Ekonomi

Pemerintah Diminta Kembali ke UU 7 Tahun 2016 Untuk Selesaikan Kisruh Garam

Petambak Garam Indonesia. (Foto: Mahdi/NUSANTARANEWS.CO)
Pemerintah Diminta Kembali ke UU 7 Tahun 2016 Untuk Selesaikan Kisruh Garam. (Foto: Mahdi/NUSANTARANEWS.CO)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menyarankan kepada pemerintah untuk kembali ke UU 7 Tahun 2016 dalam menyelesaikan kisruh garam. Sebagaimana diketahui, sejak sepekan terakhir, jelang panen garam, masyarakat petambak garam, khususnya di Cirebon Jawa Barat mengeluhkan penumpukan garam rakyat di sejumlah gudang.

Para petambak mengeluhkan garam mereka yang tidak terserap oleh pasar. Untuk harga garam sendiri, harganya sangat rendah mencapai Rp300 perkg. Susan Herawati menyatakan bahwa tata kelola garam di Indonesia semakin hancur karena pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengendalian Impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman Sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri.

“Inilah regulasi yang secara terang-terangan menghancurkan tata kelola garam nasional setelah sebelumnya Menteri Perdagangan menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan No. 125 Tahun 2015,” ungkap Susan Herawati, dalam keterangan tertulisnya, Jumat (5/7/2019).

Baca Juga: Petani Garam Sumenep Keluhkan Rencana Pemerintah Impor Garam

Baca Juga:  Pemdes Jaddung Salurkan Bansos Beras 10 kg untuk 983 KPM Guna Meringankan Beban Ekonomi

Susan menggarisbawahi dua persoalan mendasar dalam PP 9 Tahun 2018 yang menghancurkan tata kelola garam nasional, yaitu pertama, pasal 5 ayat 3 mengenai volume dan waktu impor, sebagaimana tertulis, volume dan waktu pemasukan komoditas pergaraman ditetapkan berdasarkan hasil rapat koordinasi yang diselenggarakan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koordinasi perekonomian.

Kedua, pasal 6 persetujuan komoditas impor, sebagaimana tertulis persetujuan impor komoditas perikanan dan komoditas pergaraman diterbitkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan untuk Bahan Baku dan bahan penolong industri sesuai rekomendasi menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian.

“Dua pasal ini merupakan bentuk nyata liberalisasi garam nasional atas nama industri. PP 9 Tahun 2018 ini jelas-jelas bertentangan dengan UU No. 7 Tahun 2016 Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam,” jelasnya.

Dalam hal tata kelola Garam, UU No. 7 Tahun 2016 memandatkan bahwa Pengendalian impor komoditas perikanan dan komoditas pergaraman harus dilakukan melalui penetapan waktu pemasukan.

Baca Juga:  Peduli Sesama, Mahasiswa Insuri Ponorogo Bagikan Beras Untuk Warga Desa Ronosentanan

“Dalam hal ini impor garam tidak boleh dilakukan berdekatan dengan musim panen garam rakyat karena akan berdampak terhadap turunnya harga garam di tingkat masyarakat,” tambah Susan.

Selain itu, UU No. 7 Tahun 2016 memandatkan impor komoditas garam harus mendapatkan rekomendasi dari Menteri terkait.

“Dalam hal ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Inilah dua hal yang dilanggar oleh PP 9 Tahun 2018,” tandasnya.

Pewarta: Romandhon

Related Posts

1 of 3,052