NUSANTARANEWS.CO – Konstelasi politik menjelang pemilihan kepala daerah 2017 nampak semraut, utamanya di pusat kota Indonesia, DKI Jakarta. Politik kembali diciderai oleh cara-cara tidak elegan, alias memasukkan isu SARA ke dalamnya sebagai agenda propaganda. Lantas bagaimana cara menanggulangi penggunaan SARA dalam Pilkada?
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz mengatakan, bahwa Undang-Undang Pilkada Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 69 menyebutkan, dalam melaksakan kampanye Pilkada dilarang melakukan penghinaan kepada seseorang, agama, suku, ras dan golongan terhadap calon kepala daerah.
“Dalam pasal yang sama kampanye juga dilarang menghasut, memfitnah, mengadu domba partai politik, perseorangan dan atau kelompok masyarakat,” tutur Masykur kepada nusantaranews, Selasa (11/10) malam.
Masykur menilai ketentuan Pidana terhadap praktik penghinaan tersebut dinyatakan, bahwa setiap orang yang melakukan penghinaan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 bulan dan paling lama 18 bulan dan/atau denda paling sedikit 600.000 dan paling banyak 6.000.000 rupiah.
“Kata kunci dari praktik penggunaan SARA adalah pada kata “Penghinaan”. Penghinaan adalah perbuatan baik lisan atau tulisan yang ditujukan untuk menistakan atau melakukan pencemaran nama baik terhadap calon kepala daerah,” terangnya.
Dalam konteks Pilkada, lanjut Masykur, berarti perbuatan yang dilakukan untuk menistakan calon kepala daerah dengan menggunakan latar belakang agama, suku, ras dan antar golongan. “Artinya, bagaimana agama, suku, ras dan antar golongan digunakan untuk menistakan calon atau pasangan calon dalam proses penyelenggaraan Pilkada,” imbuhnya.
Menurut dia, batasan penistaan atau bukan dalam konteks Pilkada adalah pengaruhnya terhadap keterpilihan calon. Artinya, terdapat kerugian atas keterpilihan yang dialami pasangan calon atas adanya praktik penistaan tersebut. Apabila tindakan penistaan tersebut dinilai oleh calon telah merugikan nama baik dan mempengaruhi keterpilihan maka dapat melaporkannya kepada pihak yang menangani.
“Dalam penanganan tindak pidana Pilkada, laporan penghinaan berdasarkan latar belakang SARA dilakukan oleh lembaga pengawas Pemilu dengan kepolisian yang tergabung dalan sentra penegakan hukum terpadu. Penyidik kepolisian yang tergabung dalam sentra penegakan hukum terpadu dapat melakukan penyelidikan setelah adanya laporan pelanggaran Pemilihan yang diterima oleh Pengawas Pemilu,” kata Masykur.
Proses penegakan hukum Pidana Pilkada, bagi masykur menjadi jalur paling baik untuk memberikan sanksi sekaligus tindakan pencegahan terhadap praktik penghinaan dengan menggunakan isu SARA. Tindakan tersebut dapat dilakukan oleh calon sekaligus untuk langsung melaporkan ke lembaga pengawas daripada menanggapinya kembali sehingga menjadi perdebatan publik yang seringkali kontraproduktif.
“Semakin cepat proses penegakan hukum terkait SARA menjadi wujud komitmen semua pihak dan akan terjadi saling kontrol antar pasangan calon. Penghormatan terhadap proses dan keputusan pengadilan atas pelanggaran pidana tersebut dapat meminimalisir isu-isu SARA yang berkembang di masyarakat,” terangnya lagi.
Diluar itu, kata masykur labih lanjut, yang jauh lebih utama adalah tidak menggunakan isu SARA sebagai alat kampanye tetapi lebih mengedepankan adu gagasan dan konsep perbaikan dan kemajuan daerah. “Mengisi hari-hari kampanye dengan penyampaikan program akan jauh lebih menarik bagi masyarakat daripada menggunakan isu primordial,” pungkasnya. (Sulaiman)