NUSANTARANEWS.CO – Sejumlah lembaga seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, ICJR, Elsam, Yappika, dan Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) mengirimkan laporan UPR ke Dewan HAM (Hak Asasi Manusi) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terkait kondisi faktual hak atas kebebasan berekspresi, berkumpul, dan berorganisasi di Indonesia.
Laporan tersebut merujuk pada Rekomendasi UPR 2012 yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia. Laporan tersebut terdiri dari 7 Sub judul yaitu Kerangka hukum yang membatasi hak atas kebebasan berekspresi, Hak kebebasan berekspresi, Ujaran kebencian, Kriminalisasi menggunakan pasal makar/106, 110 KUHP, Hak atas berkumpul, Kunjungan pelapor khusus PBB untuk isu kebebasan berekspresi dan yang ke tujuh akses jurnalis Papua.
Menurut Head of Research and Networking Division LBH Pers Asep Komarudin, ada beberapa peraturan yang saat ini jelas menghambat hak kebebasan berekspresi dan berkumpul. Pertama seperti UU ITE beserta revisinya, Kedua pasal deramasi dalam KUHP dan RKUHP, Ketiga UU Ormas, Keempat Permen Kominfo tentang Blocking/ penanganan konten negatif, kelima Qanun Aceb tentang hukum Jinayat dan Peraturan Kapolri dan Kapolda Papua tentang Penyampaian pendapat di muka umum.
“Dalam laporan tersebut setidaknya sepanjang 2015 sampai bulan Agustus 2016, tercatat ada kurang lebih 72 kasus pelanggaran Hak Berkumpul dan Berekspresi di Indonesia,” kata Asep dalam sebuah diskusi publik di Kafe Tjikini, Jakarta Pusat, Senin, (26/9).
Kelompok atau tema yang paling sering menjadi target para pelaku usaha langganan yaitu LGBTI, Isu Marxisme atau biasa disebut PKI dan Papua.
Sedangkan tindakan yang dilakukan oleh para pelaku baik pihak kepolisian maupun oleh organisasi masa lainnya yakni seperti pelarangan acara, intimidasi, Pembubaran paksa, penggeledahan, illegal, perusakan Alat, pembredelan, dan penangkapan.
Di Papua saja, sejak 2014 sampai 2016 lebih dari 20 kegiatan unjuk rasa yang dibubarkan, dan mayoritas dari pembubaran tersebut diikuti oleh penangkapan dan perlakuan kekerasan.
“Seperti pada 02 Mei 2016 lalu, kepolisian telah menangkap setidaknya 1.700 aktivis akibat berpartisipasi dalam kegiatan aksi damai. Sedangkan tempat lain selain Papua dan Jogja, yang cukup sering terjadi di langganan adalah daerah NAD/Aceh. Kelompok minoritas dan rentan seperti LGBT sering menjadi target operasi pembubaran bahkan penangkapan karena hanya berkumpul di tempat usaha seperti salon, dan lain-lain,” ungkap Asep.
Dengan kondisi kebebasan berekspresi yang kian mengkhawatirkan, maka lembaga-lembaga itu mendesak Pemerintah Indonesia untuk menjalankan empat usulan. Pertama segera menghentikan segala upaya pembatasan penikmatan atas kebebasan politik secara damai.
“Pemerintah Indonesia harus melakukan Penuntut pihak lain yang melakukan penghentian hak kebebasan berekspresi secara politik secara damai,” katanya.
Kedua melakukan perubahan seluruh regulasi (diatas) terkait dengan pembatasan hak kebebasan berekspresi dan berkumpul secara sungguh-sungguh dan juga secara konsisten harus melakukan kewajibannya untuk mengadili kasus-kasus hate speech sesuai dengan Perundang-undangan yang berlaku dan menghentikannya impunity dalam kasus-kasus tersebut.
“Ketiga mencabut UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang organisasi kemasyarakatan (Ormas) karena tidak sejalan dengan konstitusi Indonesia,” katanya.
Dan yang terakhir pemerintah Indonesia harus menjamin akses yang bebas dan aman pada jurnalis lokasp atau jurnalis asing dalam meliput isu Papua dan Papua Barat. (Restu)