Cerpen

Janji Beringin

Janji Beringin, Cerpen: Dian Nangin

Cekakak-cekikik sarat keriangan terdengar memenuhi taman itu, amat berbanding terbalik dengan air muka seorang perempuan tua yang menatap sebatang beringin yang juga sudah tua di tepi taman. Kepalanya mendongak, memandang ke ujung batang tempat rerimbunan gelap penuh jalinan kusut akar-akar yang ujungnya jatuh menggantung. Kedua tangannya bertaut di depan perut, seolah sedang berdoa menyampaikan sesuatu, entah pada Tuhan atau si pohon beringin.

“Apa kabar kekasihku? Pernahkah ia datang menemuimu?”

Pelan, ia membisikkan pertanyaan itu—tak ingin ada telinga lain yang ikut mendengar. Apa yang akan dipikirkan orang tentangnya bila mendengar pertanyaan yang ia lontarkan tersebut? Sudah setua itu, namun masih merindukan kekasih? Orang-orang tentu membayangkannya sebagai wanita tua kebanyakan yang menghabiskan usia senja dengan merajut benang wol menjadi baju hangat, topi, kaus kaki, atau apapun yang ia kuasai  untuk dihadiahkan pada cucu-cucunya yang berisik namun ia sayangi.

Pasti tak akan ada yang menyangka kalau sebenarnya ia masih sendiri, tak pernah menikah. Masih perawan malah, tak pernah bercinta barang sekali saja—orang-orang pasti tertawa mendengarnya; ah, masa? Bahkan di jaman sekarang ini remaja-remaja bau kencur sudah pintar bersetubuh.

Namun, kesendirian itu ia lakoni bukan tanpa alasan. Ada seutas janji yang mengikatnya bersama seorang lelaki. Janji yang tak berani—tak ingin—ia buka simpulnya sembarangan seolah ada segudang karma yang siap mengguyurnya.

Sebenarnya puluhan tahun sudah berlalu sejak ikrar itu terucap. Hanya ada semesta sebagai satu-satunya saksi. Sebab waktu itu mereka bukan sepasang remaja yang menulis janji di atas kertas berwarna dan beraroma manis, lalu menguburnya dalam tanah bersama beberapa barang kenangan untuk digali lagi dalam kurun waktu tertentu, sebagai pengingat untuk kembali. Lalu merayakan pertemuan dengan gula-gula kapas, komidi putar, atau bermain game demi memenangkan sebuah boneka panda. Tidak, itu terlalu picisan.

“Tinggal saja di sini,” si perempuan—yang waktu itu masih gadis ranum usia belasan tahun—memelas. Dengan mata basah ia menahan seorang pemuda, kekasihnya, yang bersiap melarikan diri ke dalam hutan bersama seluruh lelaki di desa, sebab telah tersebar kabar bahwa pasukan Jepang akan segera tiba.

“Ini sama sulitnya bagiku; memilih pergi atau tetap tinggal denganmu sama berbahayanya,” kata pemuda itu.

Si perempuan terdiam—tahu bahwa kalimat lelaki itu benar. Pernah beberapa waktu lalu kejadian serupa terjadi. Para lelaki di desa pontang-panting melarikan diri. Namun pemuda itu—demi cintanya pada si perempuan, menyembunyikan diri di bawah timbunan anyaman keranjang bambu. Tubuhnya gatal dan memar, namun ia tak berani bergerak. Beberapa waktu lamanya ia menekuk diri hingga orang-orang bergegas  menyelamatkannya sebelum mati lemas.

Perang membuat para lelaki jarang kembali. Kepergian mereka untuk waktu yang tak menentu seringkali berakhir dengan berita buruk; kematian. Syukur-syukur masih ada jasad yang bisa ditangisi, namun lebih sering mereka meratapi nama dan bayangan dalam benak.

“Tunggu aku di bawah beringin di taman,” ujar lelaki itu demi meredam kegalauan di hati perempuannya. “Aku tak tahu kapan akan kembali, namun aku pasti akan menemuimu di sana.”

Tak ada pilihan bagi perempuan itu selain mengangguk pahit. Dan, disinilah ia berakhir; di hadapan pohon beringin tua yang tersisih di tepi taman, tak diinginkan. Kelabu dan kesepian. Ia tak cantik—terlihat angker malah, apalagi sering berhembus rumor tak sedap tentangnya yang selalu dikaitkan dengan sesuatu yang mistis atau gaib. Kolam air mancur di tengah taman yang menyemprotkan air dalam formasi yang telah ditata dan dihiasi patung-patung bangau itu tentu lebih menarik perhatian.

Perempuan tua itu mendesah. Sesekali logika mampir di kepalanya. Ah, barangkali janji itu sudah kadaluarsa. Mungkin lelaki itu sudah menikah, hidup bahagia, menghabiskan masa tua bersama cucu-cucunya, tak menganggap janji yang terucap dulu pernah ada.

Puluhan tahun telah berlalu. Lelaki itu pasti telah berubah. Mungkin ia takkan mengenali lagi seandainya pun mereka bertemu. Sama seperti kota ini. Kota ini telah banyak berubah. Gedung-gedung menjulang telah menjajah sebagian besar tanah. Beberapa bangunan tua terperangkap di tengah kota, dibiarkan apa adanya. Dikunjungi sebagian orang hanya untuk berplesir, mengambil foto untuk eksistensi tanpa benar-benar menghayati dan peduli pada kisah yang pernah tertoreh di dalamnya.

Atau? Perempuan tua itu tercenung. Sebuah kemungkinan telah lama bercokol dalam benaknya; satu kemungkinan paling buruk. Namun ia lebih memilih memelihara harapan. Harapanlah yang membuatnya tetap hidup.

Mata lamurnya memandang bocah-bocah yang berlarian hingga bunyi kriyut-kriyut terdengar dari sepatu mereka yang lucu. Tangan mereka menggenggam tali yang menahan balon-balon aneka warna di udara. Orang-orang dewasa duduk bersama pasangan di atas bentangan tikar, menikmati satu dua tangkup roti. Badut-badut berperut gendut dan berhidung merah mempertontonkan atraksi. Sungguh meriah.

Tahu apa mereka tentang penderitaan masa penjajahan dulu? desah perempuan itu. Peduli apa mereka dengan sejarah kelam bangsa ini yang menyiksaku hingga sekarang?

Dihelanya nafas panjang. Sudah tak menghitung berapa kali ia datang ke tempat itu, namun hingga lelaki tersebut datang, ia masih akan tetap kembali besok, besoknya, besoknya lagi, hingga besok untuk kali yang sudah tak terhitung.

“Kinah?”

Sebuah suara menyebut namanya. Perempuan tua itu termangu. Tumpukan rindu akut sekarang membuatnya mudah berhalusinasi.

“Kaukah itu, Kinah?”

Dulu ia sering membayangkan tentang pertemuannya dengan lelaki itu, melamunkan adegan demi adegan penuh haru yang akan terjadi suatu hari. Namun ‘suatu hari’ yang ditunggu itu tak pernah tiba. Kini imajinasi yang terlalu lama mengendap di benaknya itu terputar begitu saja tanpa diminta.

“Ini benar kau, kan, Kinah?”

Perempuan itu menoleh. Seorang lelaki tua berpenampilan lusuh datang mendekat. Sebuah buntalan kain menggantung di bahunya. Ia tampak seperti baru melakukan perjalanan panjang dan rautnya menyiratkan betapa ia lega telah tiba di tempat yang paling ingin ia tuju.

“Toha?!”

Beberapa saat lalu perempuan tua itu meragu apakah mereka masih akan saling mengenali satu sama lain setelah rentang puluhan tahun perpisahan. Namun kini, dalam beberapa detik kedua pasang mata beradu, tahulah ia bahwa ia tak salah mencocokkan nama dengan wajah.

“Apa ini benar-benar nyata?”

Langkahnya terantuk mendatangi si lelaki tua dan lusuh. Segala adegan imajinasi dalam kepalanya buyar begitu saja. Dalam sekejap, kedua bibir keriput bertemu dan saling memagut. Lelaki itu merentangkan tangannya yang gemetar dan mengunci tubuh si wanita tua dalam rengkuhannya.

Orang-orang yang melihat hanya mengira mereka tak lebih dari pasangan yang sedang dimabuk asmara pada usia dan tempat yang salah. Beberapa orang tersenyum maklum, sebagian tertawa geli. Ada juga yang terang-terangan menunjukkan rasa risih.

“Sudah tua begitu, apa nggak punya hal lain yang dipikirkan kecuali berahi?”

Para ibu spontan menutup mata anak-anak mereka, sementara mereka sendiri membuang pandang. “Jangan tengok! Mereka orang tua sinting!”

“Mereka pikir mereka masih ABG kali, ya…”

Ada juga yang bergidik ngeri, seolah pemandangan yang disuguhkan pasangan tua itu menggenapi keangkeran si pohon beringin. Namun, tanpa hirau pada sekitar, pasangan tua itu semakin khusuk menikmati pertemuan mereka. Orang-orang itu tak pernah tahu bahwa dalam setiap kecupan, waktu perlahan memudar. Pasangan tua itu terlempar kembali ke masa muda dan menjemput apa yang pernah sangat mereka impikan.

Medan, 2016-2017

*Eka Dianta penulis memiliki nama pena Dian Nangin. Lahir pada 23 Juni 1991 dan saat ini tinggal di Medan. Bekerja secara freelance sambil terus mengasah kemampuan di bidang menulis khususnya fiksi. Beberapa karya penulis berupa cerpen telah terbit di sejumlah media cetak seperti Harian Analisa, Medan Bisnis, Sumut Pos, Waspada, Joglosemar, Banjarmasin Post, Rakyat Sultra, dan sebagainya. Penulis dapat dihubungi di email [email protected]

__________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected]

Related Posts

1 of 39