Kesinambungan Pemerintah Berutang

Utang Pemerintah Jokowi

(Ilustrasi)

Kesinambungan Pemerintah Berutang. Usia Republik Indonesia menginjak angka 72 tahun. Sepanjang itu pula, Indonesia terbelit utang.

Bahkan, utang pemerintah semakin gendut dari masa ke masa. Mulai dari era orde lama, orde baru hingga era reformasi dan era saat ini yang sudah tidak jelas era apa namanya. Kalau disebut era reformasi rasa-rasanya sudah kehilangan makna.

Lima kali pergantian presiden tampaknya belum mampu mengantarkan Indonesia keluar dari lilitan utang. Bukannya membawa Indonesia keluar dari utang, masing-masing presiden justru melanjutkan tongkat estafet warisan utang untuk presiden selanjutnya. Indonesia pun semakin terperangkap dalam kebiasaan utang. Walapun ada Presiden yang berjanji sewaktu berkampanye mencalonkan diri sebagai Presiden “tidak akan berutang”.

Indonesia saat ini sulit melepaskan diri dari jerat utang. Sebab, kebiasaan berutang sudah dimulai sejak republik ini masih seumur jagung. Indonesia sudah diwarisi utang oleh pemerintah Hindia Belanda pada 1949. Warisan utang dari pemerintah Hindia Belanda itu adalah salah satu kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda sebagai syarat kemerdekaan. Penyerahan kedaulatan disertai pengalihan utang dari pemerintahan Hindia Belanda.

Kehebatan Presiden Soekarno adalah sempat tak setuju dan membatalkan warisan utang yang menjadi beban bagi Indonesia. Utang dari pemerintah Hindia Belanda pun tak seluruhnya dibayar. Namun demikian, Bung Karno juga tidak berdaya untuk tidak berutang. Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Bung Karno juga berutang ke negara-negara Blok Timur, Uni Soviet dan sekutunya. Ada bantuan (utang) dari AS, tapi jumlahnya tidak lebih besar dari negara Blok Timur. Bung Karno, mewariskan utang sebesar USD 2,5 miliar (di luar utang Hindia Belanda USD 4 miliar), kepada pemerintahan Soeharto.

Adapun perjalanan kesinambungan utang setiap periode Presiden, dapat kita lihat berikut ini, dengan menghitungnya dalam rupiah supaya dapat dibayangkan oleh masyarakat besarnya angka tersebut.

Soeharto selama 32 tahun pemerintahannya meninggalkan utang Rp 551,4 triliun (termasuk warisan dari Bung Karno). Habibie menambah utang sebesar Rp 387,4 triliun. Jadi total outstanding utang Indonesia mencapai Rp 938,8 triliun. Gus Dur menambah utang Rp 332.6 triliun, dan total utang pemerintah pusat Indonesia menjadi Rp 1.271,4 triliun. Bu Mega menambah utang sebesar Rp 26.6 triliun sehingga total utang pemerintah pusat Indonesia adalah Rp 1.298 triliun. SBY dalam 10 Tahun kepemimpinannya berutang sebesar Rp 1.310 triliun, sehingga total utang pemerintah pada akhir 2014 adalah Rp 2.608,8 triliun. Dan saat ini periode Presiden Jokowi, sampai dengan Juni 2017 sudah menambah utang sebesar Rp 1.097,72. Dan total utang pemerintah Indonesia saat ini adalah Rp Rp 3.706,52 triliun.

Perjalanan utang pemerintah dari dulu sampai sekarang, memang terlihat jelas bahwa pemerintah Republik Indonesia siapapun presidennya mempunyai kesinambungan yang sama dalam meminjam uang (berutang) ke Luar negeri. Artinya, untuk melaksanakan pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan, diperlukan dana. Dana yang dimiliki pemerintah tidak cukup, sehingga harus berutang. Logikanya suatu pembangunan yang dilakukan harus menghasilkan produk dengan tingkat produktifitas yang tinggi. Dan juga yang penting pembangunan itu memerlukan kesinambungan. Utang yang berkesinambungan juga harus dibarengi dengan pembangunan yang berkesinambungan atau berkelanjutan.

Memang kita ada RPJP (Rencana Pembangunasn Jangka Panjang) 20 tahun ke depan, dan mempunyai RPJM yaitu dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (untuk masa 5 tahun). Ada Program Strategis Nasional, ada Program Prioritas, yang disesuaikan dengan janji-janji Presiden sewaktu kampanye yang harus direalisasi dan terncantum dalam RPJM dan RKP (Rencana Kerja Pemerintah) setiap tahunnya. Dokumen-dokumen tersebut sudah merumuskan dan memastikan kesinambungan pembangunan yang dikemas dengan baik oleh Bappenas.

Dalam implementasinya, terasa bahwa setiap pergantian Presiden tidak dapat dihindari terjadinya disharmonisasi dalam melihat kesinambungan pembangunan. Hal ini terkait prioritas dan nomenklatur yang digunakan. Misalnya soal kebijakan subsidi kepada masyarakat miskin dan tidak mampu. Periode SBY terkesan atau dikesankan menggunakan APBN kurang memperhatikan pembangunan infrastruktur, dan banyak dialokasi untuk berbagai subsidi listrik, BBM, pangan dan subsidi lainnya. Periode Jokowi muncul istilah Nawa Cita yang terkesan berbeda dengan program pembangunan periode sebelumnya. Infrastruktur menjadi prioritas tinggi membangun tol laut, tol darat, transportasi udara, kereta api, dan sarana prasarana lainnya. Kesannya periode SBY kurang memperhatikan pembangunan infrastruktur. Padahal para birokrasinya adalah mereka para pelaku di kedua Presiden tersebut.

Di satu sisi, di kalangan masyarakat muncul isu-isu yang membenturkan kebijakan antar Presiden oleh mereka yang tidak puas, (bisa yang tidak puas ke SBY dan juga yang tidak puas ke Jokowi) yang tidak elok dan tidak patut dilakukan. Sebab, hal tersebut tidak mencerdaskan masyarakat.

Yang perlu didorong dan dibangun dalam pola pikir penyelenggara negara dan berbagai kelompok masyarakat saat ini adalah membangun konsensus bersama, bahwa proses pembangunan itu bukan “sumbu pendek” tetapi adalah “sumbu panjang” berkelanjutan dan jangka panjang. Kebijakan yang diambil oleh setiap Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan seharusnya merupakan proses berkelanjutan dan penyempurnaan sebagaimana yang telah diarahkan dalam RPJP.

Hal-hal yang belum selesai dikerjakan periode sebelumnya agar diteruskan, supaya masyarakat tidak dirugikan. Dan hal-hal yang hendak diteruskan tersebut ada yang perlu disempurnakan/diperbaiki tentunya diperbaiki agar lebih efisien dan efektif. Tentu Presiden yang sedang memegang mandat ada sesuatu legacy dalam periodenya. Itu merupakan hal yang wajar dan dibutuhkan untuk membangun semangat baru rakyatnya.

Dengan semangat saling menghargai dan menghormati antar rezim pemerintahan, merupakan proses pendididkan politik yang luar biasa bagi para politisi yang masih harus belajar banyak untuk berpolitik dengan santun dan beretika.

Kebersamaan antar rezim pemerintah untuk terus berutang, harus juga dilanjutkan dengan kebersamaan untuk melaksanakan pembangunan yang berkelanjutan, dan tentunya juga harus didukung iklim politik yang kondusif yang harus dimainkan oleh para politisi di parlemen.

Kita sudah 72 tahun Merdeka, waktu yang sudah cukup lama untuk tidak berubah. Semoga dengan pertolongan Allah SWT, perubahan itu datang pada diri kita, dan pada seluruh bangsa Indonesia. MERDEKA!

Penulis: Chazali H. Situmorang, Dosen FISIP UNAS/UNIDA, Pemerhati Kebijakan Publik

Exit mobile version