NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Pada 30 Agustus 2018 lalu di Wisma Daria, Jakarta, berlangsung seminar terbatas membahas potensi ancaman beroperasinya kembali NAMRU-2 AS gaya baru di Indonesia.
Hadir sebagai narasumber beberapa perwakilan dari Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pertahanan, dan Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), mantan Danjen Marinir Letjen (purn) Suharto, mantan Dubes RI di PBB Makarim Wibisono, mantan Staf Khusus Menteri Kesehatan RI 2004-2009, dan Ketua Relawan Kesehatan Indonesia, Agung Nugroho.
Selain itu juga hadir beberapa perwakilan elemen masyarakat baik dari perguruan tinggi, Badan Intelijen Stragis (BAIS), beberapa pelaku media maupun beberapa pegiat Lembaga Swadaya Masyarakat, khususnya yang bergerak di bidang kesehatan.
Keberadaan Naval Medical Research Unit 2 (NAMRU-2) Amerika Serikat di Indonesia sejak Januari 1974 hingga Oktober 2009, telah menjadikan Indonesia sebagai sasaran hegemoni dan dominasi AS di Indonesia. Sehingga berakibat membahayakan kedaulatan nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menyadari kenyataan bahwa NAMRU-2 AS pada perkembangannya merupakan laboratorium bertujuan ganda, yaitu sebagai laboratorium penelitian penyakit-penyakit menular. Namun pada kenyataannya menjelma sebagai sarana operasi intelijen Angkatan Laut AS, yaitu sebagai sarana transfer virus dari Indonesia ke AS.
BACA JUGA:
- Keberadaan AFRIMS Sebagai NAMRU-2 Gaya Baru?
- Boleh Jadi AFIRMS Sebagai Kelanjutan Proyek NAMRU-2, Indonesia Patut Waspada
- NAMRU-2 Adalah Gerakan Intelijen Asing Berkedok Laboratorium Kesehatan
- Keberadaan NAMRU di Indonesia Disebut Sebagai Kejahatan
- Serangan Gelap 400 Fasilitas Riset Biokimia AS di Berbagai Belahan Dunia
Maka hal itu dimungkinkan karena ketidakmampuan para juru runding pemerintah Indonesia dalam mengenali klausul-klausul dalam perjanjian diplomatik antara pihak Kementerian kesehatan RI dengan Angkatan Laut AS. Khususnya ketika pihak AS berhasil meloloskan klausul yang menegaskan bahwa para staf NAMRU-2 yang beroperasi di Indonesia mendapatkan kekebalan diplomatik.
Alhasil, AS berhasil menembus kedaulatan nasional Republik Indonesia melalui langkah Health Diplomacy (Diplomasi Kesehatan) yang dilancarkan pemerintah AS.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka beberapa narasumber maupun peserta aktif sepakat bahwa di bidang kesehatan, ketahanan kesehatan Indonesia sangat rapuh. Khususnya dalam dalam penelitian dan pengembangan masalah kesehatan terkait penemuan vaksin. Sehingga posisi tawar atau bargaining position pemerintah Indonesia di hadapan negara-negara maju sangat lemah.
Selain daripada itu, pusat referensi atau laboratorium referensi terkait penelitian dan pe ngembangan penemuan vaksin, hanya ada di beberapa negara maju seperti AS, Inggris, Australia, Jepang dan Korea Selatan. Hal itu disebabkan masih terkebelakangnya Indonesia dalam bidang biomedical science. Karena tidak adanya keterpaduan yang terintegrasi di kalangan para ilmuwan kesehatan.
Adapun terkait dengan adanya potensi ancaman beroperasinya kembali NAMRU-2 AS dengan menggunakan nama lain, para narasumber maupun peserta aktif sepakat agar pemerintah Indonesia, melalui berbagai instansi terkait, agar bersikap waspada.
Untuk itu, beberapa narasumber menggarisbawahi sektor Ristek (Riset dan Teknologi) maupun Perguruan Tinggi, berpotensi untu dijadikan pintu masuk agenda-agenda terselubung yang diproyeksikan sebagai lembaga-lembaga penelitian bertujuan ganda ala NAMRU-2 AS.
Apalagi dalam seminar mencuat suatu informasi bahwa di kementerian Ristek dan Perguruan Tinggi, terdapat sebuah tim yang berwenang memberikan perijinan bagi para peneliti asing. Atau penelitian yang digagas oleh para ilmuwan dari luar negri. Selain itu dari sektor pertanian juga berpotensi sebagai pintu masuk.
Sisi lain yang disorot dengan belajar dari kasus NAMRU-2 AS, betapa rawannya isu Bio Terorisme dan Weapon of Mass Destrucion. Mengingat fakta bahwa NAMRU-2 AS yang beroperasi di Indonesia telah digunakan sebagai media atau sarana transfer virus. Yang mana virus yang dikirim oleh NAMRU dari Jakarta, ditengarai telah dikirim ke Los Alamos, AS, untuk membuat Senjata Biologis atau Biological Weapon.
Rekomendasi GFI
Pertama, mengingat begitu banyaknya pintu masuk untuk menembus kedaulatan nasional Indonesia melalui sarana nirmiliter, maka perlu adanya kebijakan satu pintu alias One Gate Policy dari pemerintah Indonesia.
Kedua, sudah saatnya merevisi kembali undang-undang kesehatan, dengan menggunakan kerangka konsepsi Ketahanan Kesehatan yang bersifat terpadu dan terintegrasi dengan sektor-sektor strategis lainnya seperti politik-keamanan, politik ekonomi, sosial-budaya maupun pertahanan keamanan itu sendiri.
Terkait dengan potensi ancaman dari Bio Terorisme dan Senjata Pemusnah Massal atau Weapon of Mass Destruction, Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Pertahanan, agar mendesak negara-negara di kawasan Asia Tenggara yang tergabung dalam ASEAN, agar mendesak kawasan Asia Tenggara menjadi wilayah bebas senjata nuklir dan senjata biologis, yang hakekatnya mauk kategori senjata pemusnah massal alias Weapon of Mass Destruction. (eda/ena)
Editor: Eriec Dieda