harus disyukuri, setelah memakan waktu yang sangat lama setelah penemuan lapangan gas pada tahun 1990, sembilan belas (19) tahun kemudian atau pada tahun 2019 POD (Plan of Development) berhasil diselesaikan dan disepakati antara Pemerintah Indonesia dengan Inpex sebagai Pemegang WKP (Wilayah Kerja Pertambangan) dan Kontraktor di Blok Masela. Produksi gas yang diharapkan mengalir pada tahun 2027 diharapkan dapat memenuhi kebutuhan energi Indonesia yang sangat tinggi Dan harganya dapat lebih murah.

Dengan skema pendanaan TBS (Trustee Borrowing System) yang melibatkan multi source financing dan multi buyers, Pemerintah Indonesia beserta SKKMIGAS dan Inpex harus waspada agar semua pembahasan dapat berjalan lancar dan projek dapat diselesaikan tepat waktu. Pembiayaan projek yang besar, pengembalian biaya atau cost recovery, jaminan pasokan gas dan jaminan pembayaran pembelian gas hingga jaminan pembayaran hutang, bunga dan lainnya perlu dioptimalkan strategi dan perencanaannya agar manfaatnya dapat dapat dioptimalkan bagi Indonesia.

Memang disayangkan, bukan NOC (National Oil Company) Indonesia atau Pertamina yang bertindak sebagai Kontraktor di Blok Masela. Pertamina memang harus tidak puas hanya mengelola blok-blok migas pasca terminasi atau yang kontraknya telah habis. Harus mampu bersaing sebagai International Oil Company.

Kedua, Upgrading dan Pembangunan Kilang baru

Tidak mudah untuk merealisasikan upgrading Kilang dan Pembangunan Kilang  baru oleh Pertamina dan Indonesia, kilang terbaru yang berhasil dibangun terakhir di Indonesia adalah Kilang Balongan dimana saat itu Indonesia atau Pertamina masih memiliki minyak sendiri yang cukup untuk pasokan ke Kilang Balongan.

Kilang minyak memang bukan seperti pabrik, kilang hanya merupakan pemoles minyak mentah menjadi produk kilang. Incremental Value atau kanaikan Nilai minyak mentah menjadi produk kilang hanya berkisar antara 8% hingga 10%. Atau dengan kata lain besarnya kompenen harga dari produk kilang (BBM, avtur dan lainnya), 90% hingga 92% adalah biaya minyak mentah atau feed stock. Dengan biaya kilang yang tinggi, sekitar 10 milliar USD untuk kapasitas 300 ribu bopd, tidak mungkin terbangun (non ekonomis) apabila tidak dimiliki minyak atau crude oil sendiri.

Baca Juga:  Pemkab Nunukan Gelar Konsultasi Publik Penyusunan Ranwal RKPD Kabupaten Nunukan 2025

Kegagalan upgrading kilang dilematisnya juga selalu terulang, penilaian atau valuation kilang eksisting yang menjadi masalah utama selalu berulang kembali. Seolah-olah tidak terjadi lesson learned atau proses pembelajaran dari kegagalan usaha upgrading kilang sebelumnya. Pertamina sebagai pemilik kilang eksisting yang telah berjalan tentunya ingin dinilai tinggi, tetapi Partners Pertamina dipastikan ingin sebaliknya. Tentunya apabila upgrading kilang akan dikerjakan dengan business modelling yang sama, harapan terealisasi akan sangat tipis. Pada akhirnya Presiden Jokowi dan rakyat Indonesia akan kecewa, menunggu dan menunggu (waiting for godot) terus,  proyek kilang selalu gagal dan gagal.

Ketiga, Pengembangan Usaha Hulu, Pencarian Cadangan dan Produksi Minyak dan Gas Bumi

Tentu tepat langkah Menteri ESDM Ignatius Jonan dan Anggota IV BPK Rizal Jalil menyoroti Pengembangan Usaha Hulu Pertamina, dalam industri minyak bumi. Karena memang yang utama adalah menemukan, memproduksi hingga memiliki lapangan migas. Pembangunan kilang, pemasaran dan penjualan produk kilang hingga ketahanan energi Indonesia dapat lebih mudah terealisasi apabila dimiliki cadangan dan produksi minyak minyak bumi.

Pertamina sedang mengalami trauma dan ketakutan, dikarenakan usaha pengembangan hulu mencari minyak dan gas bumi disandungkan dengan masalah hukum. Rizal BPK merasa heran, dalam kasus yang sedang terjadi di Indonesia meskipun secara jelas niatnya adalah mengembangkan usaha Hulu untuk mendapatkan cadangan dan produksi migas serta meningkatkan ketahanan energi Indonesia serta tidak terdapat uang haram dan/atau transaksi liar, tetapi yang terjadi pejabat dan profesional di BUMN Migas harus meringkuk di Penjara.

Para pengegak hukum dikritik tidak mengerti resiko bisnis hulu, bahkan Jonan menyarankan para penegak hukum masuk kedalaman bumi untuk memastikan jumlah atau besarnya cadangan migas. Apabila salah menghitung cadangan dan tidak terealisasi produksinya dengan yang direncanakan atau diestimasikan, maka diancam pidana dan dibui.

Baca Juga:  Sokong Kebutuhan Masyarakat, Pemkab Pamekasan Salurkan 8 Ton Beras Murah

Kasus penemuan minyak di Cepu oleh ExxonMobil, akan mengancam pidana bagi Pertamina dan Humpuss yang dahulu tidak berhasil menemukan minyak di Struktur Banyu Urip. Mengapa dulu gagal dan setelah dikelola ExxonMobil mengapa berhasil?

Usaha Pertamina untuk meningkatkan cadangan migas dan ketahanan energi telah dilakukan dengan sepenuh hati, diantaranya pada tahun 2009 ditandai dengan Pembelian atau akuisisi Hak Kelola atau Participating Interest (PI) 10% di 3 Blok Basker, Manta dan Gummy (dikenal sebagai Blok BMG) Australia. Pada saat ini atau tahun 2019, faktanya Blok BMG merupakan Blok Migas yang aktif beroperasi dan nilai atau harganya jauh lebih tinggi dibandingkan pada saat Pertamina akuisisi tahun 2009. Tetapi anehnya akuisisi dianggap merugikan keuangan negara dan beberapa personil Pertamina dituduh melakukan korupsi dan telah dipenjara.

Dalam seminar yang dihadiri oleh Jonan dan Rizal, juga disinggung mengenai komisaris BUMN yang tidak profesional dan bertanggung jawab. Mereka hanya menikmati gaji dan bonus tinggi serta mobil mewah, namun mengghindar atau lari apabila harus ikut tanggung jawab.

Pemerintah Indonesia dengan panglimanya yaitu Kementerian ESDM dan BPK memang segera harus melakukan pemeriksaan terhadap perintah divestasi PI atau Hak Kelola di Blok BMG oleh Komisaris Pertamina. Tidak masuk akal, PI yang baru saja dibeli hanya kurang 1 bulan diperintahkan untuk di Divestasi.

Buyarlah strategi dan perencanaan pengembangan usaha berkelanjutan dari Pertamina di Australia, sasaran Pertamina untuk berjaya mempunyai lapangan dan Produksi gas seperti Inpex di Blok Masela telah digagalkan. Saat ini Australia telah menjadi negara eksportir LNG terbesar di dunia.

Kegagalan bisnis pengembangan usaha hulu mengakibatkan impor minyak meningkat terus dan produksi garam Indonesia akan kalah bersaing dengan impor garam.

Pemerintah Indonesia harus turun gunung agar Pertamina tidak mengalami trauma yang berkepanjangan untuk mengembangkan usahanya, tidak dihantui dengan tidak mengertinya resiko bisnis hulu. Tidak terjadi kesewenang-wenangan para penegak hukum, yang disebabkan karena tidak mengerti atau tidak mau mengerti akan Resiko bisnis hulu. Indonesia butuh ketahanan energinya meningkat, menjadi eksportir migas dan produksi garam Indonesia dapat bersaing dan di ekspor.

Oleh: Bayu Kristanto, Penulis Adalah Pengamat Perminyakan

Related Posts

1 of 3,086